x

Iklan

Heri Andreas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Penurunan Tanah di Semarang Kian Mengkhawatirkan

Tak pelak Rob atau banjir laut semakin kentara di Semarang karena penurunan tanah yang kian mengkhawatirkan, bukannya berhenti malah tambah cepat laju-nya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penurunan tanah kian cepat, Rob kian menggenangi

Titik-titik warna merah pada gambar menunjukkan akselerasi atau semakin cepatnya penurunan tanah per-tahun yang terjadi di lokasi-lokasi titik pantau seperti di bagian Utara dan Utara Timur Kota Semarang, titik-titik warna kuningnya menunjukkan penurunan tanah dengan nilai konstan per tahunnya, dan warna hijau berarti tidak ada penununan tanah.  Ini adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian penurunan tanah di daerah Semarang oleh Kelompok Keilmuan Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB tahun 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, dan 2016 menggunakan teknologi Global Positioning System (GPS) dan Interferometric Syntetic Aperture RADAR (InSAR).  Tercatat daerah Kaligawe, Terboyo, dan sekitarnya, permukaan tanahnya sudah turun mencapai lebih dari 1 meter semenjak diteliti di tahun 2008 silam.  Daerah Tanjung Mas dan sekitarnya juga turun mendekati 1 meter.  Sementara itu di sekitar Simpang Lima, Tugu Muda penurunan tanahnya relatif lebih kecil, tercatat besarnya hanya sekitar 20 sentimeter.

Penurunan tanah atau land subsidence adalah suatu fenomena alam yang banyak terjadi di kawasan binaan seperti Kota-Kota besar yang berdiri di atas lapisan sedimen, seperti Semarang, Jakarta, Bandung, Bangkok, Shanghai, Osaka, Tokyo, Venice, San Joaquin, dan Las Vegas. Secara teori, penurunan tanah diartikan sebagai gerakan muka tanah yang semakin rendah relatif terhadap suatu bidang referensi tertentu yang stabil.  Arti lainnya menyatakan bahwa penurunan tanah itu tidak lain adalah penurunan muka tanah dalam fungsi waktu yang dicirikan oleh perubahan suatu titik (benchmark, pail) di permukaan bumi.  Selain terjadi di Kota-Kota besar yang berdiri diatas lapisan sedimen, penurunan tanah kerap terjadi di sekitar wilayah ekploitasi minyak dan gas Bumi, di wilayah tambang bawah permukaan (underground mining), kawasan-kawasan Industri, serta di wilayah geotermal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Teknologi yang biasa digunakan untuk memantau penurunan tanah diantaranya teknologi GPS dan InSAR.  Dengan pengamatan GPS kita dapat menentukan perubahan posisi di permukaan bumi secara teliti dari waktu ke waktu hingga akurasi milimeter dengan bantuan pengamatan jarak ke satelit-satelit positioning.  Perubahan posisi dalam arah sumbu z atau komponen vertikal dapat merepresentasikan penurunan tanah di lokasi yang kita pantau.  Teknologi InSAR secara prinsipnya menentukan beda fasa gelombang satelit-satelit interferometri.  Perbedaan fasa yang teliti dari waktu ke waktu yang dikonversikan ke komponen posisi dapat merepresentasikan penurunan tanah.  Teknik dan teknologi lainnya yang dapat digunakan untuk memantau penurunan tanah yaitu Sipat Datar teliti atau waterpass teliti, Extensometer, micro gravity, dan lain-lain.

Dampak dari penurunan tanah khususnya untuk wilayah dekat pantai (coastal area) dapat dirasakan dengan jelas seperti rob atau banjir laut, cekungan banjir, retak pada gedung/bangunan, tidak berfungsinya saluran air, kerusakan sarana jalan, dan adanya penurunan kualitas lingkungan secara umum.  Apabila kita melihat wilayah Semarang, dampak penurunan tanah secara keseharian  memang sudah terasakan akhir-akhir ini yaitu antara lain dalam bentuk beberapa fenomena yang bersifat destruktif seperti : rob atau banjir laut pada saat pasang, lahan yang tenggelam secara permanen, yang terjadi akibat posisi laut lebih tinggi dari posisi daratan, kemudian terjadinya retak pada gedung/bangunan, tidak berfungsinya saluran air, kerusakan sarana jalan, dan penurunan kualitas lingkungan secara umum.

Dampak penurunan tanah ini tentu tidak dapat diabaikan begitu saja.  Di Jalur Pantura Semarang contohnya pada bulan Juni kemarin terjadi antrian sangat panjang kendaraan, macet parah di sekitar Terboyo Semarang Utara arah Demak, akibat rob menggenangi jalan raya utama Semarang Demak.  Tanpa penurunan tanah maka rob tidak akan separah itu terjadi disana.  Belum lagi apabila kita jalan-jalan ke daerah Sayung, Morosari, dan beberapa daerah lainnya di sekitar Utara Semarang berbatasan dengan Demak, disitu dapat dilihat tambak-tambak kini telah hilang di ‘telan’ laut, bahkan rumah-rumah juga lambat laun kian tenggelam terhadap laut apabila tidak ada upaya apa-apa.  Jelas kondisi ini adalah sebuah bencana ekologi yang harus ditangani, harus dimitigasi.  Salah satu upaya yang penting adalah menemukan faktor-faktor penyebab penurunan tanah di sana, kemudian menentukan bentuk upaya mitigasi atau adaptasi yang tepat.

Dari studi penurunan tanah yang dilakukan selama ini, diidentifikasi ada beberapa faktor penyebab terjadinya penurunan tanah yaitu : pengambilan airtanah yang berlebihan, penurunan karena beban bangunan (settlement), penurunan karena adanya konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan tanah, serta penurunan karena gaya-gaya tektonik. Untuk daerah minyak dan gas, serta tambang bawah permukaan, eksploitasi minyak dan gas serta mineral tambang bawah permukaan juga merupakan faktor penyebab penurunan tanah.  Dari faktor-faktor penurunan tanah ini, tiga faktor pertama (terutama masalah penggunaan air tanah berlebihan) dipercaya berkontribusi signifikan dalam menyebabkan penurunan tanah.  Bukti nyata sudah dapat di lihat di banyak tempat di dunia, ketika air tanah banyak di ambil, maka permukaan tanahnya turun, namun sebaliknya ketika air tanah di stop pengambilannya, bahkan apabila kembali disuntikkan ke dalam tanah, maka penurunan tanah dapat berhenti.

Fakta sekarang ini penurunan tanah di Semarang khususnya di bagian Utara dan Utara Timur kian mengkhawatirkan, bukannya berhenti malah semakin cepat laju rata-rata per-tahunnya.  Fakta berikutnya daerah Semarang Utara dan Demak merupakan sentra industri yang terus berkembang keberadaanya, yang diyakini membutuhkan air yang sangat banyak dalam proses industri yang dilakukan, ditengarai sebagian besar mengambil air dari dalam tanah. Maka, dalam hal ini hipotesa korelasi antara penurunan tanah dan pengambilan air tanah tidak boleh dikesampingkan.  Semakin banyak air tanah yang diambil, maka sangat dimungkinkan akan membuat tanah semakin turun di lokasi-lokasi tersebut.  Ini hipotesa yang cukup kuat.  Dari fakta-fakta ini seyogyanya perhatian yang lebih serius untuk upaya mitigasi atau adaptasi penurunan tanah yang terjadi di Semarang dengan salah satunya memperhatikan hipotesa di atas harus dilakukan.  Kapan, ya sekarang !

Heri Andreas, Pengajar dan Peneliti Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Institut Teknologi Bandung

Ikuti tulisan menarik Heri Andreas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB