x

Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla saat mengumumkan perombakan kabinet atau reshuffle jilid II, Jakarta, 27 Juli 2016. Seperti biasa, para menteri baru ini mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam sebagai ciri khas dar

Iklan

Ikhsan Darmawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Reshuffle dan Ancaman Koalisi Tambun

Untuk menjaga agar dirinya dapat bertahan dari kemungkinan ancaman dari semua partai itulah, Jokowi memilih strategi menambah deretan partai pendukungnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada 27 Juli lalu, Presiden Joko Widodo kembali membongkar-pasang menteri Kabinet Kerja. Jokowi mengubah 14 pos, yakni 12 pos menteri dan 1 pos ketua lembaga setingkat menteri serta menambah 1 pos wakil menteri. Reshuffle kabinet jilid II ini digelar 11 bulan sejak pergantian menteri jilid I dilakukan pada 12 Agustus 2015.

Karena diadakan ketika belum genap setahun dari pergantian menteri sebelumnya, kesan bahwa reshuffle kali ini agak terburu-buru tak bisa dihindari. Selain itu, kesan ini menyiratkan adanya hal-hal yang bersifat mendesak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, Jokowi sebagai presiden yang bukan ketua umum partai politik kurang yakin dan percaya diri bahwa jabatan yang dipegangnya memang betul-betul "aman". Karena itu, kemudian dukungan dari lima partai masih harus ditambahnya lagi dengan dua partai lain, yaitu Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Apa yang dilakukan ini sejalan dengan yang dimaksudkan oleh Alejandro Quiroz Flores dan Alastair Smith dalam artikel mereka di Economics and Politics (2011) sebagai motif leader survival. Jokowi tidak dapat sepenuhnya berkesimpulan bahwa dirinya tak akan pernah bermasalah dengan seluruh partai politik, baik yang mendukung maupun tidak mendukungnya. Untuk menjaga agar dirinya dapat bertahan dari kemungkinan ancaman dari semua partai itulah, Jokowi memilih strategi menambah deretan partai pendukungnya.

Asumsi di atas diperkuat lagi dengan kondisi bahwa jatah kursi menteri dari partai pendukung sebelumnya tidak ada yang berkurang jumlahnya, kecuali Partai Hanura. Selebihnya hanya bergeser personelnya. Partai NasDem hanya berganti pos, dari sebelumnya memegang pos Menteri Agraria/Kepala BPN menjadi ke pos Menteri Perdagangan. PKB juga hanya bertukar orang, dari Marwan Jafar ke Eko Putro Sanjoyo.

Kedua, Partai Golkar dan PAN sudah tidak sabar jika harus menunggu lebih lama lagi untuk merengkuh kompensasi berupa posisi di Kabinet Kerja. Sejak terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada Mei 2016, Partai Golkar merasa bahwa mereka telah menjadi bagian dari gerbong partai pendukung Jokowi. Ditambah lagi, Partai Golkar makin memperjelas keberpihakan mereka dengan menyatakan mendukung Jokowi sebagai calon presiden pada Pemilu 2019. Bahkan PAN telah jauh lebih dulu memutuskan untuk "merangsek" menjadi barisan pendukung Istana sejak mendeklarasikan hal itu pada September 2015.

Ketiga, sejumlah menteri Kabinet Kerja sebelum pergantian menteri termin kedua dinilai tidak cocok dengan keinginan Jokowi untuk tidak gaduh di hadapan publik. Ada menteri yang pernah meributkan sebuah maskapai penerbangan ketika menteri itu ketinggalan pesawat sehingga menjadi terlambat menghadiri sebuah acara. Ada juga menteri yang berkomentar kurang baik di hadapan awak media ketika sedang hangatnya isu sejumlah pemudik yang meninggal karena macet saat mudik. Ada juga pembantu presiden yang mendapat kritik dari masyarakat karena dianggap tidak konsisten dengan kebijakan yang dibuatnya sendiri.

Dengan menggunakan logika bahwa semakin banyak pendukung semakin baik, Jokowi berkesimpulan bahwa koalisi tambun yang dibentuknya akan serta-merta menghilangkan persoalan klasik dalam sistem presidensial multipartai: gangguan terhadap presiden. Apakah memang nantinya akan berjalan demikian?

Penulis berpendapat tidak akan sesederhana itu. Sebaliknya, ada sejumlah persoalan yang masih berpeluang untuk terjadi dalam tiga tahun ke depan. Apa yang menyebabkan hal itu?

Pertama, koalisi partai politik yang ada di Indonesia seringkali tidak diperkuat oleh hitam di atas putih. Hitam di atas putih yang dimaksudkan ialah perjanjian kesepakatan di antara partai dalam koalisi yang mencakup dasar dan definisi koalisi, ruang lingkup dan batasan koalisi, serta aturan main koalisi. Koalisi partai yang dibangun Jokowi tampaknya mengikuti pola tersebut.

Kedua, kalaupun sebuah koalisi diperkuat oleh perjanjian, bukan berarti tidak akan ada dinamika internal. Ke depannya, ancaman bisa datang dari dalam koalisi. Pasalnya, tidak selalu semua partai pendukung Jokowi dapat selamanya harmonis satu sama lain. Contohnya, tidak lama setelah reshuffle, pernyataan resmi Partai Golkar pada Rapimnas 28 Juli 2016 bahwa mereka mendukung Jokowi sebagai calon Presiden 2019 ditanggapi dengan sindiran oleh politikus PDIP.

Ketiga, merujuk pada pengalaman sebelumnya, partai anggota koalisi tidak selamanya pasti akan patuh dan tak berani bermain di "dua kaki" dengan Jokowi. Tidak usah terlalu jauh ke masa presiden sebelum Jokowi. PAN, misalnya, setelah menyatakan bergabung dengan Jokowi pada 2015, masih menganggap diri mereka tidak pernah keluar dari Koalisi Merah Putih.

Pada akhirnya, episode reshuffle jilid II ini bukanlah babak akhir dari drama hubungan antar-partai politik di Indonesia. Sebaliknya, bukan tidak mungkin justru Jokowi malah akan direpotkan dengan pilihan politiknya ini.

Ikhsan Darmawan, Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 1 Agustus 2016

Ikuti tulisan menarik Ikhsan Darmawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB