x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Diplomasi Ketupat Opor

Hidangan lezat dapat melancarkan proses perundingan politik dan mengakhiri perselisihan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Salah satu momen paling menyenangkan saat Ied Fitri tiba ialah ketika keluarga besar berkumpul bersama. Acara pokoknya silaturahim, saling meminta maaf dan memaafkan, lalu disusul dengan acara pendamping yang tidak kalah seru yakni makan bersama sembari ngobrol terutama di antara sanak kerabat yang jarang ketemu lantaran tempat tinggal berjauhan.

Tuan rumah memang paling sibuk, mulai dari menyiapkan tenda, kursi dan meja, perangkat makan dan minum, plus menyediakan hidangan yang benar-benar layak santap. Biasanya, sanak kerabat yang datang ke acara ini menenteng masakan untuk disantap bersama. Tak heran bila beraneka hidang selalu tersedia. Bukan hanya opor, ketupat, dan sambal ati, tapi juga rendang, mie kocok, batagor, dan puding.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam setiap acara silaturahim, hidangan selalu diupayakan ada. Lebaran akan terasa kurang meriah tanpa acara makan bersama. Perut kosong yang meronta-ronta berpotensi memicu rasa kesal. Lain hal bila lidah sudah mencecap hidangan lezat dan minuman segar, niscaya hati dan pikiran jadi lebih rileks untuk mengobrol. Di saat-saat itulah, perselisihan dapat dibicarakan dengan hati yang lebih tenang. Acara saling memaafkan berjalan lebih mulus.

Meja makan sebagai sarana untuk menyelesaikan perbedaan pandangan, bahkan pertikaian, sudah berlangsung sejak lama. Perjamuan makan adalah cara ampuh bagi tuan rumah untuk memancing keramahan tamu jauh, utusan raja dan bangsawan, dan mempererat hubungan diplomasi. Berbagai hadiah memang dapat melunakkan hati, tapi tanpa hidangan yang lezat semua hadiah terasa kurang berarti. Tak heran bila ada pepatah: “Cara melunakkan hati ialah melalui perut.”

Dari Cina hingga Persia dan Yunani, para pemimpin menjamu tamu-tamunya sembari menunjukkan kehebatan warisan kuliner mereka—bagi masyarakat Timur, kekayaan rempah-rempah jadi andalan untuk melunakkan lidah pada tamu. Interaksi di sekeliling meja makan mengantarkan mereka yang hadir kepada saling memahami dan berempati satu sama lain. Koneksi positif terbangun lewat percakapan sembari menyantap hidangan. Keakraban pun terjalin.

Diplomat Prancis Charles-Maurice de Talleyrand-Périgord yang bekerja untuk Raja Louis XVI pernah berkata kepada Napoleon Bonaparte, “Berikan aku juru masak yang bagus dan aku akan memberimu perjanjian yang bagus.” Sebagian orang mungkin ragu bagaimana gastronomi dapat memengaruhi diplomasi, tapi faktanya makanan memainkan peran di balik layar di meja-meja perundingan.

Kontak di sekeliling meja makan, yang membangkitkan keintiman yang lebih dalam, pada akhirnya—meminjam kata-kata Jean-Anthelme Brillat Savarin, gastronom Prancis, “Kita apa yang kita makan”—merupakan cara yang ampuh untuk menciptakan koneksi yang kemudian mendorong kerjasama dan persahabatan. Lewat makanan, orang saling mengenal kultur masing-masing.

Makanan memang salah satu sarana tertua dalam diplomasi, bukan saja di tingkat negara, tapi juga antar tetangga dan antar kerabat. Hingga tahun 1990an, di kampung saya, di Jawa Timur masih ada kebiasaan saling mengirim rantang berisi makanan di antara para tetangga. Kegiatan ini berlangsung sehari menjelang Lebaran.

Karena tetangga banyak, maka makanan yang dimasak pun harus banyak. Para tetangga saling bertukar makanan. Tak heran bila makanan pun memenuhi meja-meja. Makanannya nyaris serupa: opor, ketupat, sambal kentang hati, plus apem. Saking banyaknya, jadilah sebagian besar makanan itu menganggur karena perut lekas terisi penuh. Besoknya dihangatkan dan disantap lagi. Lantaran nafsu makan dan volume perut ada batasnya, makanan pun tidak habis. Mubazir.

Belakangan saya tahu, tradisi itu diganti dengan acara makan bersama tetangga di surau, malam menjelang Lebaran. Jelas ini lebih bagus. Di samping meringankan beban tiap-tiap rumah tangga, mengurangi makanan yang mubazir karena tak dimakan, makan bersama sehabis Isya menciptakan keakraban antar tetangga. Apa lagi, acaranya diteruskan dengan takbiran. (foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu