x

Presiden Jokowi didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla saat konferensi pers mengenai penunjukkan Komjen Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri di Istana Negara, Jakarta, 16 Juni 2016. Surat pengusulan nama calon Kapolri kepada DPR diserahkan per

Iklan

Andi irawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Reshuffle Kabinet Jokowi dan Peringatan Xi Jinping

Pernyataan Xi Jinping itu harus menjadi peringatan dini bagi Presiden Joko Widodo dalam menata kabinet yang dipimpinnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Misi Altruistik Reshuffle Kabinet

"Jika partai kita tidak bisa menangani masalah ketahanan pangan dengan benar dan terus salah menanganinya, rakyat akan bertanya apakah kita masih pantas untuk terus memerintah Cina," kata Presiden Cina Xi Jinping pada 2013, setahun setelah dia memimpin negeri itu.

 

Majalah The Economist, yang mengutip pernyataan tersebut pada edisi April lalu, menilai pernyataan resmi Xi Jinping itu sebagai pernyataan yang luar biasa. Ini karena negara yang hanya dikuasai satu partai dengan kekuasaan yang sangat besar itu juga harus mengakui bahwa sesungguhnya eksistensi kelayakan kekuasaan politik bukanlah pada dukungan atau kekuatan politik, melainkan kemampuan melayani rakyat. Dalam konteks pernyataan Xi Jinping, itu berarti kemampuan negara menghadirkan ketahanan pangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Pernyataan Xi Jinping luar biasa karena para pemimpin Partai Komunis Cina sebelumnya selalu dengan percaya diri mengatakan bahwa semua rakyat Cina mendukung partai. Menurut The Economist, Xi Jinping mengatakan demikian karena dia melihat banyaknya keluhan rakyat terhadap ketidakkompetenan birokrasi dan korupsi di lembaga-lembaga negara. Dia tampaknya sadar betul bahwa penyakit birokrasi yang akut tersebut akan merugikan dan bahkan tidak mustahil bisa menjatuhkan Partai Komunis Cina, yang sudah berkuasa sejak 1949.

 

Menurut hemat kami, pernyataan Xi Jinping itu harus menjadi peringatan dini bagi Presiden Joko Widodo dalam menata kabinet yang dipimpinnya. Sebagaimana yang kita ketahui, akhir-akhir ini isu tentang reshuffle menguat kembali. Sejumlah pihak meniscayakan kehadiran reshuffle kedua ini, mengingat bergabungnya partai-partai yang semula beroposisi menjadi partai pendukung pemerintah menyebabkan perlunya mengakomodasi representasi dukungan tersebut dalam kursi kabinet. Tentu saja logika tersebut masuk akal karena kalangan pakar politik pun menilai penting sekali adanya dukungan politik yang memudahkan langkah presiden dalam menjalankan janji-janji politiknya kepada rakyat.

 

Kita bisa merujuk Mainwaring dan Shugart (1997), yang mengatakan bahwa kabinet yang bernas dari perspektif ekonomi-politik harus didukung oleh dua kaki yang kuat sekaligus seimbang. Kaki yang pertama adalah penopang stabilitas dan soliditas politik yang berguna untuk mensinergikan beragam kepentingan kekuatan politik. Sedangkan kaki yang kedua adalah kemampuan eksekusi profesional dari kabinetnya.

 

Untuk mendapatkan dukungan yang nyata dari partai-partai politik di DPR ini, niscaya Presiden mengakomodasi figur partai dalam kabinetnya. Namun penempatan figur-figur partai tidak boleh lepas dari upaya untuk menghadirkan kekuatan kaki yang kedua, yaitu kemampuan eksekusi kabinet yang efektif dan produktif. Presiden harus menemukan figur dari partai politik yang punya kapasitas dan profesionalitas untuk duduk sebagai orangnya presiden atau para profesional non-partai politik yang punya kemampuan berkomunikasi baik dengan semua kekuatan politik di DPR yang akan menjadi mitra kerjanya.

 

Yang perlu diingat oleh Presiden Jokowi, sebagaimana yang dinyatakan Xi Jinping, kekuasaan politik harus mampu menghadirkan pelayanan yang prima kepada rakyat. Reshuffle yang sekadar menghasilkan soliditas kabinet tapi tidak mampu meningkatkan produktivitas dari kabinet dalam rangka merealisasi janji-janji presiden kepada rakyat akan berimplikasi gagalnya presiden untuk mendapatkan kepercayaan dari publik. Artinya, reshuffle tidak boleh dilakukan sekadar menghadirkan soliditas kabinet atau sekadar tidak diganggu oleh kekuatan politik DPR. Artinya pula kabinet yang dibentuk tidak boleh menjadi bias hasil deal-deal "dagang sapi" di pasar politik yang sangat bervisi myopic dan pragmatisme.

 

Reshuffle kabinet itu bernilai altruistik karena ia akan menjadi barometer kualitas kenegarawanan seorang presiden. Tujuan penting dari reshuffle itu adalah menghadirkan kabinet yang efektif merealisasi misi kepemimpinan sang presiden. Misi kepemimpinan ini sesungguhnya bernilai altruistik karena pembentukan kabinet itu dalam rangka menghadirkan cita-cita bersama bangsa yang termaktub dalam alinea ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang dijabarkan secara teknis di lapangan sebagai "Nawa Cita" Presiden Jokowi.

 

 

Andi Irawan, Lektor Kepala Ilmu Ekonomi Universitas Bengkulu

 

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Senin, 25 Juli 2016

Ikuti tulisan menarik Andi irawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler