Setelah 51 tahun tanpa kepastian, penanganan peristiwa 1965 mulai tampak kemajuannya. Setidaknya, rekomendasi rekonsiliasi dari Simposium 1965 bulan April lalu memberikan sedikit janji dan menunjukkan penyelesaian trgaedi itu tak berarti mandeg.
Semua pihak memang harus bersabar dalam mengikuti proses ini. Tak hanya karena kasus ini sudah lebih dari lima dasaarsa. Melainkan, penyelesaian kasus ini selalu dilekatkan dengan persoalan-persoalan agama, kebencian antar kelompok, dan pemaksaan pendapat dari satu kelompok ke kelompok yang lain.
Menurut Agus Widjoyo, Gubernur Lemhanas yang juga terlibat dalam tim perumus rekomendasi, rekonsiliasi menjadi pilihan paling mungkin dalam penyelesaian peristiwa 1965. Melalui penyelesaian pengadilan, menurutnya, akan menjadi lebih rumit.
Gagasan rekonsiliasi, sesungguhnya sudah diusung banyak pihak selama ini. Sebut, misalnya, gagasan yang diusung Perhimpunan Syarikat Yogyakarta, puluhan tahun lalu menyerukan pentingnya rekonsiliasi sebagai pendekatan penyelesaian peristiwa 1965.
Kesulitan mendasar dari konsep rekonsiliasi, perlunya melakukan pengungkapan kebenaran seputar peristiwa 1965 itu. Pengkapan ini, tidak saja melaakukan pembongkaran ulang dan pelurusan berbagai riset dan buku-buku yang beredar di masyarakat. Lebih dari itu, pasti akan terpetakan aktor-aktornya. Bukan berarti hendak mencari siapa yang salah, tetapi pasti akan terpetakan pula.
Langkah serius yang lain, setelah pengungkapan kebenaran, harus disusul dengan permaafan negara terhadap semua korban peristiwa itu yang disampaikan pemerintah sebagai pemangku kewajiban pemenuhan hak asasi manusia. Pada tahap ini, perbedaan pendapat yang tajam selama ini, ketika memasuki wacana permintaan maaf ini.
Kebesaran hati dan kelegowoan seluruh bangsa ini memang dituntut adanya. Tanpa sikap ini, sampai kapan pun rekonsiliasi tak akan pernag bisa terjadi. Dan kesakitan masa lalu itu, akan terus terasa dan semakin melukakan.
Maukah dan bisakah Presiden Jokowi membangun kesadaran pada sleuruh elemen bangsa ini untuk berbesar hati dan legowo? Kalau tak mampu apalagi tak mau, tindakan terpenting Presiden, melaminating nawacita, lalu digantung di tembok istana negara. Biarlah ia tinggal kenangan masa lalu, dan silakan sibuk dengan urusan-urusan transaksional dengan partai-partai pendukungnya. Sebab, bangsa ini akan segera kehilangan harapan dan kepercayaan.***
Ikuti tulisan menarik Mukhotib MD lainnya di sini.