x

Ilustrasi mahasiswi/kuliah/perguruan tinggi. Shutterstock

Iklan

Iwan Kurniawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Biaya Kuliah Mencekik, Mahasiswa Negeri Bukan Anak Emas

Pemerintah berdalih kebijakan itu tak terhindarkan akibat berkurangnya dana pendidikan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

BANYAK mahasiswa perguruan tinggi negeri dari keluarga kurang mampu menilai biaya kuliah tunggal (BKT) dan uang kuliah tunggal (UKT) per semester terlampau tinggi. Mahasiswa program D-3 Komputer Kontrol di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, misalnya, harus membayar uang kuliah Rp 7,5 juta.

Kebijakan itu merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2013 tentang BKT dan UKT. "Uang kuliah tunggal adalah bentuk dari biaya pendidikan berkeadilan," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ainun Na'im.

Persoalan uang kuliah di perguruan tinggi negeri pernah ditulis Tempo pada edisi 21 Juni 1986 dengan judul "Mahasiswa Negeri Bukanlah Anak Emas". Pada tahun itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menaikkan uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) bagi mahasiswa baru. Besar kenaikan yang diteken Menteri P dan K dengan Menteri Keuangan umumnya di atas 100 persen.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemerintah berdalih kebijakan itu tak terhindarkan akibat berkurangnya dana pendidikan untuk Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi: dari Rp 110 miliar tahun lalu menjadi Rp 105 miliar tahun ini. Akibatnya, subsidi untuk tiap perguruan tinggi negeri (PTN) pun dikurangi, sementara inflasi tetap jalan.

Di samping SPP itu, pimpinan PTN dibenarkan memungut tambahan dana untuk kerja praktek dan kerja lapangan atau pengalaman lapangan yang besarnya maksimum sama dengan uang SPP. Kenaikan ini hanya diberlakukan bagi mahasiswa baru. Untuk mahasiswa lama, tetap dengan SPP lama. Ada yang menduga itu agar mahasiswa lama tidak memprotes.

Di lapangan, total uang kuliah tiap perguruan tinggi negeri berbeda-beda. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang merupakan PTN terbesar (jumlah mahasiswa hampir 23 ribu orang), menaikkan uang kuliah 98 persen untuk mahasiswa eksakta dan 122 persen untuk noneksakta. Atau, dalam rupiah, uang kuliah bagi mahasiswa baru yang mesti dibayar adalah Rp 210 ribu per tahun untuk mahasiswa eksakta dan Rp 180 ribu bagi mahasiswa noneksakta. Tarif lama masing-masing adalah Rp 106 ribu dan Rp 81 ribu per tahun.

Di Universitas Diponegoro, Semarang, yang semula Rp 120 ribu per tahun naik menjadi Rp 240 ribu (untuk mahasiswa eksakta) dan Rp 180 ribu (untuk yang noneksakta). Kenaikan di Universitas Sumatera Utara, Medan, terhitung rendah, yaitu dari Rp 180 ribu menjadi Rp 240 ribu per tahun untuk mahasiswa eksakta. Adapun untuk mahasiswa noneksakta naik dari Rp 90 ribu menjadi Rp 120 ribu—tak sampai 35 persen.

Akan halnya di Universitas Indonesia, Jakarta, pukul rata naik dari Rp 135 ribu per tahun menjadi Rp 200 ribu. Atau, dalam persentase, tak sampai 50 persen. "Belajar di UI memang tidak mahal, kok," ujar Wiwit Widi Antono, Sekretaris Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru merangkap juru bicara UI.

Berapa pun kenaikan uang kuliah di PTN, tampaknya masih tetap jauh lebih murah dibanding biaya di perguruan tinggi swasta (PTS). Sebuah PTS di Jakarta, misalnya, menetapkan biaya Rp 10 ribu untuk satu satuan kredit semester (SKS). Pukul rata dalam satu semester mahasiswa bisa menyelesaikan 18 SKS, yang berarti dia mesti membayar Rp 180 ribu, atau Rp 360 ribu setahun.

Rektor Universitas Sumatera Utara Profesor Dr Adiputra Parlindungan ketika itu menjelaskan kenaikan uang kuliah kali ini belum seberapa. "Uang sekolah di taman kanak-kanak saja Rp 15 ribu sebulan," katanya berseloroh. Uang sebesar itu kira-kira sama dengan uang rokok mahasiswa yang sehari mengisap sebungkus rokok kretek.

Dengan kebijakan baru tersebut, uang kuliah di universitas negeri relatif sama dengan PTS tak begitu terkenal. Sementara itu, kini mutu beberapa perguruan tinggi swasta relatif sama, bahkan ada yang lebih ketimbang universitas negeri.

*) Artikel ini terbit di majalah Tempo edisi 22 Agustus 2016

Ikuti tulisan menarik Iwan Kurniawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu