Mudik, Uji Nyali, dan Melawan Lupa
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBMudik. Ikhtiar kembali ke masa lalu. Meski meraihnya, pemudik harus menguji nyalinya di jalan yang tak bersahabat dan kampung halaman yang tak lagi elok.
Mudik dan Uji Nyali Kita
Logika apa yang bisa melukiskan daya tahan mereka yang bisa bertahan berjam-jam di kemacetan Pantai Utara sepanjang Jawa Barat hingga gerbang wilayah Jawa Tengah? Tak hanya sejam dua jam tertahan, bahkan ada yang harus bermalam di kemacetan itu. Mirip sebuah migrasi besar-besaran akibat perang atau bencana lain. Stok makanan menipis juga bahan bakar kendaraan. Mungkin, hanya satu stok yang tersisa: rindu pada kampung halaman. Stok terakhir ini adalah himpunan daya semesta yang menopang para pemudik untuk tidak menjadi gila karena kondisi Pantura.
Bicara soal rindu pada kampung halaman, saya teringat sebuah novel grafis berjudul Rampokan Jawa & Selebes karya Peter van Dongen. Sejatinya, novel grafis ini terbagi atas dua bagian. Rampokan-Java telah terbit lebih dulu pada 1999, disusul Rampokan Celebes lima tahun kemudian.
Terbit dalam bahasa Indonesia pada 2013, novel grafis yang gayanya tampak dipengaruhi oleh kreator Tintin, Herge, ini menceritakan tentang Johan Knevel. Johan adalah pria Belanda kelahiran Celebes, sekitar tahun 1920-an. Ayah-Ibunya seorang Belanda totok. Ketika invasi Jepang, keluarga ini terusir dari Hindia Belanda. Nahas. Ayah Johan tewas saat kapal yang ditumpanginya ditorpedo. Mama dan adiknya sudah mendahului karena diserang tifus pada tahun 1928. Johan pun terusir ke negeri moyangnya pada usia 17 tahun.
Namun, bagi Johan, Hindia adalah kampung halamannya. Memorinya pada Celebes tak hanya menyangkut kemolekan Hindia (Mooi Indie), namun juga pada wajah tua yang menggelayut dalam kenangan: Ninih, pengasuhnya. Perempuan pribumi itulah yang mengajarkan Johan Knevel banyak hal, berenang hingga mengusir hantu-hantu.
Tujuh tahun berlalu, dan Johan “mudik” ke tanah kelahirannya. Kapalnya merapat di Tanjung Priuk pada 28 Oktober 1946. Segala risiko ditempuhnya untuk kembali ke Udik. Ia menjadi bagian serdadu NICA yang menggelar agresi militer di Indonesia. Kini, Johan “pulang” sebagai orang asing bahkan penjajah bagi kaum Inlander. Tak ada lagi keramahan yang dirasakannya seperti dulu sebelum terusir oleh kedatangan Jepang. Hindia tak lagi mooi. Tulisan di dinding sepanjang Batavia menegaskan itu: Dutch Go Home! Mudik kali ini adalah ujian bagi nyali Johan termasuk ancaman terhadap nyawanya.
Jika Johan merindukan Ninih, maka pemudik asal kota-kota besar, merindukan Ibu, Ayah, beserta masakannya. Tapi, mudik tak semudah dalam imaji. Seperti Johan, kampung halaman tak selamanya mooi atau elok. Tanah yang dirindukan tak selamanya bersahabat. Orang-orang di kampung halaman menanti pemudik dengan harapan yang besar: sukses di kampung orang. Tak sedikit pemudik yang bersolek dan ingin tampil beda saat kembali ke asal. Keberhasilan merantau menjadi tolok ukur “naik kelas” di kampung halaman. Sayangnya, demi predikat “naik kelas” banyak yang memanipulasinya. Kredit motor atau mobil anyar agar kelihatan sangar. Meski, beberapa bulan ke depan, cicilan mandek itu lain soal.
Nyali pemudik diuji kembali ketika melakukan perjalan ratusan kilometer dari tanah rantau ke kampung asal. Beruntung bagi mereka yang mendapatkan tiket pesawat dan kereta api.Tapi bagi pengendara mobil dan motor, tahun ini adalah uji nyali sesungguhnya. Bahkan beberapa pemudik mengklaim bahwa kemacetan tahun ini adalah paling parah sepanjang sejarah.
Mudik bagi sebagian besar orang adalah perjuangan melawan lupa atau merajut memori. Jika Johan kembali ke Hindia untuk mencari Ninih dan merangkai kembali kenangan indahnya, begitu juga pemudik hari ini. Hidup dalam perantauan membuat sebagian besar kita menjadi “warga baru” di tanah rantau. Ingatan pada masa kecil di kampung halaman terkikis. Lalu, ketika mudik datang, kita pun ingin kembali merangkai kenangan yang tercecer. Seperti kata Johan Knevel, mudik itu seperti pulang ke masa lalu.
sumber foto: Tempo.co
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Multisemesta Bernama Indonesia
Selasa, 21 Mei 2019 21:24 WIBMemaknai Kekalahan dalam Demokrasi
Senin, 20 Mei 2019 14:28 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler