x

Iklan

Mario Tando

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hatta (yang Bukan Bung Hatta)

Menanggapi pernyataan Hatta Taliwang tentang warga keturunan China yang ingin kuasai Indonesia lewat kegiatan politik

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

http://www.rmol.co/read/2016/07/18/253475/Hatta-Taliwang:-Warga-Keturunan-China-Mau-Kuasai-Indonesia-Lewat-Kegiatan-Politik-

 

Menanggapi pernyataan Hatta Taliwang tentang warga keturunan china yang ingin menguasai Indonesia lewat kegiatan politik rasanya amat menggelikan. Entah ada kepentingan apa dibalik semua ini. Hatta yang katanya merupakan Direktur Institute Soekarno-Hatta sepertinya sedang ditunggangi kepentingan lain dibalik semua pernyataannya. Phobia negatifnya amat menggeneralisasi yang justru dapat membuat suasana kebhinnekaan yang telah terbangun sedemikian indahnya dapat tergores. Isu yang membawa nama tokoh (yang kebetulan Tionghoa) seperti Ahok seperti biasa menjadi barang yang amat seksi untuk dipoles belakangan ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tentang Ius Soli dan Sanguinis yang rasanya pula teramat dipaksakan. Yang cukup menggelikan ialah pernyataan tentang orang-orang yang disebut Hatta mempunyai loyalitas ganda karena Tiongkok menganut Ius Sanguinis. Yang pertama, dapatkah anda buktikan bahwa (Ahok) misalnya ada kepentingan dengan Pemerintah Tiongkok, atau Pemerintah Tiongkok mengakui (Ahok) sebagai warganegaranya? Mungkin dia lupa Ahok juga dilahirkan oleh orangtua yang WNI (bukan asing), entah sejauh mana mengukur keturunan hingga mungkin dapat diakui oleh negara yang katanya menganut Ius Sanguinis. Jika tak terbatas, ada berapa orang Indonesia yang keturunan Tiongkok? Dalam sejarah yang ada saja orang Tiongkok telah ada ratusan tahun yang lalu di bumi Nusantara, mereka beranak pinak di Nusantara yang kemudian menjadi Indonesia.

Mungkin benar hal ini pernah menjadi sebuah masalah di masa yang lalu, tapi mungkin beliau juga lupa bahwa Perdana Menteri Zhou Enlai di tahun 50’an pernah menolak klaim bahwa Tiongkok akan menggunakan orang Tionghoa perantauan sebagai sarana untuk mengintervensi urusan domestic bangsa-bangsa tuan rumahnya. Di Indonesia sendiri ada sebuah Perjanjian Tiongkok-Indonesia tentang Kewarganegaraan Ganda, yang ditandantangani pada Konferensi Asia-Afrika (April 1955). Perjanjian ini menyatakan dengan jelas bahwa orang berkewarganegaraan ganda harus memilih hak untuk memilih secara bebas antara kedua kewarganegaraan. Dengan demikian, hal tersebut menandai berakhirnya klaim RRT terhadap semua orang Tionghoa perantauan (jika mereka memilih kewarganegaraan local). Logika sederhananya, leluhur kami (orang-orang keturunan Tionghoa) yang sejak masa itu memilih untuk menjadi warga Negara Indonesia, telah selesai urusan dengan negeri Tiongkok dan memilih untuk berjuang bersama dengan garuda dan merah putih di dada. Mungkin institute Soekarno-Hatta lupa akan hal bersejarah yang pernah terjadi di masa kepemimpinan Soekarno-Hatta sendiri.

Cukup buktikan saja jika mereka berjuang bukan untuk merah putih dengan kenyataan dan fakta yang ada. Dan mari kita selesaikan mereka (jika ada) dengan kekuatan hukum yang ada jika hal itu benar-benar merugikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sudah bukan jamannya memprovokasi orang dengan isu SARA, buktikan saja apa yang ada dengan fakta nyata. Apalagi jika Bung Hatta (yang bukan Bung Hatta) menggeneralisir kami (yang kebetulan Tionghoa dan lahir di Indonesia) sebagai antek asing yang merupakan bagian dari intelijen Tiongkok untuk menguasai Negara Kesatuan Republik Indonesia, pernyataan seperti itu lebih mengocok perut daripada apa yang dikatakan Cak Lontong sekalipun. Mungkin dia tak pernah melihat kehidupan kami seperti apa dan bagaimana, yang telah terlahir, hidup, dan bertahan dengan garuda dan merah putih di dada ditengah kehidupan yang berat karena kerakusan para tikus penguasa.

Jika Bung Hatta (yang lagi-lagi bukan Bung Hatta sesungguhnya) mempermasalahkan politik orde baru yang mengakibatkan kekuatan ekonomi orang-orang Tionghoa Indonesia (tidak semua, bahkan hanya segelintir) bertumbuh pesat, silahkan anda kembali ke masa itu, dan ubah sistem yang ada. Karena kami pun sejatinya tidak nyaman dengan hal itu, sebuah keterpaksaan yang mengakibatkan hal itu semua terjadi.

Jika Bung Hatta (yang lagi, lagi, dan lagi bukan Bung Hatta) mengatakan bahwa “Di era Orba, mereka (orang Tionghoa) hanya mempengaruhi Soeharto dalam bidang ekonomi. Namun di era reformasi, mereka telah mengatur dari belakang layar dan bahkan kini ingin tampil langsung mengatur kekuasaan”, kenapa tidak membuat pernyataan (juga) tentang berapa banyak keringat, darah, dan perjuangan orang-orang Tionghoa agar Indonesia merdeka? Berapa besar pengaruh mereka untuk perkembagan dan sejarah Nusantara?

Sederhana saja, jika para pengusaha yang seringkali disebut-sebut 9 naga itu benar-benar bersalah secara hukum yang ada, cukup buktikan dengan fakta dan bukti nyata, dan kami pun orang pertama yang akan mendukung agar mereka semua dihukum seberat-beratnya jika terbukti melakukan pelanggaran dan merugikan Negara. Jangan hanya membual, bahkan dari dulu juga hanya disebut-sebut 9 naga, tanpa ada yang berani dengan lantang menyebutnya siapa, atau mungkin hanya ikut-ikutan saja, tanpa tahu itu sejenis makanan apa, karena yang penulis tahu adanya ‘kaki naga’ yang begitu lezat ketika disajikan secara hangat.

Penulis tidak menampik mungkin ada segelintir pihak oknum keturunan yang masih berfikir eksklusif, tapi tentu saja itu bukan karena dia Tionghoa, itu terlebih dikarenakan karena trauma masa lampau yang mungkin selama ini belum lekang oleh waktu. Penulis sendiri amat berharap stereotype itu tak lagi ada, dan yakin itu tercipta seiring berjalannya waktu. Namun tentu saja itu bukan alasan untuk dapat menggeneralisir semua Tionghoa di Indonesia.

Sekarang zamannya aksi, bukan teori. Zamannya pembuktian, bukan janji. Sudah ketinggalan zaman jika berjuang untuk bumi pertiwi dengan mempermasalahkan asal usul yang tanpa disadari ada karena Sang Pencipta. Jika kalian masih mempermasalahkan hal itu, rasanya anda juga punya masalah dengan Sang Pencipta itu sendiri.

Sudah kebablasan jika sebuah pemikiran dipaksakan hanya untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok demi memuluskan langkah politik semata. Cukup buktikan mereka-mereka yang katanya merugikan Negara dengan fakta, dan kami akan mendukung penuh itu jika terbutki apa adanya. Bahkan, bunuh saja orang-orang yang terbukti merugikan Negara secara terencana, apapun agama, ras, etnis, sukunya. Jangan lagi politik adu domba zaman Belanda (devide et impera) terlahir kembali di Negeri yang katanya sudah merdeka.

Bahkan jika ada orang keturunan Senegal sekalipun yang Warga Negara Indonesia menjadi Pemimpin di Negeri ini tak masalah buat kami selama ia melahirkan kebijakan yang membuat rakyatnya makmur dan sejahtera. Namun jika ada orang yang mengaku-aku ‘Indonesia Asli’, lalu menjadi pemimpin namun kenyataannya menyengsarakan rakyat, jika ada hukuman lebih hebat daripada hukuman mati ataupun hukuman pidana seumur hidup, ia pantas mendapatkannya. Namun sekalipun Ahok terbukti secara nyata melanggar hukum dan merugikan negara dengan terencana, kami orang yang akan berdiri paling depan untuk berteriak agar dia diadili dengan hukuman (yang paling keras adanya). Karena kepentingan Negeri bukan soal SARA, namun kepentingan akan usaha kebijakan yang membuat rakyatnya aman, nyaman, makmur, dan sejahtera, bukan sebaliknya.

Menjadi Tionghoa ialah sebuah anugerah dari Sang Pencipta, menjadi Indonesia adalah sebuah kebanggaan!

 

Mario Tando

(Ketua Umum Generasi Muda Khonghucu Indonesia)

Ikuti tulisan menarik Mario Tando lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler