x

kakao

Iklan

Sari Novita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memastikan Masa Depan Kakao Indonesia Kepada Siapa?

Perkebunan kakao dijadikan cetak sawah padahal kakao punya potensi besar

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Masa depan kakao di Indonesia dipertanyakan langsung oleh pelaku  perkebunan kakao itu sendiri. Para pelaku yang terdiri petani, pedagang, dan Pemerintahan Daerah. Apakah Indonesia telah kehilangan taringnya di dunia kakao? Atau Pemerintah pusat yang hanya basa-basi membantu rakyatnya? Keduanya bisa saja terjadi bila kita bicara masa depan. Bila mengingat  pada 1 sektor saja, orang-orang yang bekerja di bawah nama Pemerintah itu masih tidak bersinergi.

Bisa jadi saya sedang nyinyir pada Pemerintahan Presiden Jokowi yang banyak dikagum-kagumkan itu. Tapi nyinyiran saya kemungkinan bakal menjadi basi dan tidak memengaruhi perubahan yang diinginkan oleh petani kakao. Diskusi Nasional “Memastikan Masa Depan Kakao Dunia” memang telah digelar lama, 20 Juni 2016, Aston Priority, TB Simatupang, Jakarta. Tapi gaungan percakapan yang hadir di acara tersebut menyentil ingatan saya kembali. Karena mereka ingin perubahan yang tidak datang sebentar-sebentar.

Saya masih ingat kalimat yang keluar dari mulut Gubernur Sulawesi Barat, Bapak H. Anwar Adnan Saleh,

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kami di sini awalnya berbunga-bunga terhadap respon Presiden terkait lahirnya Gernas dengan target 3 tahun, tapi kucuran dana yang dijanjikan diberikan pada tahun pertama saja, selanjutnya tidak.”

Gernas adalah Gerakan nasional yang di-launching tahun 2008 oleh Wakil Presiden, Bapak Jusuf Kalla. Mempunyai 3 program utama, intensifikasi, revitalisasi, dan rehabiltasi perkebunan kakao dengan dana hampir 1.4 trilyun tiap tahunnya. Yang melibatkan perguruan tinggi dan sentuhan teknologi. Program ini menargetkan waktu 3 tahun untuk mengembangkan perkebunan kakao yang berpotensial tinggi.

Gubernur itu masih bercerita dari 125 ribu hektar yang direncanakan, tidak sampai 25 ribu yang tersentuh dari program Gernas. Hal ini membuat petani kecewa bahkan sempat terjadi demo yang ditumpahkan kepada Gubernur.

Program ini punya program berkelanjutan sampai tahun 2020 dan Sulawesi Barat dicita-citakan dapat menghasilkan 300.000 ribu ton (bila rencana berjalan dengan baik).

Menurut beliau, pertumbuhan sumber pendapatan dari Kakao di Sulawesi Barat masih terbaik dari 34 propinsi dalam sektor pertanian. Tanaman kakao ini tidak berpengaruh pada krisis moneter malah petani/rakyat senang karena harganya meningkat. Harga jual kakao pun tidak pernah seanjlok harga kelapa sawit bahkan saat ini harga kakao sangat bagus. Dulu rakyat Kolaka pernah menukarkan barang dengan biji kakao yang dimilikinya;  anak-anak sekolah membayar angkot dengan biji kakao;  membeli sayuran ditukar dengan biji kakao. Jadi pernah muncul kembali sistem barter pada transaksi perdagangan di bumi Sulawesi Barat? Hmm...

Beliau juga tidak mau suudzhon, bisa jadi Bapak Jokowi memang bersungguh-sungguh terhadap program ini tapi pengimplementasian di sekitar berjalan tidak semestinya. Pabrik coklat terbaik di Swiss pun telah membeli langsung kakao ke petani, tanpa perantara negara-negara lain. Naik kelas yang baik. Tapi bisa terhambat bila tidak didukung oleh Pemerintah.

Jika Presiden tidak setengah hati, kita bisa jadi nomor satu. Selama kita bekerja setengah-setengah hati, maka itu tidak pernah berhasil,” ujar Gubernur Sulawesi Barat, Bapak H. Anwar Adnan Saleh,

Cerita lain tidak berasal dari Gubernur saja.

 

Bupati Polewali Mandar, Ir. Andi Ibrahim

Bapak Bupati ini mengungkapkan terima kasihnya pada Gernas yang membuat peningkatan produksi dari 300-500 kg per hektar menjadi 1500 – 2000 kg per hektar. Ucapan Terima kasih juga disampaikan untuk salah satu pabrik coklat  terbaik dunia yang telah membantu pendapatan ekonomi rakyat.

Bapak Andi bercerita bulan Juni tahun lalu, sehari pedangan bisa mengumpulkan 100 ton dan biasanya pedangan tidak berproduksi pada bulan ke-8,9, dan 10. Setengah dari rakyatnya bergantung pada kakao, ada juga yang mencoba menanam kelapa swait tapi tidak berhasil, kemudian kembali menanam kakao.

Permasalahan sekarang adalah lahan kakao dijadikan lahan baru untuk menghasilkan beras dan disebut Cetak Sawah. Lahan ini berdampingan pula dengan lahan kakao yang berefek tidak baik. Perluasan cetak sawah hampir mengambil 100 hektar lahan kakao yang masih produktif. Termasuk tambak udang. Dan ada sekitar 600 – 700 hektar akan dijadikan lahan cetak sawah. Padahal perkebunan kakao di Sulawesi melibatkan 65%  kepala keluarga, sub sektor perkebunan yang berkontribusi 22% pada produk domestik regional bruto provinsi, dan komoditas ini tidak dipengaruhi oleh krisis ekonomi, secara nasional maupun global.

Kakao punya potensi besar dalam perdagangan global. Karena hanya beberapa negara saja yang memiliki kesuburan tanah bagi  kakao dan hanya negara Ghana yang mampu bersaing dengan Indonesia. Barangkali jika negeri Cina punya lahan yang bagus untuk perkebunan kakao, Indonesia akan tertinggal jauh – karena pola pikir dan visi mereka yang lebih jauh ke depan. Ini sebenarnya adalah suatu peluang. Mungkin Pemerintah kurang bisa membaca peluang (ini kalimat saya bukan kalimat Pak Bupati).

 

 

 

Bupati Kolaka, Bapak Ahmad Syafei

 

Bapak Ahmad kembali mengulang cerita Bapak Gubernur tentang barter biji kakao di Kolaka. Ketika krisis moneter terjadi, Kolaka malah panen dollar. Sampai saat ini pun di beberapa daerah masih menukar biji kakao dengan apa yang dibutuhkannya. Saya jadi teringat kembali kisah-kisah lalu yang pernah terjadi di dunia ini. Apakah nilai uang menyebabkan dunia ini kian angkuh termasuk menjarah hati pemimpin, koruptor, dan  korporasi-korporasi yang gagal bercinta? Ups, saya terlalu jauh melanglang buana.

 

Lanjut soal kakao, Ia mengatakan bahwa hampir semua rakyat Eropa Timur adalah pemakan kakao (coklat) terbaik yang berasal dari negeri penghasil kakao terbaik (termasuk Indonesia). ini merupakan satu lagi potensi besar bagi negeri ini.

 

Pesannya, daerah-daerah yang produktif kakao sebaiknya masuk dalam 3 program utama. “Saya kita tidak ada lahan yang harus diubah menjadi sawah.

Di Kolaka,  ada 9 eskportir pengembangan kakao yang masih berjalan dan 4 Kabupaten yang punya lahan produktif kakao. Bisa dikatakan Kolaka merupakan pintu gerbang komoditas kakao di Sulawesi Tenggara.

 

Saya selesaikan tulisan ini sampai di sini walaupun masih banyak cerita dari mereka yang ingin masa depan kakao tetap ada. Mungkin orang-orang yang menanam kakao lah yang harus berjuang demi masa depannya. Masa depan untuk dirinya sendiri, untuk keluarganya, untuk daerahnya, untuk rakyat setempat, dan untuk Indonesia. Memastikan Masa Depan Kakao Indonesia Kepada Siapa? Ah, lupakan.

Masa depan masih di depan  bersama sisa-sisa perjuangan hari ini dan selanjutnya yang jangan sampai runtuh  agar tidak luntur menjadi sia. 

 

Gambar : Media Perkebunan

Ikuti tulisan menarik Sari Novita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler