x

Sejumlah siswa Sekolah Dasar Binter, Desa Sumantipal, Kecamatan Lumbis Ogong, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara berbaris di depan sekolah mereka, Rabu, 3 Agustus 2016.

Iklan

Darmaningtyas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kebijakan Full-Day School yang Menyesatkan ~ Darmaningtyas

Tugas Menteri Pendidikan bukanlah mengurusi hal teknis, melainkan yang strategis, seperti masalah pembiayaan pendidikan untuk semua warga

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gagasan sekolah sehari penuh (full-day school/FDS) yang dilontarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada masa awal kepemimpinannya ternyata bukan sekadar wacana. Dalam banyak kesempatan di forum-forum resmi, seperti dalam orasinya di depan Federasi Guru Independen Indonesia pada 27 Agustus lalu, Muhadjir menjelaskan soal konsep tersebut dan bahwa pelaksanaannya akan dimulai dengan piloting system. Itu menunjukkan gagasan tersebut akan direalisasi menjadi kebijakan resmi, meski secara wacana tidak lagi ramai dibicarakan oleh masyarakat.

Muhadjir menjelaskan, yang ia kerjakan adalah melaksanakan visi-misi Presiden Joko Widodo, bahwa 80 persen pendidikan dasar (sekolah dasar serta sekolah menengah pertama dan sederajat) berisi pendidikan budi pekerti atau karakter, sedangkan porsi ilmu pengetahuan cukup 20 persen. FDS merupakan salah satu upaya mewujudkan visi-misi itu. Dengan sistem FDS, anak-anak secara perlahan akan terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orang tua mereka belum pulang bekerja.

Gagasan yang bertujuan bagus belum tentu dapat diterapkan secara bagus. Semua amat bergantung pada kondisi lingkungan, geografis, ekonomi, sosial, dan budaya tempat anak-anak tersebut berada. Yang pasti, argumen dan penjelasan yang diberikan Muhadjir itu amat pro-kelas menengah atau kantoran di kota (urban). Muhadjir membayangkan anak-anak yang orang tuanya bekerja kantoran di kota dari pagi hingga sore secara teratur. Tentu ini amat menyesatkan bila diterapkan secara nasional.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sensus penduduk pada 2010 mencatat 32,5 juta orang (30,05 persen) dari 108,2 juta penduduk bekerja sebagai buruh/karyawan, diikuti dengan yang punya usaha dan dibantu buruh tidak tetap (21,7 juta orang). Adapun yang berusaha sendiri 21 juta orang. Persentase orang yang bekerja di luar kantor jauh lebih banyak dibanding mereka yang bekerja di kantor.

Para orang tua yang bekerja di sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, nelayan, atau sektor non-formal dan informal lainnya mungkin malah akan direpotkan oleh kebijakan FDS. Sebab, jadwal jemput sekolah anak bertabrakan dengan jadwal kerja mereka. Jika anak pulang sekolah siang hari, banyak orang tua merelakan mereka pulang bersama kawan-kawannya, entah naik angkutan umum, bersepeda, atau jalan kaki. Tapi, kalau pukul 5 sore mereka baru keluar dari sekolah, tentu para orang tua tidak tega. Di luar Jawa, kondisi infrastruktur transportasi dari dan ke sekolah masih buruk.

Kondisi infrastuktur pedesaan atau pedalaman yang buruk itu hendaknya menjadi bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan pendidikan nasional. Jangan bayangkan semua wilayah Indonesia seperti di Jakarta, yang jalannya beraspal semua dan selalu ramai sepanjang waktu. Di luar Jawa, masih banyak anak yang harus naik perahu terbuka tanpa fasilitas penyelamatan untuk pergi ke sekolah.

Persoalan menambah/mengurangi jam belajar di sekolah merupakan masalah teknis pengelolaan sekolah, bukan persoalan strategis. Persoalan teknis menjadi wewenang sekolah/madrasah, seperti amanat Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003: "Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah".

Berdasarkan pasal tersebut, banyak sekolah telah melaksanakan aturan FDS ataupun lima hari sekolah. Namun, karena bersifat mikro dan kasusistik, hal itu tidak mengundang masalah. Umumnya, infrastruktur sekolah dan kondisi murid yang menyelenggarakan FDS cukup mendukung, sehingga tidak menimbulkan resistansi.

Tugas Menteri Pendidikan bukanlah mengurusi hal teknis, melainkan yang strategis, seperti masalah pembiayaan pendidikan untuk semua warga, penuntasan wajib belajar 12 tahun, kurikulum, standardisasi, akreditasi, evaluasi, peningkatan kompetensi guru, penyediaan gedung dan fasilitas pendidikan lainnya, mengatasi kesenjangan antar sekolah/daerah, dan menumbuhkan budaya literasi. Mengingat ini masa otonomi daerah dan otonomi sekolah, maka kurang tepat dan bisa dianggap kemunduran bila kebijakan teknis (yang implementasinya amat bergantung pada kondisi lokal) diberlakukan secara sentralistik. Kebijakan teknis operasional sekolah sebaiknya diserahkan kepada pemerintah daerah dan sekolah.

Hal mendasar yang perlu dijadikan pertimbangan dalam penerapan FDS adalah bahwa terlalu lama mengungkung murid di sekolah bisa menyebabkan mereka bosan, jenuh, dan tercerabut dari akar-akar lingkungan geografis, ekonomi, sosial, ataupun budaya. Mungkin hal itu secara kognitif bagus, tapi murid bisa menjadi egois, asyik dengan diri sendiri (narsisistik), kurang peka terhadap lingkungan sekitar, kurang empati terhadap sesama, dan kurang pergaulan. Ki Hadjar Dewantara telah lama mengingatkan adanya tiga pusat pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat. Ketiga hal ini harus berperan selaras agar anak tumbuh secara seimbang. Kalau hanya dididik di sekolah, sementara pendidikan dalam keluarga dan masyarakat kurang, anak bisa menjadi teralienasi.

Darmaningtyas, penulis buku Pendidikan yang Memiskinkan

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 16 September 2016

Ikuti tulisan menarik Darmaningtyas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler