Perlukah Ikon Superhero untuk Bangsa ini?

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa kabar superhero lokal hari ini?

 

Beberapa bulan ini, saya menjadi penonton setia serial animasi anak Boboiboy asal Malaysia. Kebetulan keponakan saya adalah penggemar kartun yang diproduksi oleh Animonsta Studios tersebut. Secara adil, tanpa sentimen nasionalisme dan NKRI harga mati, Boboiboy memiliki jalinan cerita yang asyik, renyah, dan humornya pas. Dengan berat hati pula, saya menilai animasi dalam negeri seperti Adit dan Sopo Jarwo jelas bukan tandingannya.

Boboiboy  yang mulai tayang sejak 2011 ini berkisah tentang seorang bocah dan beberapa kawannya yang memiliki kekuatan super. Mereka bersatu padu melawan alien bernama Adu Du dan robotnya Probe yang memiliki ambisi lucu: menguasai bumi dan biji coklat. Tak hanya di Indonesia, animasi ini hampir diputar di seluruh negara kawasan Asia Tenggara.

Boboiboy sejatinya tak lepas dari orang-orang di balik Upin & Ipin yang lebih dulu populer. Apa yang menarik dari Boboiboy? Tentu tema superhero yang diangkatnya. Pilihan itu cenderung berani, mengingat ikon superhero sudah terlanjur lekat pada Jepang dan Amerika Serikat. Lalu, tenggelamkah Boboiboy? Tidak. Ada ruang bagi penonton usia anak-anak yang ditempati oleh animasi negeri jiran itu.

Kekuatan Adi-manusia (super) seperti terbang, melesat bak kilat, mengeluarkan sinar dari mata, menyelam seperti ikan, teleportasi, telepati dan lain-lain, seperti menjadi obsesi manusia modern. Namun di sisi lain, tema superhero kerap dicibir sebagai domain anak-anak. Jika ada orang dewasa menyukai tema itu, mereka pun diejek ‘kekanak-kanakan’. Saya termasuk korban ejekan itu. “Sudah besar masih suka batman!”

Berbicara tema superhero memang tak lekang dimakan waktu. Menariknya, tema superhero kerap memiliki korelasi unik dengan identitas sebuah bangsa. Negara-negara besar memiliki kisah-kisah adi-manusia yang cukup kuat bahkan sejak awal abad 20 bergulir.  Dalam tulisan berjudul  Superheroes and the law: Batman, Superman, and the “Big Other” (2014), Dan Hassler-Forest , akademisi asal Utrecht University itu menyebutkan bahwa tema superhero meraih popularitas pertama kali di era “Golden Age” di akhir 1930 dan 1940.

Tema superhero juga sangat intim dengan kisah kepahlawanan nyata (atau propaganda). Captain America karya Jack Kirby, misalnya, memiliki kaitan erat dengan peristiwa Perang Dunia ke-2. Ada lagi, karya Frank Miller pada 2011 berjudul Holy Terror  yang berkaitan dengan peristiwa serangan 11 September 2001.  Awalnya Miller ingin mengangkat Batman  sebagai tokoh pahlawan dalam karya ini. Si manusia kelawar dikisahkan bertarung dengan teroris Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Belakangan, setelah ramai dikritik, Miller mengganti Batman dengan superhero anyar bernama The Fixer. Penerbitnya pun beralih dari DC Comics ke Legendary Comics..

Sudahi dulu membahas Amerika Serikat. Kita sudah sama-sama tahu negeri Abang Sam menjadi kiblat Superhero sejak lama. Dengan dua penerbit besar DC Comics dan Marvel sebagai motor industri, dunia mengenal Batman, Superman, Captain America, Iron Man, Spiderman, dan lain-lain.  Soal tema ini, Jepang mengekor Amerika. Negeri Matahari Terbit ini mencoba menciptakan karakter unik yang berbeda dari Amerika.

Jepang mengenalkan superhero mereka kepada dunia melalui tokusatsu, anime, dan manga. Fondasi tokusatsu sendiri diperkenalkan oleh Eji Tsuburaya, kreator Godzilla dan Ultraman. Selain genre kaiju/monster, tokusatsu juga populer dengan karakter Kamen Rider (Ksatria Baja Hitam dalam versi Indonesia), Mecha Robot, atau Super Sentai (Goggle V atau Power Rangers).  Dari lini anime dan manga, kita mengenal karakter Songoku (Dragon Ball), Luffy (One Piece), hingga Naruto. Jepang tampak ingin melepas diri dari pengaruh Amerika soal karakter super ini. Mereka berhasil.

Lokus superhero beraksi pun selalu menarik dan memiliki kesamaan. Negeri asal superhero ini selalu menjadi titik pusat bumi –tempat peristiwa-peristiwa penting terjadi. Dalam Ultraman atau Godzilla, misalnya, para monster akan muncul di Jepang –sebelum menjelajah ke belahan bumi lain. Jika negara lain dibahas, seperti halnya film Captain America Civil-War  beberapa waktu lalu, itu hanya arena jelajah dan arena aksi para jagoan super. Pusatnya? Tetap di New York, markas Avengers berada.

Bagaimana dengan Tiongkok, Inggris, atau Rusia?

Tiongkok sudah lama memiliki kisah-kisah adimanusia. Kisah Perjalanan ke Barat  yang legendaris berikut ikon Kera Sakti Sun Go Kong adalah salah satunya.  Karakter super juga dapat kita lihat dari tokoh-tokoh kungfu kreasi Tony Wong. Sedangkan Inggris, seniman-seniman mereka seperti Alan Moore, Mark Millar, dan Grant Morrison adalah jajaran penulis berpengaruh yang ikut dalam industri komik DC dan Marvel di Amerika Serikat.

Rusia sendiri merilis cuplikan film tentang Superhero berjudul Zaschitniki (The Guardian) yang dijadwalkan tayang pada 2017. Latarnya pun era Perang Dingin. Terdapat empat jagoan super dalam film ini yaitu Ler, Arsus, Khan, dan Xenia. Sebelumnya, ikon superhero yang berlatar negeri Tirai Besi juga diangkat dalam beberapa terbitan DC Comics maupun Marvel.

 

Di mana Pahlawan Super lokal kita?

Bangsa ini pernah memiliki kisah gemilang pahlawan super.  Era di mana taman bacaan menjamur pada tahun 60 hingga 70-an. Era di mana kita mengenal Gundala, Godam, Aquanus, Sri Asih, Pangeran Mlaar, Si Buta dari Gua Hantu, Mandala, dan banyak lagi. Di era itu pula nama-nama seperti Jan Mintaraga, Teguh Santosa, Ganes TH, Hans Jaladara, Jeffry, SIM, Zaldy, RA Kosasih, Sopoiku, Usyah, Mansur Daman, Leo, Djair, Wid.NS, Ardisoma, Oerip, Hasmi, Tati, Hengky, dan sejumlah nama lainnya begitu masyhur.

Kini, era baru dimulai. Ikon-ikon super lawas kembali dibangkitkan, berikut bermunculan karakter-karakter baru. Kejayaan Gundala dan kawan-kawan ini, misalnya, coba dibangkitkan oleh beberapa penggemar komik seperti Andy Wijaya. Wajah Sang Putra Petir dan kompatriotya hadir dalam bentuk komik strip di Kompas. Terbitan lama pun direstorasi ke dalam format baru yang kekinian.

Label Skylar Comics, yang digawangi artis Marcellino Lefrandt, menerbitkan serial Volt (pahlawan super berkekuatan kilat) dengan konsisten. Penerbit ini juga menciptakan ikon pahlawan perempuan bernama Valentine. Begitu pula penerbit Supermoon Comics dengan jagoan bernama Executor, Gatotkacareo, dan lainnya. Konsep pewayangan pun dengan menarik digubah ulang oleh Is Yuniarto dalam Garudayana.

Karakter lain yang menarik disimak adalah Setan Jalanan karya Franki Indrasmoro (drummer NAIF) dan Haryadi. Konsepnya mirip dengan Batman sebagai vigilante atau hakim jalanan. Setan Jalanan yang diganjar penghargaan Kosasih Award pada 2014. Jalinan cerita yang menarik dan kompleks ditambah ilustrasi (hitam-putih) yang indah di setiap panel, menjadi kunci asyiknya membaca Setan Jalanan.

Saya juga senang melihat kehadiran Bima X Satria Garuda, tokusatsu asal Indonesia. Serial tokusatsu Indonesia, yang merupakan hasil kerja sama MNC Media atas inisiatif Reino Barack dengan Ishimori Productions, kreator Kamen Rider di Jepang, meraih popularitas di kalangan anak-anak. Berbagai produk cinderamata seperti action figure hingga permainan di android cukup digemari!

Meski superhero lokal terinspirasi dari jagoan asal negara lain, namun konteks ke-Indonesia-an tak pernah hilang. Dulu sekali, bahkan jagoan-jagoan lokal seperti Gundala dan Godam bisa berinteraksi dengan Batman juga Superman. Namun, kendala hak cipta juga yang membuat cerita saling-silang antar tokoh itu menjadi sulit hari ini.

Di dalam cerita, Indonesia menjadi titik pusat penting dunia. Inilah yang saya tunggu. Semuanya dimulai dari imajinasi, bukan? Seperti mimpi tokoh manga Captain Tsubasa pada 1981 membawa Jepang menuju Piala Dunia. Sebuah mimpi yang dicapai bangsa itu 17 tahun kemudian dalam Piala Dunia Prancis setelah komik itu terbit pertama kali.

Jagoan super bangsa ini sedang mencari jalan untuk merebut hati kita. Tak ada salahnya belajar dari Boboiboy juga Upin & Ipin. Animasi yang disebut terakhir bahkan menggandeng Tsuburaya untuk menghadirkan figur tokusatsu legendaris Ultraman dalam beberapa tayangannya dengan judul Ultraman Ribut.

Melihat geliat industri kreatif mengembangkan jagoan super hari ini, bolehkah saya menduga bahwa bangsa ini berada di jalur yang benar untuk meraih identitasnya kembali?

sumber gambar: rudyao|deviantart

Bagikan Artikel Ini
img-content
Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Multisemesta Bernama Indonesia

Selasa, 21 Mei 2019 21:24 WIB
img-content

Memaknai Kekalahan dalam Demokrasi

Senin, 20 Mei 2019 14:28 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Urban

Lihat semua