x

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pemimpin Hebat, Jakarta Bertobat, dan Indonesia Selamat

Idulfitri yang usai, bagian peradaban di Indonesia, bisa mubazir, tanpa ada kontemplasi para pemimpin tentang Tobat Jakarta di depan Tangis Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(Ilustrasi: global.liputan6.com)

 

Idulfitri yang usai, sebagai bagian peradaban di Indonesia, bisa mubazir menjadi sampah, tanpa ada kontemplasi para pemimpin tentang Tobat Jakarta di depan Tangis Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Jakarta bertobat? Artinya Jakarta harus berhenti. Jangan membangun lagi. Stop! Makin membangun Jakarta, Indonesia makin rusak. Bahkan apabila 2016 ini Jakarta stop tak ngapa-ngapain, sudah terlambat lebih seperempat abad.

 

Sesungguhnyalah, Jakarta sudah amat capek mendominasi Indonesia. Jakarta yang bertumbuh dari muara Ciliwung menjadi Betawi dan pada 2016 menjadi megapolitan ini sudah amat lelah memacam-macami Indonesia.

 

Apa saja Jakarta atas Indonesia sudah gila. Jakarta sebagai penikmat distribusi dan sirkulasi uang paling banyak (60, 70, 80, atau 98 persenkah) di Indonesia alias paling rakus, adalah pencipta deret panjang peradaban dungu: urbanisasi berkelanjutan, tradisi kebebalan mudik yang disakral-sakralkan, dan kawanan penikmat kesalahkaprahan yang amat tolol. Ini akibat mekanisme kerja gerombolan maling-penjarah-penipu-bangsat prokapitalis  yang kebetulan menjadi  pemimpin dengan seluruh ikutan dan kebisingannya yang tiap menit diberitakan oleh propaganda media-media mafianya  dengan ujung membawa Indonesia ke peradaban zaman barbar 1001 model.

 

Salah satu model barbarnya adalah peradaban Arab yang membuat Indonesia diserbu dan dikepung dongeng 1001 malam. Oleh model ini sebagian orang Indonesia mengalami dua derita. Pertama, busana seragam perempuannya membuat banyak lelaki hetero berkesadaran taraf tinggi  kehilangan nafsu sahwat. Kedua, busana lelakinya membuat kehidupan nyata dunia lelaki secara fisik seperti menjadi panggung atau arena teater ketoprak atau komidi stambul.

 

*****

 

Asal usul peradaban penuh horor itu semuanya dari Jakarta.

 

Karena itu, Jakarta harus menjadi bahan kontemplasi. Tetapi, merenungi Jakarta tanpa meratap-sesali ketelanjuran salah langkahnya, adalah kekacauan kuasa tiada tara. Jakarta adalah bagian data-angka-info-opini laju pesatnya pertumbuhan kota-kota dan kotanisasi di bumi yang menunjuk kompleksitas  persoalannya yang kian muram dan seram. Ini membuktikan kebenaran petuah para bijak. Bahwa, sebagai produk peradaban, kota itu tergolong produk  celaka-darurat-terpaksa. Fenomena kota, demi masa depan, tak cukup dihadapi dengan re-evaluasi. Ia butuh revolusi sikap kultural-filosofis. Untuk memahami semuanya ini tersedia dua wasiat. Yang pertama  empirik-fenomenologis dan yang kedua metafisik-refleksif.

 

 

Empirik Fenomenologis

 

Wasiat empirik-fenomenologis yang antara lain meramu sejarah dan sosiologi pembangunan plus ekologi dan ekonomi dan semacamnya, menilai kota - meski ngeri ragu malu-malu - sebagai produk salah urus akibat filsafat Salah Kaprah. Filsafat ini mengukur proses kemajuan dengan urutan: hutan, desa, kota, metropolitan, megapolitan. Ini analog dengan urutan kemajuan dari jalan kaki, naik gerobak, sepeda, sepeda motor, mobil, montor-mabur.

 

Filsafat Salah Kaprah berakar pada anggapan, proses peradaban berupa anak tangga "tahap-tahap" budaya yang menapak dari rendah ke tinggi secara ketat dan linear: mitologis, ontologis, menuju ke fungsional. Di sini mantra dianggap lebih rendah katimbang r umus kimia, kayu bakar lebih rendah katimbang kompor listrik, desa lebih rendah daripada kota.

 

Di atas itulah biang laju pertumbuhan kota dan kotanisasi - proses terjadinya kota yang tak hanya mengubah geografi-demografi tapi juga bahkan secara lebih dahsyat mengubah sikap manusianya - pada tingkat sekarang. Para pakar kependudukan dan perkotaan menyebutkan dalam beberapa tahun mendatang lebih 50% penghuni bumi tinggal di kota-kota. Jumlah metropolitan dan megapolitan dengan penduduk lebih 20 juta, bertambah  pesat. Kota-kota besar dengan pertumbuhan penduduk yang tak terkendali juga tambah pesat ter masuk pertumbuhan tingkat keseraman dan ambur-adulnya.

 

 

Mengaduh

 

Wajah seram kota dan ambur-adulnya sudah lama membuat orang ngeri dan atau bahkan alergi seperti misalnya Konfusius, Karl Marx dan Charlie Chaplin. Mereka memandang pertumbuhan kota dan kotanisasi sebagai proses dan langkah peradaban menuju ke nerakanya s endiri.

 

Mereka benar! Kota kian sarat beban masalah di luar batas daya tampungnya, lalu mengguncang keseimbangan alam-manusia-kehidupan. Kota makin terasing dari alam seiring peningkatan tuntutan dan target ekonominya.

 

Terhadap kemurnian desa, sang wakil alam, mekanisme sosio-ekonomik kota tak menyumbang apalagi menjaga tapi justru memanipulasi, mengekploitasi dan menodai. Kejahatan kota terhadap desa makin besar seiring proses mastodonisasi kota dengan akibat konkret rusaknya lingkungan.

 

Era baheula saat kota masih kecil terpisahkan dari desa oleh hutan-sabana, kegiatan kota terikat ritme agraris pedesaan. Ini membuat mekanisme kelestarian alam otomatis dan bahkan relatif tanpa biaya. Mastodonisasi kota masakini tak memungkinkan lagi hal sedemikian. Kerusakan lingkungan jadi keniscayaan sebab beban sosial-ekonomiknya sudah tak tertanggungkan siklus yang alami.

 

Pertumbuhan kota dan kotanisasi mahal sekali, dibayar alam dan manusia. Industri dan gebyar-sibuk-padat-rumit kegiatannya menuntut dana rutin untuk aktifitas artifisial administrasi, organisasi, manajemen dan hura-hura konsumtif. Produktivitas kota tak akan mampu menebus harga yang telah dibayar alam berupa kerusakan lingkungan dan manusia berupa degradasi kualitas hidup. Dua hal ini segera tampak begitu kita membuka jendela rumah kita di kota.

 

Singkatnya, makna-hakikat kota bagi manusia adalah: Aduh! Kota-kota mengaduh di mana saja. Tak peduli di Selatan atau Utara.

 

Wasiat Metafisik Refleksif

 

Kota-kota yang mengaduh di atas ditelanjangi oleh wasiat yang kedua, metafisik-refleksif. Wasiat yang melibatkan aneka ragam alam humanistik termasuk filsafat dan teologi, bahkan sampai pada kesimpulan, kota itu tak pernah dikehendaki bumi dan manusia.

 

Kota itu ternyata lahir karena terpaksa. Dilukiskan Genesis, ia lahir akibat kutukan. Kota pertama di bumi diarsiteki seorang pembunuh. Namanya Kain. Ia membantai Abil, adiknya sendiri. Jadi, tega. Ia bersama tanah garapannya dikutuk YME, Yang Maha Esa. Kain panik, lalu minggat. Ia meninggalkan tanah asal dan mendirikan kota. Jadi, fondasi kota paling purba adalah tega,m terkutuk, panik dan minggat yang selanjutnya jadi karakter dasar kota. Di Utara maupun Selatan sama saja hakikatnya, bermasalah dalam sikon masing-masing, berakar dari 4 karakter itu.

 

Rupanya potensi kota sebagai sumber bencana itu bersifat bawaan. Begitu membunuh Abil dan kena kutuk YME, Kain minggat ke tanah Nod mendirikan kota Henoch sebagai tempat lindung. Sebelumnya ia menggarap tanah terberkati yang mendatangkan rejeki berlimp ah. Begitu darah tertumpah kontan tanahnya terkutuk jadi gersang dan tak memberinya rejeki lagi. Tanah alias alam telah menjauhinya dan tak bisa lagi ia jadikan tumpuan hidup. Kain pergi dan terpaksa membangun tumpuan hidup di luar tanah dan alam: kota.

 

Kota dalam kisah di atas - secara historis boleh diabaikan - bernilai edukatif melambangkan kehancuran hubungan organis antara manusia dengan sesamanya dan dengan alam. Tapi kota-kota historis sejak era purba sampai era internet justru membuktikan kebenaran lambang itu. Era purba mencatat betapa keserakahan dan kekerasan menyerbu-menghambur-masuk, dan lalu menjadi isi kota.

 

Mereka itulah gilirannya disebut pedagang, penarik riba, pemburu, parasit dan kaum luntang-lantung dan sejenisnya alias manusia kota yang profesi pokoknya adalah menipu. Jumlah para penipu ini makin banyak. Maka perlu diatur, dengan pedang! Mekanismenya melahirkan seabrek manipulasi dan memroduksi para jago yang kelak jadi graaf, baron, adipati, count,  hertog, king, ratu, sultan, sunan, dan sejenisnya yang dimungkinkan lantaran kedunguan zamannya.

Awal sejarah kota mencatat penyalah-gunaan penguasaan senjata dan intelektualitas untuk memanipulasi kawasan sekitarnya yakni alam agraris pedesaan. Tapi penipuan itu harus diadabkan agar rapi, teratur, dan tampak berbudaya. Dan peradaban penipuan ini, pada gilirannya melahirkan sistem peradaban  disebut negara atau pemerintahan.

 

 

Kecil itu Aman

 

Berbekal sejarah dan karakter kota purba itulah pertumbuhan kota dan kotanisasi berlangsung. Menjadi macam sekarang. Makin besar makin ruwet, makin banyak manipulasi dan bencana - kontradiktoris dan sumber ketidak-bahagiaan.

 

Maka, revolusi sikap kultural-filosofis di awal tulisan berarti sikap yang memandang mastodonisasi kota sebagai kemunduran berpikir sebab harga sosial-moral-ekonomiknya mahal sekali. Pembesaran kota menciptakan kawanan massa raksasa tempat manusia mengalami keterasingan. Kota yang manusiawi mestinya dipertahankan dalam skala kecil, dengan budaya kaum "tersingkir" kreatif - seperti Kain - yang mempertahankan kebutuhan hidupnya tanpa menggerogoti peradaban pedesaan dalam arti alam-tanah adalah kekayaan fundamental bumi. Kota disebut nalar-bermoral jika menahan diri tak rakus memperluas diri.

 

Dunia termasuk Indonesia masadepan mestinya mengarah ke sana. Menuju masyarakat tanpa kota besar. Negara supermodern berarti negara terdiri atas kota-kota kecil yang produktif. Ini berdampak meluas. Kebutuhan kendaraan bermotor akan anjlok jauh sekali. Di dalam kota orang tak perlu kendaraan bermotor. Buat apa? Cukup jalan kaki atau sepeda. Sehat! Dengan demikian jutaan proyek-proyek jalan raya berikut tetek-bengeknya, termasuk pabrik-pabrik korupsinya, batal semua.

 

Uraian di atas, segudang info datanya. Juga diketahui banyak orang. Sungguh mengherankan mengapa sampai sekarang sepi-sepi saja berita atau kampanye revolusi menyetop pertumbuhan kota. Pemimpin-pemimpin Indonesia siapakah yang pernah memikirkan ini?

 

 

Siapa Tahu

 

Setelah tersentak menyimak ihwal-perkara seram di atas, mungkin kita lalu berandai-andai: alangkah bahagia Indonesia jika kota terbesarnya paling pol sebesar Salatiga atau Jayapura. Bukan berarti Jakarta lalu disodom-gomorahkan. Biarkan fisik  kotanya macam sekarang tapi penduduknya paling pol satu juta saja, sisanya disebar adil merata ke Indonesia Timur bersama segala yang dibutuhkan misalnya pabrik, pasar dan sumber usaha lain serta seluruh perangkat pemanusiaan semacam pendidikan terutama TK dan SD. Yang disebar rata ke Indonesia Timur itu hanya yang pintar dan tahan godaan serta tidak suka ngibul, sisanya dimohon tetap tinggal di Jakarta. Ini namanya optimalisasi barang telanjur.

 

Angan-angan di atas mungkin sinting tapi bukan lelucon. Ia anak sah sikon terkini yang sudah amat tragis penuh horor. Bahwa ia tidak konkret-realistik mungkin juga benar tetapi budaya semua bisa diatur kita, siapa tahu memberi peluang mimpi itu jadi kenyataan.

 

Maka, menjadi pemimpin-pemimpin di Indonesia yang baik dan benar adalah pemimpin yang mampu membuat Jakarta berhenti membangun dan mengalihkan semua proyek Jakarta untuk disebarkan ke mana saja secara merata ke seluruh Indonesia. Tanpa kemampuan ini, apapun ujaran muluk-muluk mereka dalam semua bidang kehidupan di Indonesia, adalah ujaran omong kosong belaka.

 

Gunung Merbabu, Juli 2016

 

 

 

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB