Muslihat RUU Pertembakauan ~ Tulus Abadi
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBPraktis RUU Pertembakauan hanyalah kedok industri rokok untuk makin menancapkan cakarnya atas petani tembakau.
Langit pengendalian tembakau di Indonesia kini tengah diliputi mendung hitam. Musababnya, Badan Legislasi DPR tampak begitu bernafsu menyorongkan sebuah draf regulasi yang bertajuk Rancangan Undang-Undang Pertembakauan. Kemasan RUU Pertembakauan terlihat begitu membius, yakni "RUU komprehensif” yang akan mengakomodasi semua sektor: pertanian, perindustrian, distribusi/perdagangan, dan bahkan kesehatan. Siapa pun akan mengacungkan dua jempol ke sebuah rancangan yang tampak mengintegrasikan semua aspek.
Tapi, jika ditilik proses historis pengusulnya, akan tampak kedok sebenarnya. Belum lagi jika menguliti ayat demi ayat atau bahkan aspek filosofi/ideologinya, tampak gamblang bahwa draf ini adalah rancangan yang penuh tipu muslihat.
Dari sisi hulu, pergulatan yang paling tajam menyangkut nasib petani tembakau yang tidak jelas, tetap miskin, dan tak punya daya tawar apa pun terhadap industri rokok. Petani tembakau tak bisa menentukan harga karena sang penentu adalah seorang grader yang menjadi kaki tangan perusaha rokok. Adapun sang pengusul RUU Pertembakauan adalah (konsorsium) industri rokok besar, yang selama ini justru mengebiri hak-hak dasar petani tembakau.
Jika memang ingin melindungi petani tembakau, secara empiris, gampang. Misalnya, atur tata niaga tembakau sehingga posisi tawar mereka terhadap industri meningkat. Atau, bentuk koperasi petani tembakau agar tidak mudah terkena ijon industri rokok. Koperasi bisa berfungsi sebagai pengganti grader dari industri rokok, juga tempat petani membeli bibit, pupuk, dan pestisida. Selanjutnya, dari sisi kesehatan, lindungi keluarga petani tembakau dari green tobacco sickness—keracunan nikotin dari daun tembakau. Kemudian, lakukan peningkatan mutu hasil dan bantu petani dalam program alih tanam ke non-tembakau. Stop impor tembakau secara total, karena selama ini 40 persen produksi rokok nasional ditopang oleh tembakau impor.
Itu semua tidak diatur dalam RUU Pertembakauan. Jadi, praktis RUU Pertembakauan hanyalah kedok industri rokok untuk makin menancapkan cakarnya atas petani tembakau. Eksesnya, petani tembakau makin melarat, tertindas hak-haknya, dan tak berdaya berhadapan dengan industri rokok.
Yang lebih menggelikan, RUU Pertembakauan juga ingin mengatur masalah kesehatan. Ini kan sama saja dengan segerombolan koruptor mengusulkan RUU Antikorupsi.
RUU Pertembakauan menyematkan beberapa pasal kesehatan sebagai bentuk "kepeduliannya” terhadap bahaya rokok. Lihatlah mulai Pasal 55, yang mengatur ihwal peringatan bahaya merokok. Tapi, peringatan kesehatan yang dimaksudkan adalah yang berupa tulisan (saja). Ini kemunduran, karena regulasi peringatan kesehatan pada bungkus rokok sudah berupa gambar dan/atau tulisan, sesuai dengan mandat Undang-Undang Kesehatan dan putusan Mahkamah Konstitusi. RUU Pertembakauan juga mengatur perihal kawasan tanpa rokok, tapi kawasan tanpa rokok yang dimaksudkan wajib menyediakan ruang merokok.
Secara eksplisit, RUU Pertembakauan akan mengamputasi pasal-pasal pengendalian tembakau yang sudah ada lebih dulu. Secara gamblang, Pasal 74 RUU Pertembakauan menandaskan bahwa, pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan pertembakauan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini. Artinya, pasal-pasal pengendalian tembakau dalam UU Kesehatan, UU Cukai, dan undang-undang lainnya serta 100-an peraturan daerah tentang kawasan tanpa rokok di seluruh Indonesia akan rontok karena dikategorikan bertentangan dengan RUU Pertembakauan.
Apakah gerangan dampak konkret jika RUU Pertembakauan disahkan? Yang jelas, konsumsi rokok dan jumlah perokok akan meningkat tajam. Indonesia akan makin menjadi kawah raksasa penampungan produk rokok dari semua industri rokok besar berskala nasional dan multinasional. Itulah target utama RUU Pertembakauan, bukan melindungi hak-hak petani tembakau. Selanjutnya, jurang kemiskinan kian menganga karena terbukti, menurut data BPS, konsumsi rokok di rumah tangga miskin menjadi pemicu utama kemiskinan. Dari sisi kesehatan apalagi. Menurut data Kementerian Kesehatan, penyakit akibat rokok menyedot dana BPJS paling banyak. Rokok menjadi salah satu faktor risiko penyakit tidak menular, seperti jantung koroner, stroke, dan diabetes. Dan, terbukti, menurut data Indonesian-Case Based Groups (INA-CBGs) sampai bulan bayar Januari 2016, penyakit jantung paling banyak membutuhkan biaya pengobatan, yaitu Rp 6,9 triliun; kanker Rp 1,8 triliun; stroke Rp 1,5 triliun; ginjal Rp 1,5 triliun; dan diabetes Rp 1,2 triliun. Tragisnya, jenis-jenis penyakit tersebut saat ini justru dominan diderita oleh kelompok menengah-bawah, bukan penyakit orang kaya lagi.
Semangat Badan Legislasi DPR dalam merampungkan RUU Pertembakauan bak seorang sopir Metromini: kejar setoran. Prosesnya begitu cepat. Setelah masa reses pertengahan Agustus ini, RUU Pertembakauan segera disorongkan ke dalam sidang paripurna. Bandingkan saat Badan Legislasi dengan begitu gampangnya menghapus RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau bagi Kesehatan, kendati sudah disokong 61 persen anggota DPR. Adalah hal yang sangat logis jika ada tuduhan patgulipat dalam proses percepatan pembahasan RUU Pertembakauan. Terlalu kentara nuansa transaksionalnya antara Badan Legislasi DPR dan industri rokok besar. Beranikah Komisi Pemberantasan Korupsi mengendus dugaan permufakatan jahat ini?
Tulus Abadi, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
Artikel ini tebit di Koran Tempo edisi 5 Agustus 2016
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Segera Amandemen PP Soal Perlindungan Konsumen dari Zat Adiktif (Surat Terbuk untuk Pak Jokowi)
Rabu, 2 September 2020 17:12 WIBSederet Resiko Jika Program Langit Biru Tak Dilanjutkan
Rabu, 5 Agustus 2020 09:19 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler