x

Iklan

Rembulan Pagi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Teror Buzzer Ahok & Bahaya Politik Massa Mengambang

Didalam “bullying” terdapat unsur: (1) ketidakseimbangan kekuatan, (2) adanya keinginan untuk melukai, (3) repetitif, dan (4) penggunaan teror.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Cyber Bullying

Dalam beberapa waktu terakhir muncul perbincangan menarik diantara sesama pengguna sosial media tentang perilaku bullying dari sekelompok akun terhadap orang-orang yang kritik kebijakan orang nomor 1 di DKI Jakarta.

Sebetulnya bukan kali ini saja sih praktek diatas terjadi. Beberapa waktu yang lalu juga pernah muncul. Bahkan orang yang di-bully adalah figur publik seperti Iwan Fals karena status di twitternya yang mempertanyakan kabar dari media soal reklamasi Jakarta yang diberitakan belum memiliki izin. Lengkapnya begini sih status musisi kondang dan berani menentang kebijakan Orba itu “Oh reklamasi teluk jakarta belum ada ijin to, kok bisa?” dan “lho enggak barusan di tv pas ngeliat ada berita reklamasi, belum ada ijin katanya, ya panteslah”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelum bang Iwan Fals, tokohyang pernah menjadi korban bully dari para pendukugn orang nomor 1 di Ibukota itu adalah walikota Bandung, Ridwan Kamil. Saat itu, Ridwan Kami yang menyampaikan ajakan kepada warga Bandung untuk kerja bhakti massal dengan menggunakan taggar #BeberesBandung itu langsung disamber oleh tukang bully yang sama.

Sebetulnya masih banyak lagi korban bully dari pendukung orang nomor 1 di ibukota Jakarta ini. Ada Tempo, tokoh-tokoh partai politik tentunya, aktifis pergerakan yang berjuang bersama korban gusuran dan penolak reklamasi teluk Jakarta, dll. Saya kira sudah cukup banyak contohnya yang bisa kita lihat dan rasakan langsung.

Tapi, apa sih sebetulnya definisi “bullying” yang berkembang luas di media sosial saat ini? Apa motivasi atau tujuan dari tindakan “bullying” tersebut bagi si pelaku dan korban?

Untuk menjawab pertanyaan diatas, saya ingin mengutip definisi yang digunakan oleh Mardiana Hayati Solehah, M.Psi, Psikolog (seorang Psikolog Klinis dan Penggiat gerakan #ActNow). Menurut Mardiana, bahasa Indonesia dari istilah “bullying” dapat diartikan sebagai Penggencetan, Penindasan atau Intimidasi. Masih menurut Mardiana, didalam “bullying” terdapat unsur: (1) ketidakseimbangan kekuatan, (2) adanya keinginan untuk melukai, (3) repetitif, dan (4) penggunaan teror.

Berdasarkan keempat unsur tersebut, menurut Mardiana Hayati Solehah, “BULLYING” dapat disimpulkan sebagai tindakan menebar teror dan intimidasi yang dilakukan berulang kali (repetitif) dengan adanya intensi untuk menyakiti pihak lawan yang dianggap lebih lemah. Teror dalam bullying dapat berbentuk ancaman atau melukai secara fisik, kata-kata yang melecehkan, menebar rumor, atau pengucilan.

Jadi sesungguhnya, cara para pendukung setia, eh fanatik dari Gubernur DKI Jakarta, AHOK (Basuki Tjahaja Purnama) ini adalah pukul habis lawan atau para pengkritik, tebar rumor sebanyak mungkin, rusak personality dari para pengkritik dan segala hal yang buruk atau konotasi negatif tentang para pengkritik.

Yah kan, saya jadi langsung sebut nama. Maaf ya teman-teman. Hehehe...

Oke, lanjut ya ke pertanyaan kedua yang ada diatas.

Jadi, tujuan atau motivasi dari “bullying” atau teror dalam sosial media ini untuk membangun citra positif dari tokoh yang ia bela dan membuat publik lupa atas kesalahan atau kasus-kasus sang gubernur, sekaligus menjatuhkan lawan politik dengan pola menghancurkan orisinalitas atau keaslian karakter seseorang dalam pandangan orang lain (Character Assassination).

Begitulah strategi dan tujuan dari “bullying” pendukung fanatik (buzzer) pak Gubernur itu.

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana cara kerja dan jejak kerja mereka di dunia daring?

Untuk menjawab pertanyaan ini, sebenarnya apa yang telah diungkap oleh pengamat geopolitik dari Universitas Indonesia, Mahmud Syaltout. Mahmud Syaltout setidaknya telah mengamati dan mencatat jejak-jejak kerja para BUZZER pak Gubernur itu dalam dua contoh kasus besar yang cukup berisiko bagi sang Gubenrnur.

Kasus pertama yang diteliti oleh Mahmud Syaltout adalah kasus suap reklamasi yang berujung pada pemanggilan sang Gubernur oleh KPK. Dalam kasus ini, terlihat sekali bagaimana strategi mereka menggabungkan “media setting” di media massa yang digabungkan dengan kerja buzzer plus “bullying”. Mahmud Syaltout bahkan sampai mampu menunjukkan kepada kita tentang peran dari masing-masing buzzer sang Gubernur tersebut. Selengkapnya sila buka ini “Jejak Digital Buzzers Sang Gubernur”.

Penelitian kedua yang dilakukan oleh Mahmud Syaltout adalah berkaitan dengan kasus Gugatan Nelayan terhadap Reklamasi. Dalam kasus ini, sebenarnya nelayan Teluk Jakarta bersama Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta telah memenangkan Gugatan di PTUN atas Reklamasi Pulau G. Tapi apa yang terjadi?.

Gubernur AHOK yang sebelumnya menantang para nelayan dan para aktifis pergerakan yang menolak reklamasi Teluk Jakarta untuk melakukan gugatan di pengadilan. Nah ketika saran Pak Gubernur itu dilakukan dan menang, Gubernur AHOK justru bersikeras dengan menyatakan bahwa "Kalau buat saya itu (putusan PTUN) enggak ada masalah. reklamasi tetap jalan. Kami punya izin sendiri”.

Mau lebih jelas bagaimana hasil penelitian dari Mahmud Syaltout? Selengkapnya di Jejak Digital Ahok, Reklamasi dan PTUN

Sudah jelas kan strategi kerja, pola dan tujuan dari para Buzzers pak Gubernur AHOK selama ini?

Oh iya, tentunya strategi kerja diatas tidak mungkin berjalan sukses tanpa ada dukungan dari publik sosial media. Nah untuk menjalankan operasinya, mereka sebenarnya telah berbagi peran masing-masing. Ada yang bertugas untuk menciptakan materi atau konten (baik sebagai citra positif atau black campaing). Ada yang bertugas untuk komentar di berbagai kolom komentar berita, ada yang bertugas untuk me-retwitt atau menyebarluaskan konten.

Kekuatan sumber daya mereka dalam perang dunia daring ini belum ada yang mengupasnya secara detail. Ini karena pola komunikasi mereka selama ini sangat tertutup bagi media massa/ wartawan di luar lingkarannya. Apalagi publik seperti kita ini. Ingat kisah sebuah kelompok relawan "sumber sosial media" yang sangat eksklusif kan? 

Tetapi untuk mengukur seberapa besar kira-kira kekuatan mereka, kita bisa menghitung dari jumlah target relawan aktif di sosial media yang pernah disampaikan oleh kelompok relawan "sumber sosial media". "sumber sosial media" pernah menyatakan bahwa target relawan aktif di sosial media adalah 10.000 orang.Tapi apakah 10.000 orang tersebut adalah orang beneran?

Banyak yang tidak percaya bahwa 10.000 relawan tersebut adalah manusia semua, karena sebagian besar diantara mereka adalah akun-akun anonym atau robot. Hal ini sangat logis, karena menurut sebagian besar relawan Jokowi yang memang bergerak di akar rumput, pasukan cyber AHOK adalah para robot. Dan jumlahnya hanya sekitar 200 orang. Berarti ini sangat logis jika tiap orang dari 200 tersebut memiliki 50 akun robot yang bisa dimainkan setiap saat.

Jadi kita musti waspada cara-cara teroris sosial media ini bekerja. Karena apa yang mereka sampaikan adalah tak lebih dari fakta semu yang dalam kenyataannya jauh dari panggang api.

Terakhir, saya jadi ingat apa yang pernah disampaikan oleh Ketum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, yang menyebut para buzzer ini sebagai tim “sampingan”. Jadi ya sudah sewajarnya kalau para buzzer ini kita kesampingkan saja. Hehehehe...

Tapi saya menjadi bersyukur dan lega juga dengan pesan Presiden Jokowi saat menghadiri membuka acara Hari Pramuka ke-55 dan Jambore Nasional X di Bumi Perkemahan Cibubur (14 Agustus 2016) tadi pagi. Begini pesan Pak Jokowi tadi pagi "media sosial jangan digunakan untuk hal-hal yang tidak produktif, apalagi digunakan untuk mencela, jangan. Untuk mengumpat, jangan. Untuk merendahkan orang lain, jangan".

Oleh karena tugas kita bersama sebagai publik yang sadar serta kritis adalah membangun dukungan  dan kekuatan politik massa dalam perjuangan untuk mewujudkan cita-cita nasional yang tertuang dalam Konstitusi, maka apa yang dilakukan oleh para buzzer atau terorris sosmed itu tak lebih dari upaya untuk menciptakan kondisi politik seperti di era Orba “politik massa mengambang”. Sudah terlihat jelas partai politik yang berada dalam barisan Gubernur AHOK (GOLKAR, HANURA, NASDEM) beserta tabiat politiknya yang jauh dari pemihakannya terhadap wong cilik.

 

Ikuti tulisan menarik Rembulan Pagi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler