x

Hindari Gratifikasi, PNS Dilarang Terima Parsel

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gratifikasi dan Suap ~ Romli Atmasasmita

Dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia, pemberian kepada atasan merupakan tolok ukur kesetiaan dan angka kredit untuk promosi serta mutasi kedudukan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menjelang Idul Fitri, Komisi Pemberantasan Korupsi mengingatkan para penyelenggara negara dan pegawai negeri sipil untuk tidak menerima hadiah karena dapat dianggap sebagai gratifikasi. Apa itu gratifikasi?

Sejak masa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara dan zaman penjajahan Belanda, pemberian upeti kepada raja dalam bentuk natura sudah menjadi kebiasaan untuk menunjukkan loyalitas rakyat kepada raja. Dalam istilah Tionghoa dikenal "angpau", dalam bahasa Sunda dikenal dengan istilah "seba".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejalan dengan perkembangan sistem pemerintahan modern, terutama pada masa Orde Baru, kebiasaan itu dilanjutkan dan dikenal kemudian dengan sebutan "imbalan". Sejak era Reformasi, upeti, seba, dan angpau tersebut termasuk ke dalam pengertian gratifikasi.

Pengertian gratifikasi berasal dari "gratitude", suatu sikap yang menghormati dan melembaga dalam sistem budaya relasi patron-klien yang secara keliru mengidentikkan integritas dengan loyalitas. Bahkan, dalam sistem birokrasi pemerintahan di Indonesia, pemberian kepada atasan merupakan tolok ukur kesetiaan dan angka kredit untuk promosi serta mutasi kedudukan dan jabatan yang lebih tinggi, bukan pada sistem reward and punishment atau meritokrasi.

Baharudin Lopa, saat menjabat Menteri Kehakiman, mulai memasukkan "pemberian", yang dikenal dengan istilah upeti, seba, atau angpau tersebut, sebagai gratifikasi dalam konotasi negatif karena dapat "menurunkan" wibawa pemerintah serta menggerus sistem meritokrasi, integritas, dan akuntabilitas kinerja.

Lingkup gratifikasi dalam Penjelasan Pasal 12B Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 adalah "dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya."

Dalam pasal tersebut, gratifikasi dianggap sebagai suap dan pembuktian bahwa dia bukan merupakan suap dibebankan kepada terdakwa jika nilai pemberian sampai Rp 10 juta dan beban pembuktian pada penuntut untuk nilai pemberian di atas Rp 10 juta. Di dalam ketentuan gratifikasi (Pasal 12B), penerima gratifikasi diberi tenggat 30 hari untuk melaporkan gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi terhitung sejak ia menerima pemberian. Jika melampaui batas waktu tersebut, penerima gratifikasi dianggap memiliki niat jahat (mens rea), sehingga dapat dituntut sebagai tindak pidana gratifikasi dengan ancaman pidana seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp 1 miliar. Bandingkan dengan suap pasif (Pasal 5) dengan ancaman pidana paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 250 juta.

Mengapa harus menunggu tenggat 30 hari bagi si penerima untuk melaporkan penerimaannya? Ketentuan tenggat tersebut merupakan ujian integritas si penerima selaku pejabat negara/pegawai negeri. Integritas yang dikehendaki oleh ketentuan pasal 12B adalah bahwa seharusnya si penerima dana memiliki iktikad baik melaporkan dan menyerahkan penerimaannya kepada KPK. Nilai di balik ketentuan gratifikasi adalah bahwa setiap penerimaan oleh penyelenggara negara atau abdi negara dalam bentuk dan nilai berapa pun adalah tidak layak, tidak patut, dan perbuatan tercela, selain penerimaan gajinya, karena gratifikasi tersebut merupakan "keuntungan yang tidak patut/tercela".

Pelaporan kepada KPK harus dilakukan tanpa paksaan dan bukan karena sebab di luar diri penerima gratifikasi. Jika penyelenggara negara melaporkan kepada KPK, tapi kemudian ada bukti bahwa dana yang dilaporkan tersebut merupakan imbalan atas perbuatannya yang bertentangan dengan kedudukannya sebagai penyelenggara negara, perbuatannya tetap merupakan suap. Ini karena pelaporan gratifikasi kepada KPK tidak dilandasi oleh iktikad baik dan pemberian gratifikasi tersebut merupakan kickback (imbalan) atas perbuatan penerima gratifikasi.

Mengapa ancaman untuk gratifikasi lebih tinggi daripada suap? Perbuatan gratifikasi merupakan pengkhianatan terhadap integritas dan akuntabilitas serta martabat penyelenggara negara, sedangkan suap merupakan perbuatan atas dasar keserakahan semata.

Dalam hukum pidana, maksud dan tujuan baik tidaklah cukup menjadi pertimbangan hakim. Cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan baik tersebut juga harus bersifat baik atau tidak melanggar hukum. Contohnya, seorang bendahara kementerian memindahkan dana dari pos anggaran untuk biaya lelang kepada pos perjalanan dinas dengan alasan mendesak diperlukan dana untuk melakukan kunjungan dinas ke daerah. Perbuatan tersebut termasuk perbuatan melawan hukum (maladministrasi) tapi tidak mutatis mutandis mengandung unsur pidana. Perbuatan maladministrasi menjadi tindak pidana korupsi jika perbuatan tersebut menghasilkan keuntungan finansial bagi bendahara itu atau pihak lain.

Dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, walaupun terdakwa tidak memperoleh keuntungan dan pihak lainlah yang memperoleh keuntungan, perbuatan terdakwa tetap dapat dituntut melakukan tindak pidana korupsi, apalagi bila terjadi kerugian negara.

Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Senin, 11 Juli 2016

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler