Pers dan Pembayangan Indonesia

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagimana pers vernakular mampu membentuk imaji kebangsaan.

Oleh Subairi Muzakki

 

Ketika Multatuli mengadu pada dunia atas penderitaan masyarakat jajahan di tanah Hindia dalam novel Max Havelar pada tahun 1860, kolonialisme Belanda terperanjat, menahan malu di hadapan keagungan nilai-nilai pencerahan dan diktum revolusi Perancis.

Max Havelar laris di pasar, dibaca banyak warga dunia, dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Max Havelar, sebuah novel karya Edward Douwes Dekker dengan nama pena Multatuli adalah kombinasi karya intelektual dan mesin cetak yang mampu mengubah wajah kolonialisme. Ia mampu menyemai rasa dan kesadaran warga pembaca, rasa empati bahwa masyarakat jajahan juga manusia yang harus diperlakukan sebagai manusia.

Pramoedya Ananta Toer menyebutnya, Max Havelar membunuh kolonialisme. Dampaknya, dorongan bahwa pemerintah Belanda juga bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat jajahan Hinda memicu lahirnya kebijakan-kebijakan politik balas budi yang dikenal dengan politik etis. Kebijakan ini tersimpul  ke dalam tiga bidang, irigasi, transmigrasi, dan edukasi.

Terutama dalam edukasi, lembaga pendidikan banyak didirikan bahkan hingga Perguruan Tinggi, seperti sekolah dokter Jawa Stovia yang nanti mencetak banyak bangsawan fikiran. Lewat lembaga pendidikan (edukasi), akselerasi ilmu pengetahuan muncul, dan masyarakat Hindia Belanda lalu mengenal dan membaca ilmu-ilmu pengetahuan yang datang dari Eropa.

Inilah ihwal munculnya bangsawan fikiran, anak jajahan yang mulai menguasai keterampilan berfikir. Rata-rata mereka menguasai bahasa Belanda, dan tentu saja bahasa melayu pasar sebagai lingua franca. Mereka membaca buku-buku dan surat kabar-surat kabar yang mulai terbit. Dengan Buku mereka terkoneksi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan dengan surat kabar mereka terkoneksi dengan kejadian-kejadian di daerah lain.

Koneksi ini memiliki dampak luar biasa. Mereka mulai membandingkan kejadian di daerah lain dengan apa yang terjadi di daerahnya sendiri dan menggunakan ilmu pengetahuannya untuk merefleksikan, mencari akar masalah, dan solusinya.

Melalui surat kabar yang mulai tersebar, mereka tahu bahwa di daerah sana mengalami kejadian serupa dan mereka pun mulai merasa se nasib dan seperjuangan. Mulailah mereka membayangkan sebagai satu komunitas, komunitas terbayang yang walau satu sama lain tidak saling kenal tapi memiliki cita bersama dan harus berjuang bersama.

Jawa, Bali, Sumatera, Madura, Sulawesi, dan Kalimantan walau sebelumnya pernah terlibat dalam peperangan satu sama lain, kini mulai merasa se-nasib sependeritaan dan satu visi. Pers yang mulai tumbuh dan berkembang itu dengan sendirinya terus memupuk rasa persaudaraan sebagai satu komunitas diantara mereka. 

Dulu hanya satu novel Max Havelar yang mengungkap penderitaan masyarakat jajahan, itupun dengan bahasa Belanda. Kini, puluhan koran dan majalah melakukan hal sama, dengan memakai bahasa yang dimengerti oleh mayoritas masyarakat Hindia Belanda, yakni bahasa melayu pasar dan dilakukan secara kontinyu.

***

Selain pers berbahasa Melayu sebenarnya banyak juga yang memakai bahasa Belanda dan Tionghoa. Namun jarang sekali memperhatikan masalah Hindia Belanda dan karenanya sedikit menarik pembaca kalangan bumi putra.

Menurut Douwes Dekker, secara kronologis surat kabar berbahasa Melayu yang tertua ialah Bintang Soerabaja, terbit pada tahun 1861 dipimpin oleh Courent.  Isinya selalu menentang Pemerintah dan berpengaruh di kalangan orang-orang Tionghoa di Jawa Timur.  Namun yang paling terkenal dan berpengaruh di kalangan bumiputra adalah Medan Prijaji, terbit pada tahun 1907 sebagai mingguan dan sejak 1910 sebagai harian. Koran ini dipimpin oleh Tirto Adhi Surjo, orang pribumi yang diceritakan dengan sangat memikat oleh Pramoedya dalam roman Tetralogi Pulau Buru dengan tokoh protagonis Minke.

Tirto Adhi Surjo adalah mantan mahasiswa Stovia. Jurnalis berbakat, pernah jadi koresponden beberapa media dan redaktur pada koran Pembrita Betawi (1901-1903). Di koran Pembrita Betawi ini dia secara khusus bertanggung jawab atas kolom “Dreyfusiana” yang disediakan untuk mengungkap penyalahgunaan-penyalahgunaan kekausaan oleh Belanda dan para pegawai sipil pribumi.

Kolom itu dimaksudkan untuk menjadikan jurnalisme sebagai sebuah senjata baru bagi perjuangan orang-orang terjajah.  Nama kolom itu merujuk pada “Kasus Dreyfus” yang terjadi pada akhir abad ke-19 di Prancis. Kasus itu melahirkan “manifeste des intllectuals” (manifesto intelektual) dan menjadi tonggak sejarah bagi gerakan intelektual di Eropa. Hal ini menunjukkan pengaruh gerakan intelektual Eropa di Hindia Belanda, walaupun kata “intellectueel” (intelektual) belum lagi lazim dipakai dalam wacana publik di kalangan para bangsawan fikiran waktu itu.

Sejak itu, kata intulektual mulai populer dalam pers vernakular. Ia ditulis dengan tak menghilangkan muatan makna protes terhadap kesewanangan, bahwa kaum intelektual harus membela terjajah melawan penjajah. Semakin istilah ‘intelektual’ membanjir dalam halaman-halaman pers vernakular, semakin tumbuh pula kesadaran dan kepedulian bangsawan fikiran sebagai kaum intelektual untuk memperjuangkan rakyat terjajah.

Tirto pula yang memulai langkah besar pada 1903 dengan mengelola mingguan vernakular pertama yang dimiliki, dieditori, dan dikelola sendiri oleh orang pribumi, yakni mingguan Soenda Berita di Cianjur atas dukungan finansial dari Bupati Cianjur, R.A.A Prawidiredja. Walau hanya bertahan dua tahun, tapi usaha rintisan ini menjadi modal kesuksesan Medan Prijaji.

Pada masa jayanya antara 1910-1912, Medan Prijaji mencapai tiras hingga 2.000 eksemplar, suatu jumlah yang waktu itu cukup besar. Walau Tirto punya kedekatan personal dengan Gubernur Jendral Van Heutz, nada kritis dan protes terhadap kesewanangan Belanda (pemerintah) sangat nampak. Seperti yang lain, ia mendefinisikan dirinya sebagai jurnalisme perjuangan, wadah perjuangan kaum intelektual.

Dengan kritisisme-nya, bahasa yang digunakan dan jumlah eksemplar yang tersebar saja sudah cukup untuk menyebut bahwa Medan Prijaji adalah pelopor jurnalisme nasional. Menggunakan analisa Bennedict Anderson, dengan mempopulerkan bahasa melayu pasar, ia bertindak layaknya tesis-tesis ‘pembumian agama’-nya Marthin Luther yang ditempel di pintu kapel di Wittenberg, Jerman sekarang.

Tesis-tesis itu memakai bahasa Jerman sehari-hari, dalam waktu lima belas hari tulisan itu sudah dapat dijumpai di segala tempat di seluruh negeri. Bahasa vernakular yang dipakai Luther lalu diikuti oleh penulisan buku-buku lainnya, yang terus laris di pasar, meruntuhkan sakralitas bahasa latin, dan akhirnya menciptakan khalayak pembaca baru dan sangat besar. Dari sini, benih pembayangan akan suatu komunitas atau komunitas terbayang muncul yang berujung pada kehadiran nasionalisme. Bahasa-bahasa cetak ini membentangkan landasan bagi kesadaran nasional.

Dalam operasi yang sama, Medan Prijaji menciptakan khalayak pembacanya sendiri, begitu pula koran dan majalah vernakular lainnya. Para pembaca potensial dari koran-koran dan majalah-majalah berbahasa Melayu pasar terentang mulai dari para pedagang, serdadu, dan misionaris Eropa yang telah terbiasa mengguankan bahasa ini dalam kontak-kontak mereka dengan penduduk pribumi, sampai dengan orang-orang keterunan Cina yang melek huruf dan akrab dengan bahasa Sino-Melayu yang jumlahnya terus meningkat, serta orang-orang Bumiputra yang melek huruf yang telah lama terbiasa dengan bahasa Melayu. Dengan kondisi seperti itu, pembaca pers vernakular terus menanjak dan mendorong agar pers tidak hanya berorintasi komersial, tapi juga melayani aspirasi-aspirasi inteligensia yang sedang tumbuh, selain terus lebih memperhatikan kondisi-kondisi Hindia Belanda.

Kritisisme sosial sangat nampak dalam pers-pers vernakular. Umumnya, mereka memposisikan diri sebagai pejuang rakyat jajahan yang harus melawan kesewenangan pemerintah. Bagi mereka, pers dan politik adalah satu kesatuan sebagai perkakas untuk membela rakyat dan mengusir kolonialisme Belanda. Pada pertemuan dengan para Jurnalis di Padang 1932, Mohammad Hatta mengaskan posisi ini dengan mengatakan:

Joernalistik dan politik tidak dapat dipisahkan! Bagi ra’jat banyak pers itu sangat perloe sekali, karena pers itoe bersifat doea matjam, jaitoe menerangi mata ra’jat dan memboekakannja. Kewajiban ini mendjadi tanggoengan pers jang sebenar-benarnja, terlebih pada masa sekarang.[1]

Posisi oposisi ini juga terlihat dari isi dan konten yang ada, selain berita tentang Hindia Belanda dan manca Negara, roman yang dikemas dalam bentuk cerita bersambung, artikel-artikel dari para bangsawan fikiran terus mewarnai lembaran-lembaran pers vernakular. Mayoritas berisi protes terhadap pemerintah, ajakan persatuan, penyebaran gagasan maupun ideologi perjuangan, dan analisa perkembangan manca Negara.

Dengan begitu, pers vernakular menyediakan konstruksi simbolik dan menjadi wahana ekspresi identitas kolektif, forum bagi pertukaran ide-ide diantara inteligensia baru yang idealis, dan juga obor inspirasi dari dunia luar yang bisa menghidupkan hasrat-hasrat dan tindakan-tindakan baru. Dari sinilah benih pembayangan akan suatu komunitas atau hadirnya komunitas terbayang yang berujung pada penciptaan bangsa Hindia, yang nanti berubah nama menjadi Indonesia.

Abdul Rivai adalah jurnalis yang mempopulerkan istilah “bangsa Hindia”. Dalam majalah Bintang Hindia edisi perdana No. 1 (1902) dia menulis: “Jika kita membandingkan “bangsa Hindia’’dengan ras kulit putih, maka mungkin akan terdapat banyak perbedaan….” Dalam tulisan ini sangat nampak bahwa Hindia sudah dibayangkan sebagai satu bangsa. Dengan sendirinya, tulisan itu juga mendorong tumbuhnya kesadaran nasional dalam diri penduduk Hindia dan menekankan pentingnya harga diri bangsa sebagai sebuah kekuatan penggerak menuju kemajuan.

Tema-tema tentang bangsa lalu populer dan terus mewarnai halaman-halaman pers vernakular. Bahkan pers kemudian menjadi pejuang kesadaran nasional, menyerukan persatuan, dan mendiskusikan formasi dan formulasi kebangsaan untuk Hindia. Perjuangan ini semakin massif ketika pers dijadikan corong komunikasi politik organisasi-organisasi pergerakan.

Abad 20 menjadi saksi dari kolaborasi organisasi pergerakan dan pers vernakular yang tak pernah lelah menyuarakan tema-tema kebangsaan berhasil mencipta bangsa baru di tanah Hindia, yakni bangsa Indonesia. Terutama setelah dipakainya istilah “Indonesia” sebagai nama bangsa baru itu, sebuah era baru benar-benar telah dimulai, sebuah era yang menandai dimulainya sejarah bangsa Indonesia.

 

[1]  Dimuat dalam Madjalah Daulat Ra’jat, edisi 10 November 1932

 

Ciputat, 2010

Bagikan Artikel Ini
img-content
Subairi Muzakki

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler