x

Suasana pelantiakan 12 menteri dan Kepala BKPM di Istana Negara, 27 Juli 2016. Presiden Joko Widodo baru saja mengumumkan susunan menteri-menteri barunya dalam kabinet kerja periode 2014-2019. Tempo/ Aditia Noviansyah

Iklan

Despan Heryansyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Revivalisasi Hubungan Eksekutif-Legislatif

Sistem presidensiil memberikan kewenangan yang besar kepada presiden dalam mengambil kebijakan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sistem perpolitikan dalam suatu negara adalah pilihan politik dari negara yang bersangkutan, dalam bahasa KC. Wheare ia menyebutnya resultante. Resultante adalah kesepakatan dasar para pengambil kebijakan yang didasarkan pada kondisi politik, sosial, budaya, ekonomi, dan hukum saat kebijakan tersebut diambil. Jadi sifatnya sangat fluktuatif karena disesuaikan dengan kondisi yang ada pada saat itu. Oleh karena nya sangat mungkin, suatu kebijakan dinilai baik dan tepat dalam suatu kondisi/masa namun dianggap buruk dan kurang tepat pada saat yang lain.

Dalam kaitannya dengan hubungan eksekutif-legislatif, bangsa Indonesia telah menentukan bahwa sifat hubungan antara keduanya adalah saling mengontrol dan mengimbangi atau disebut check and balances. Pilihan terhadap sistem ini dilatar belakangi oleh otorianisme masa pemerintahan orde lama dan orde baru pada dekade lalu. Dalam kedua orde ini, eksekutif menjadi sangat berkuasa karena tidak ada lembaga lain yang berperan untuk mengawasi dan mengontrolnya. Bahkan pada masa ini, legislatif yang seharusnya menjalakan pengawasan terhadap eksekutif, sebaliknya tidak memiliki peran apa-apa karena berada dibawah kungkungan presiden. Mayoritas anggota parlemen ditunjuk oleh presiden, sehingga dengan mudah presiden dapat menggantinya dengan yang lain jika mereka tidak “taat” pada instruksi presiden. Trauma dengan pengalaman masa lalu, akhirnya pada masa reformasi (Donald L. Horowitz menyebutnya reformasi gagal) memberikan kewenangan yang begitu besar kepada legislatif dalam rangka menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah (eksekutif). Hampir seluruh kebijakan yang diambil oleh pemerintah membutuhkan persetujuan dari legislatif, hal ini yang kemudian menjadi problem utama pada tataran praktek.

Dalam menunjuk pejabat negara misalkan, hampir seluruh pejabat negara yang ditentukan menjadi kewenangan presiden untuk menunjuknya (selain menteri dan anggota KY) membutuhkan persetujuan dari DPR, termasuk juga kebijakan lain yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab presiden sebagai pelaksana UU membutuhkan persetujuan DPR. Sehinggal menimbulkan beberapa dampak negatif bagi jalannya pemerintahan. Pertama, menyulitkan presiden untuk mewujudkan visi-misi atau program-programnya yang telah disusun semenjak masa kampanye. DPR kerap kali menjegal kebijakan presiden, padahal kebijakan itu adalah untuk memenuhi janji politik presiden pada saat kampanye.Kedua, memungkinkan terjadinya lobi-lobi politik oleh DPR agar kebijakan presiden dapat disetujui, lobi-lobi yang syarat dengan kepentingan elit politik. Ketiga, menghilangkan kebebasan presiden untuk mengambil langkah bebas dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, padahal sejak semula Indonesia telah mendeklarasikan diri sebagai negara dengan sistem presidensiil..

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang juga merupakan anggota partai politik dalam menentukan suatu kebijakan pasti tidak pernah lepas dari konfigurasi politik yang melatar belakanginya (Mahfud MD: 2009), serta dari kepentingan-kepentingan politik partai politiknya masing-masing. Sudah menjadi rahasia umum keputusan yang diambil oleh DPR berbanding terbalik dengan apa yang diinginkan oleh rakyat. Sistem recall yang diatur dalam UU Parpol mengungkung anggora parlemen untuk tidak dapat berbuat lain dari kebijakan partai, menjadi boneka partai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Salah satu dari 5 kesepakatan dasar saat mengamandemen UUD 1945 adalah  memperkuat sistem presidensiil. Praktek yang berlaku akhir-akhir ini tidak mencerminkan sistem presidensiil tersebut, sistem presidensiil setidaknya memberikan kewenangan yang besar kepada presiden dalam mengambil kebijakan (namun masih dalam kontrol UUD serta pengawasan DPR), tanpa harus “direcoki” oleh DPR seperti yang selama ini terjadi. Kondisi politik telah mengharuskan para pengambil kebijakan untuk merubah kiblat resultante negara untuk menata kembali hubungan eksekutif-legislatif. Pelibatan DPR untuk menyetujui mayoritas kewenangan presiden dalam prakteknya hanya menimbulkan deadlock pemerintahan dan lagi-lagi rakyat yang menjadi korban.

Apakah dengan mengembalikan sistem pemerintahan pada jalur presidensiil sebagaimana yang menjadi ruh UUD 1945 akan menimbulkan otoritarianisme seperti halnya pada masa orde baru? Tentu tidak, karena segala aktifitas presiden dibatasi oleh UUD juga DPR masih dapat menjalankan fungsi kontrolnya untuk mengawasi presiden.

 

Oleh: Despan Heryansyah

Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII YOGYAKARTA

Penelitipada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII

Ikuti tulisan menarik Despan Heryansyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu