Brexit: (Ke)macet(an) dan Kebijakan
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBrexit (British exit) melanda Inggris, Brexit (Brebes Timur Exit) lainnya terjadi di Indonesia. Keduanya menimbulkan kemacetan disektor pelayanan publik.
Brexit (British exit) melanda Inggris 23 Juni 2016 melalui referendum untuk keluar dari UE sehingga berdampak kepada “kemacetan” sektor financial dan moneter. Hal yang sama terjadi 10 hari kemudian, namun Brexit versi Indonesia yang berdampak kepada kemacetan sektor transportasi di jalan Tol Brebes Timur Exit (Brexit) akibat kepadatan mudik lebaran. Macet 'berjemaah' ini terjadi di sejumlah ruas jalan tol, tetapi Brexit-lah yang sangat menundang perhatian. Bagaimana tidak, ratusan bahkan jutaan orang melewati jalan tol ini hingga menyebabkan kemacetan sekitar 23 km, mulai dari gerbang Tol Pejagan hingga gerbang Tol Brebes Timur antrean kendaraan terjadi sepanjang 23 kilometer, mulai dari pintu keluar Tol Brebes Timur atau KM 272 hingga KM 249. Bahkan kalau dihitung sepanjang jalur pantura antara Kanci-Cirebon hingga memasuki Brebes kemacetan bisa mencapai 60 km dengan pergerakan hanya dengan kecepatan 0-5km/jam.
Kemacetan ini pun membawa petaka paling parah dengan menyebabkan 18 orang pemudik meninggal dunia. Maka, tidak salah jika Daily Mail yang berkantor pusat di Inggris, negara baru saja melakukan Brexit lalu memberikan gelar atas Brexit lainnya yang terjadi di Indonesia ini dengan gelar The World’s Worst Traffic Jam. Kemacetan ini menjadi perhatian media internasional lainnya, seperti The Sun yang menuliskan , 18 orang meninggal setelah terjebak kemacetan selam 35 jam. Baik Brexit di Inggris maupun Brexit di Indonesia, keduanya mempunya cerita yang mencengangkan dunia akibat kebijakan (negara) yang ditempuhnya yang berdampak langsung kepada warganya.
Tol Brexit
Brexit di Indonesia, sejatinya karena kurang tepat dan detailnya pemerintah dalam merencanakan-mengerjakan suatu kebijakan publik, terutama di sektor transportasi. Paradigma memindahkan dan memudahkan pergerakan mobil lebih diutamakan dan tidak melihat sisi pergerakan manusianya. Kebijakan pemerintah yang terus menggenjot infrastruktur, tidak terkecuali di sektor transportasi dengan melulu membangun jalan Tol dan Tol Brebes Timur inilah salah satunya. Maka, apa yang terjadi di Brexit karena tidak seimbangnya akselerasi volume jalan dengan akselerasi volume kendaraan, kedua mental berkendara yang berbanding terbalik dengan volume jalan dan kendaraan. Penyediaan infrastruktur sebagai sebuah bagian dari kebijakan harus juga menghitung dan menakar psikologi pemakai kebijakan tersebut.
Selama ini hingga sekarang solusi transportasi selalu Tol dan Tol, lebarkan jalan-lebarkan jalan. Memang tidak salah, tapi kita juga mesti melihat kebijakan lainnya yang membuat kenapa jalan selalu menyempit dan Tol selalu kurang? . Kebijakan kredit mobil murah hingga ketidakmampuan negara menyiapkan dan memberikan pilihan transportasi publik yang memadai terutama untuk mengantisipasi kejadian rutin , seperti mudik lebaran.
Tol Brexit ini merupakan bagian dari megaproyek infrastruktur Jalan Tol Trans Jawa yang menghubungkan kota-kota di pulau Jawa. Jalan tol ini menghubungkan Merak, Banten, hingga Banyuwangi, Jawa Timur dengan melalui kota-kota besar di Indonesia, seperti ,Jakarta, Semarang dan Surabaya. Tol trans Jawa sepanjang -/+ 1.000km tersebut melanjutkan jalan-jalan tol yang sekarang sudah ada, seperti Jalan Tol Pejagan–Pemalang, Jalan Tol Kanci–Pejagan, Jalan Tol Palimanan–Kanci, Jalan Tol Cikopo–Palimanan. Tol Brexit ini berada di bagian Jalan tol Pejagan-Pemalang yang terbentang sepanjang 57.5 kilometer dengan menghubungkan daerah Pejagan, Brebes dengan Pemalang, Jawa Tengah.
Jalan Tol ini adalah kelanjutan dari Jalan Tol Kanci-Pejagan yang menghubungkan Pejagan, Brebes dengan Kota Brebes. Tol ini terbagi menjadi 4 seksi, Seksi I (Pejagan - Brebes Barat) panjang 14,20 km, Seksi II (Brebes Barat - Brebes Timur) panjang 6,00 km, Seksi III (Brebes Timur - Tegal) panjang 10,40 km, Seksi IV (Tegal - Pemalang) panjang 26,90 km. Menjelang lebaran dan tradisi mudik juni tahun 2016 dioperasikan adalah Jalur Seksi 1 dan 2, sementara seksi 3 dan 4 dalam tahap penyelesaian.
16 Juni 2016, Presiden berada didepan gerbang Tol Brebes Timur dan membuka secara resmi Jalan Tol Pejagan-Pemalang untuk sesi I dan II (Pejagan-Brebes Timur) ini dengan harapan bahwa mereka yang akan mudik lebaran, perjalanan menuju kampung halaman akan lebih cepat dengan dengan menggunakan Tol ini. Solusi instan transportasi dengan kehadiran Tol ini, menyebabkan daya tarik orang tetap menggunakan mobil pribadi dan akan berbondong pula yang tadinya tidak melalui Tol akan beralih ke Tol, sedangkan setelah keluar Tol, jalan arteri-nya tidak mendukung lonjakan tiba-tiba kendaraan. Bukannya malah tambah macet ?. Bahkan jalur Pantura yang biasanya padat dan macet, akibat semuanya tersedot untuk menggunakan Tol baru ini dengan harapan lebih lancar, tapi malah mengakibatkan tragedi transportasi masal yang hebat.
Dengan Tarif tol yang harus dibayarkan oleh pemudik sebesar Rp 55.500, seyogyanya pemudik mendapatkan pelayanan atas jalan Tol ini, bukannya petaka. Jalan Tol ini dibangun oleh PT WASKITA KARYA (Persero) Tbk dan dikelola oleh Waskita Toll Road dan PT MNC Infrastruktur Utama (MNC Group). Presiden, aparatur negara terkait dan penglola Tol seharusnya meminta maaf kepada warga, dan hendaknya berfikir dahulu dengan cermat jika hendak mempromosikan hasil pembangunan yang dipromosikan kedepan publik ketika pembukaan Tol ini dilakukan, karena disisi yang lain masyarakat akan segera mengamininya sehingga efeknya membuat banyak calon pemudik berharap bisa cepat kekampung halaman, tapi kenyataannya di pintu-pintu keluar tol di jalan-jalan arterinya langsung menyusut lebarnya dan terjadilah Brexit. Lagi-lagi ini hanya untuk kepentingan pembangunan, investasi dan kepentingan kapital sehingga warga hanya dijadikan sasaran pengerukan keuntungan semata dan insiden kemacetan disertai kematian hanya dianggap takdir dan bumbu mudik lebaran saja.
Penggunaan tol Brebes terkesan dipaksakan mengingat sarana dan prasarana tol belum memadai, salah satunya pintu keluar tol yang tersedia hanya 5 pintu keluar dan semakin mengecilnya jalan arteri setelah keluar Tol. Seharusnya pintu keluar dirancang tanpa traffic light dengan membangun interchange.Gerbang Tol Brexit sebenarnya di desain untuk pintu keluar minor dengan kapasitas 2000 kendaraan/hari, tapi mudik kali ini gerbang tol ini berubah menjadi mayor akibat ledakan kendaraan yang tidak diantisipasi sebanyak 30.000 kendaraan/hari. Memang kedepan jalan tol penyambung ke arah Semarang akan segera dibangun dan menjai gerbang Tol mayor. Maka, jika tidak diantisipasi dengan perencanaan, prediksi dan rekayasa transportasi yang matang, siap-siap saja mudik lebaran kedepan, Semarang akan mengalami hal yang serupa dengan Brexit.
Seyogyanya, dengan jarak 20,3 km ruas tol Pejagan-Brebes Timur ini dapat ditempuh antara 18-25 menit jika kendaraan dipacu dengan kecepatan 50-70km/jam. Tapi kenyataanya jarak tersebut ditempuh dalam kurun waktu belasan jam, karena kemacetan terjadi. Artinya, melihat kondisi di lapangan, propaganda Tol tidak berhasil mengatasi dan mengantisipasi kemacetan bahkan menghadirkan kematian kebijakan dan kematian warganya.
Tol dan Kebijakan
Mengutip frasa dari walikota Bogota, Enrique Pelanosa ; “a developed country is not a place where the poor have cars. It’s where the rich use public transport”. Dari kutipan ini, seyogyanya pemerintah sadar bahwa kebijakan parsial terkait pembangunan (jalan) Tol terus-menerus di Indonesia tanpa memikirkan kebijakan lainnya, cenderung akan membuat negara kita akan terus kekurangan jalan (tol) karena pertambahan kendaraan linear dengan pertumbuhan penduduk yang terlihat dari boomingnya kelas menengah sebagai konsumen garda depan dalam konsumsi kendaraan terutama mobil. Belum lagi jika menengok kapasitas kemampuan penyediaan BBM subsidi yang selama ini mayoritas dikonsumsi oleh kelas menengah ini dengan menyedot APBN negara yang tentunya subsidi menjadi terus membengkak tanpa sasaran tepat. Kebijakan dalam penyediaan transportasi publik, seperti Kereta Api lebih rasional untuk negara seperti Indonesia, bukannya terus menambah dan melebarkan jalan, khususnya Tol.
Terkait mudik lebaran yang sudah menjadi aktivitas rutin kultural tahunan, kejadian brexit menjadi contoh nyata betapa rencana arus mudik tidak detail dipikirkan oleh pemerintah, khususnya yang akan melewati Tol. Saya hanya akan menengok sisi eksternalitasnya saja dari mudik ini yang tampak, seperti puluhan jam terbuang percuma, banyaknya bbm (subsidi) yang dikonsumsi tidak efektif dan efisien, kelaparan di jalan karena untuk orang Indonesia makan nasi adalah wajib, tersiksanya karena sulitnya WC umum hingga kelelahan pengemudi dan penumpang yang sangat yang berakibat kepada kesehatan fisik dan mentalnya. Selain itu tersebarnya sampah disepanjang jalan Tol Brexit ini, padahal semua pengguna mobil dan mayoritas kaum terdidik, apa salahnya bawa itu sampah hasil konsumsinya sendiri dibawa mudik sekalian !. Tapi kemacetan mengakibatkan orang sampai meninggal itu sudah keterlaluan.
Sebaiknya pemerintah dan aparatur terkait dari pusat hingga daerah sudah menyiapkan persiapan mudik tahun 2017 mulai hari senin 11 Juli 2016 selepas libur lebaran ini. Dimulai dengan perkiraan yang akurat tentang pertumbuhan kelas menengah yang akan mudik dan jumlah kendaraan disepanjang jalur mudik, minimal dari Jabotabek. Melakukan persiapan melalui Anticipative planning dan Road safety system dapat menjadi langkah awal untuk melakukan rekayasa transportasi sehingga korban jiwa dan kejadian yang terjadi di Brexit dapat terhindarkan.
Fenomena gridlock (saling mengunci) kendaraan di jalan (tol) maupun jalan arterinya mengakibatkan fatalitas (kematian) yang paling fatal terjadi pada mudik lebaran tahun 2016 ini, dan Brexit sumber utamanya. Kematian diam dalam waktu puluhan jam berada di dalam kendaraan dalam beragam cuaca, mulai dari pagi, siang bahkan hingga malam.
Munculnya korban jiwa selain karena kelalaian manusia tapi disebabkan oleh faktor-faktor lainnya seperti yang terjadi di Tol Brexit ini. Kesulitan mengakses fasilitas rest area, pertolongan kesehatan, tersediannya makanan yang dibutuhkan, dehidrasi, panasnya kendaraan dan suasana dilokasi kemacetan , hingga akses ke pos-pos kesehatan yang belum ada di sepanjang keluar Tol Brexit ini.
Kelelahan dan kekurangan cairan dapat berdampak fatal, palagi pada kelompok rentan anak-anak, orang tua, pemudik dng penyakit kronis (hipertensi, diabetes, jantung) dapat meningkatkan risiko. Ditambah kondisi kabin kendaraan yang relatif sempit serta tertutup dengan pemakaian AC terus menerus akan menurunkan oksigen serta naiknya CO2. Kelelahan menghadapi kemacetan, stess dan khawatir kehabisan bahan bakar dan makanan ditambah oleh kelanjutan dari penyakit bawaan yang sebelumnya telah ada menjadi akumulasi beban berat fisik dan psikologis pemudik yang harus ditanggung, akibatnya bisa beragam dan yang paling parah menimbulkan kematian seperti yang terjadi di Brexit ini.
Ini fenomena baru dalam traffic accident analysis. Pemerintah gagal, jangankan menyiapkan pelayanan jalan publik walupun publik harus bayar untuk itu karena ini Tol, membaca gejala pergerakan orang dan kendaraan saja tidak mampu. Pemerintah juga gagal melakukan analisis pertumbuhan kelas menengah, penambahan 1 juta mobil/tahun di jabotabek dan Jababeka, belum lagi 3 juta motor/tahunnya. Pembatasan kebijakan investasi dibidang otomotif sudah saatnya dikaji ulang akibat kejadian Brexit ini. Investasi otomotif saatnya berorientasi ekspor yang kemudian didukung oleh merubah kebijakan didalam negeri yang menyertanyainya, dari sisi moneter dengan cara meninggikan LTV kredit kendaraan. Selain itu bisa juga dengan batasan usia kendaraan, tapi untuk hal iniini akan butuh waktu yang lama dan rumit dalam konteks negara berkembang. Pembangunan infrastruktur transportasi bukan hanya jalan (Tol), tetapi juga tetap bisa bekerja di ranah transportasi publik-nya seperti KA.
Sebagai bangsa yang memiliki pijakan budaya dan religiusitas yang kental, tampak miris bila melihat saling melempar kesalahan atas sebuah kebijakan yang awalnya diamini bersama ini. Hal ini terkait kehidupan orang, terkait dengan manusia, bahkan ketika sudah ada warga yang meninggal pun masih saja bergeming seolah ini bukan sebuah kesalahan struktural.
Saling menyalahkannya antara kementrian, antara direktorat jendral yang terkait dengan kemacetan parah yang mengakibatkan korban meninggal menjadi kisah miris sebuah bangsa yang katanya berbudaya dan religius.Beragam upaya rekayasa seperti pintu tol digratiskan untuk mengurai kemacetan, Namun hal itu tidak digubris oleh Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT). Lalu dimana peran negara sebagai otoritas tertinggi malah kalah dengan pengelola jalan Tol yang notabene adalah perusahaan swasta. Selain itu salah menyalahkannya berdasarkan regional kewilayahannya atas kemacetan yang terjadi, seolah macet brexit ini terjadi karena ‘kesalahan’ wilayah tertentu sehingga berdampak pada wilayah lainnya. Ini logika desentralisasi yang fatal, karena apakah ketika pembangunan jalan Tol ini, daerah-daerah tersebut tidak dilibatkan dan tidak akan mendapatkan keuntungan modal dan sosial sebagai bagian dari akumulasi kapital. Tentu saja mereka mendapatkannya dalam beragam sektor dan cara, tetapi ketika bencana terjadi maka mental lempar batu sembunyi tangan juga berlaku dalam konteks kepentingan administrasi kewilayahan.
Padatnya volume arus lalu lintas yang melintasi jalan lintas utara Jawa dari arah barat menuju timur, mendorong Kepolisian Resor Kota Brebes melakukan rekayasa lalu lintas yang berdampak pada tersendatnya arus kendaraan di Jalan Tol Pejagan-Pemalang ruas Pejagan-Brebes Timur, sehingga brexit ini terjadi terlepas dari tidak tersedianya jumlah pintu tol yang cukup dan mengecilnya jalan arteri setelah tol. Disisi lainnya Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri, mengatakan bahwa kepadatan arus lalu lintas yang terjadi di pintu keluar Tol Brebes disebabkan karena banyaknya pengemudi yang hendak mengisi bensin akibat kehabisan bensin serta kendaraan yang berhenti di bahu jalan. Disini terlihat saling lempar antara pusat dan daerah, kurangnya koordinasi dan informasi malah menyebabkan kejadian Brexit ini bukan sebagai pelajaran dan tamparan penting, malah hanya dianggap kejadian biasa seperti biasanya orang mudik ketika lebaran.
Beberapa upaya reaksioner muncul akibat kejadian Brexit ini, mulai dari tool digratiskan, tiba-tiba membuat posko kesehatan dan WC umum serta tersedianya penjualan BBM dalam kemasan hingga dimintanya jalur truk tangki BBM dan evakuasi kesehatan. Pertanyaanya, apakah hal-hal diatas tidak pernah terfikirkan oleh negara terutama oleh pengelola jalan Tol untuk sebuah momentum mudik lebaran yang hanya terjadi setahun sekali ini. Jangan hanya memikirkan keuntungan semata dengan mengorbankan warga yang sudah rela membayar untuk sebuah pelayanan kebijakan. Upaya cerdas dari negara mulai dari perencanaan, implementasi hingga punishment untuk pengelola Tol serta berani mengakui kesalahannya menjadi langkah tegas dan baik di masa depan agar mudik lebaran-lebaran tahun depan, kejadian Brexit ini tidak terjadi lagi.
Mencontoh kejadian di Jerman, kalau sedang macet, maka kendaraan akan menepi dan ada jalur ditengah, tujuannya kalau ada keadaan darurat, bisa lekas diberikan pertolongan, jadi kejadian 18 orang meninggal di tol Brexit tidak mungkin terjadi akibat kemacetan ini dengan mengecualikan sejenak faktor pribadi terjadinya kematian itu. Jangan berdalih itu terjadi di luar negeri, jumlah mobil dan kepadatannya berbeda serta keadaan kultural dan geografisnya berbeda juga, kenapa beda?. Kita tidak membicarakan suatu negara dalam sudut pandang sempit itu, kita membicarakan alat transportasi, infrastruktur dan manusia sebagai penggunanya. Disini kita sama sama mampu beli mobil dan bayar pajaknya, mampu beli BBM (walaupun mayoritas BBM subsidi), mampu bayar Tol, mampu memiliki SIM, maka harusnya mampu juga untuk berkendara secara beradab dan menjunjung kemanusian, sehingga 18 nyawa manusia itu tidak hilang percuma karena kemacetan ini semata.
Brexit yang terjadi tanpa exit strategy. Problem mendasarnya, pemerintah tidak pernah menganggap kemacetan saat mudik ulang alik sebagai situasi krisis atau darurat. Tidak ada upaya tanggap darurat dan mitigasinya. Tidak ada gunanya meminta maaf jika terus berulang dan tidak mau mengubah cara melihat dan menangani situasi krisis/ darurat tersebut.
Mobilitas temporal penduduk akibat mudik tidak hanya dilihat dari efek kemacetan yang ditimbulkan, konsumsi BBM yang melonjak, penngunaan kendaraan pribadi yang melonjak serta distribusi modal kapital dan sosial yang terjadi. Masalah mudik, masalah ketimpangan pembangunan juga. Bila pembangunan lebih merata dan tidak semua orang mimpi kerja khususnya diJakarta atau kota besar lain pada umumnya, maka masalah tekanan pembangunan di Jakarta berkurang dan intensitas mudik juga berkurang. Hingga saat ini mudik merupakan tradisi yang memiliki fondasi kebaikan yang kokoh karena didorong oleh kekuatan spirit agama untuk bersolidaritas sosial. Mudik bisa menjadi (kerja) budaya baik dengan keunggulan pemikiran, mentalitas dan etika jika ketiga hal tersebut melebur dalam satu proses yang berbudaya, beretos dan berdedikasi baik antara pemudik sebagai pengguna sarana dengan negara sebagai penyedia sarana infrastruktur dan kebijakannya. Selain itu, juga perlu rekayasa sosial untuk merubah Inlander mentality, dimana mobil menjadi simbol kesuksesan. Mudik bukan hanya sekedar setor kemampuan finansial dan fatwa religiusitas tapi juga menjadi translasi kebudayaan yang tarik menarik antara kota-desa dalam sudut pandang yang luas.
Frans Ari Prasetyo | Pengamat Kota dan Kebijakan
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Arsitektur Masjid Al Jabbar Plagiat?
Senin, 14 Agustus 2023 15:35 WIBDari World Bank ke Global Land Forum: dari Setan Kredit ke Setan Tanah
Sabtu, 15 April 2023 07:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler