x

Iklan

A. Windarto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Genosida 1965 Sebagai “Malpraktik Nasionalisme”

Tulisan ini menunjukkan bahwa putusan International People's Tribunal (IPT) tentang kasus 1965 adalah sebuah "malpraktik nasionalisme"

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Putusan International People's Tribunal (IPT) kasus 1965 yang menyebut peristiwa 1965 sebagai genosida patut diperhatikan. Hal ini dikarenakan bukan semata-mata berkait dengan masalah hukum, melainkan bahwa ada kejahatan kemanusiaan yang dibiarkan terjadi selama 1965-1966. Kejahatan berupa pembunuhan massal, penahanan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa dan kekerasan seksual itu dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas. Bahwa ada surat perintah (baca: Supersemar) yang menginstruksikan pemulihan keamanan dan ketertiban bukan berarti mensahkan berbagai tindakan dalam bentuk kejahatan kemanusiaan di atas.

Dalam konteks ini, mendiang Benedict Anderson memberi catatan kritis mengenai hal itu dengan kerangka nasionalisme. Artinya, kejahatan yang seakan-akan berlangsung secara spontan itu sesungguhnya merupakan bentuk dari sebuah “malpraktik nasionalisme” (Zen R.S. “Rasa Malu dan Nasionalisme”, Sumatera Ekspres, 15/12/2015). Di sini menarik untuk mencermati mengapa dan bagaimana nasionalisme yang hanya merupakan sebuah pembayangan dapat menghasilkan kejahatan yang sedemikian dahsyatnya.

Bagi Anderson (2001), nasionalisme yang bukan merupakan warisan leluhur atau nenek moyang berupa harta kekayaan atau kekuatan pusaka/ilahi tertentu justru terbentuk dari pembayangan tentang hidup kebersamaan. Mereka yang adalah para anggota bangsa terkecil, sekalipun tidak pernah bertemu, kenal, apalagi bertatap muka, memiliki imajinasi dan inspirasi untuk menjadi sebuah komunitas-komunitas terbayang (imagined communities) yang dinamai Indonesia misalnya. Hal itu dimungkinkan berkat jasa industri kapitalisme cetak, seperti surat kabar harian, yang memberi saat dan tempat bagi setiap orang untuk berbicara dan berbuat sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Pikiran dari orang-orang yang sejalan dan sesuai dengan kepentingan mereka itu menjadi “embrio” dari kebersamaan yang dibayangkan oleh masing-masing orang. Dari situlah lahir bahasa, rasa, bahkan hasrat, untuk rela mengorbankan diri, bukan orang lain, tanpa pamrih demi kepentingan bersama itu. Dari situ pula cinta pada sesama dan tanah air tercipta demi membangun masyarakat yang mandiri dan toleran.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nasionalisme yang lahir dari pembayangan itu telah mencatat beragam peristiwa atau aksi revolusioner, seperti Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi Kemerdekaan 1945. Segenap peristiwa atau aksi antikolonial itu menjadi penanda bahwa nasionalisme yang dibayangkan oleh para pendahulu kita bukanlah, sebagaimana dirumuskan Bung Karno, sebagai nasionalisme “jang menjerang-njerang” atau agresif terutama terhadap bangsanya sendiri. Tetapi, nasionalisme itu justru lahir dari imajinasi atau pembayangan yang rapuh dan ringkih, sehingga perlu dirawat dengan penuh kasih agar tidak mudah koyak dan boyak oleh kepentingan sesaat dan sepihak. Itulah mengapa nasionalisme tidaklah pernah utuh, apalagi selesai. Sebab imajinasi antara satu orang atau suatu tempat dengan orang atau tempat yang lain tidaklah mungkin sama. Jadi, mustahillah untuk membulatkan nasionalisme dalam kalkulasi 100 atau 1000 persen sekalipun, karena tetap ada selisih/perbedaan entah bermuatan Sosial, Agama, atau Ras tertentu.

Maka, nasionalisme perlu terus-menerus dikerjakan dalam sebuah proyek yang bernilai cinta, tanpa pamrih, dan toleran. Sebisa mungkin tidak ada pihak/komunitas yang merasa terabaikan, bahkan dianggap tidak sesuai lagi bekerja untuk nasionalisme Indonesia. Setiap orang dengan keragaman manusiawi dan kepribadiannya berhak untuk berimajinasi tentang Indonesia yang lebih adil dan damai. Dengan demikian, tidak ada harga mati untuk nasionalisme, apalagi untuk negara-bangsa, NKRI.

Sayangnya, peristiwa 1965 telah membalik arah sejarah nasionalisme ke arah yang berlawanan dengan tujuan akhir masyarakat yang plural dan toleran. Sebenarnya peristiwa yang didahului dengan aksi penculikan para pimpinan puncak militer itu boleh dibilang sebagai sebuah usaha kudeta yang gagal. Meski menurut Presiden Sukarno pada saat itu, hal semacam itu adalah “biasa dalam revolusi” (Shiraishi, 2001). Namun, dalam perjalanannya rute peristiwa itu berubah menjadi pengambilalihan kekuasaan dengan memanfaatkan kudeta yang gagal untuk menghabisi lawan-lawan politiknya. “Komunis” adalah salah satu lawan politik yang dipandang layak untuk ditamatkan riwayatnya dengan kekerasan yang mengerikan dan tak menyisakan pikiran, apalagi niat, untuk melakukan perlawanan.

Melalui pembunuhan massal yang dilanjutkan dengan pembuangan ke sebuah pulau terpencil, orang-orang yang dikenai cap “komunis” seakan-akan sudah tidak mempunyai hak untuk hidup lagi di bumi pertiwi ini. Baik di Jawa maupun luar Jawa (Aceh, Sumatera Utara, Bali, Flores), mereka di-wiçirna sahana-kan, “dikirim ke lembah ketiadaan”, agar tiada lagi bekasnya di muka, bahkan perut, bumi ini (Dhakidae, 2001). Inilah yang membuat nasionalisme menjadi sebuah pembayangan terbatas atau sempit lantaran tanpa rasa malu, apalagi ragu, orang dapat mengambil nyawa siapapun yang dianggap berkaitan atau dapat dikait-kaitkan dengan “komunis”. Bahkan di beberapa daerah, seperti di Sumatera Utara, pembunuhan massal tahun 1965 justru dipandang sebagai “kebanggaan, kehebatan, dan juga kesaktian” yang patut diwariskan dan diperankan kembali sebagai sejarah bangsa ini.

Joshua Oppenheimer yang membuat dua film dokumenter tentang pembunuhan massal tahun 1965 di Sumatera Utara, yakni Jagal/The Act of Killing (2012) dan Senyap/The Look of Silence (2014), menunjukkan betapa masih kebalnya peristiwa genosida 1965 terhadap hukum (impunity). Bahkan para “veteran” jagal 1965 itu dengan ringan dapat berkomentar: “Aku kirim mereka semua ke Surga dan mereka harusnya berterimakasih padaku.” (Anderson, 2013). Komentar yang merupakan buah dari “malpraktik nasionalisme” tersebut bukan semata-mata akibat dari ketakutan terhadap “komunis”, melainkan karena rasa aman dan nyaman yang sudah terlanjur dinikmati dengan menjadi pihak/kalangan yang kebal hukum selama rezim militer Orde Baru berkuasa.

Tetapi, penting juga untuk dicatat, bahwa para pembunuh sadis yang masih merasa bangga dengan masa lalunya di tahun 1965 justru mengakui pula merasa terhantui oleh arwah para korbannya. Bahkan ada beberapa di antaranya yang terekam oleh kamera Joshua menjadi tertekan akibat aksi kejamnya tersebut dan kemudian berperilaku sebagai toa (pengeras suara) untuk mengumandangkan adzan dari atas pohon kelapa. Jadi, bukan hanya keluarga/kerabat/kenalan dari korban genosida 1965 yang mengalami trauma, namun para pelakunya pun justru menanggung derita atas masa lalunya yang tak terbayangkan secara manusiawi. Jika demikian, masihkah perlu mempersoalkan “PKI atau bukan PKI” dari aksi genosida 1965 daripada memperhatikan dampaknya sebagai sebuah “malpraktik nasionalisme” yang melenyapkan identitas kita sebagai bangsa yang beradab?

 

A. Windarto

Peneliti di Lembaga Studi Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta.

Ikuti tulisan menarik A. Windarto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler