Lebih Dekat dengan Penyintas Kanker

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Maggy Horhoruw memotret para perempuan survivor kanker payudara. Dia memberi wajah dan suara bagi penyakit yang berisiko fatal ini.

Sirkus emosi itu bernama kanker payudara. Perempuan, betapa pun tegar dia, pasti ajrut-ajrutan rasa hatinya saat didiagnosa penyakit satu ini. Maggy Horhoruw, sahabat saya, seorang fotografer lepas, mengggambarkan dengan indah sirkus itu. “Saya memotret para pasien, up close and personal,” kata Maggy Horhoruw, yang juga mantan tenaga ahli di Kementerian ESDM ini. “Serial potret yang membuktikan betapa kuat para perempuan ini." (https://steller.co/s/5gDLRxWweNL)

 

kanker payudara

Foto-foto hasil karya Maggy ini dipamerkan di kampus Universitas Binus, di Senayan, Jakarta, awal September lalu, dengan judul #Sadari. Dua belas foto, dari enam perempuan, dua di antaranya telah meninggal, ada dalam rangkaian fotonya. Seluruhnya menunjukkan sosok perempuan yang punya daya tahan kuat, meskipun kesehatannya sedang ada pada titik terendah. Foto-foto karya Maggy membawa kita lebih dekat pada survivor atau penyintas kanker payudara, memberi wajah dan suara pada penyakit yang menurut WHO, pada 2014, menjadi pembunuh nomer satu di Indonesia ini.

Astri, misalnya, baru berumur 30 tahun ketika didiagnosa kanker. Lima tahun sejak dia pertama kali didiagnosa, Astri menjalani aneka pengobatan herbal. Dia baru berobat di Rumah Sakit MRCCC Siloam ketika kondisinya memburuk. Mastektomi, prosedur pengangkatan payudara, tak bisa lagi diterapkan. Sel-sel kanker terbawa aliran darah, menyebar ke seluruh tubuhnya. Maggy memotret Astri ketika sedang terbaring lemah. Astri mempersilakan Maggy memotret, tanpa sedikit pun mengeluh tentang kesakitannya. “Silakan memotret saya, begitu kata Astri, mudah-mudahan hidup saya bisa menjadi pelajaran bagi yang lain,” kata Maggy. 

kanker payudara 

Dua bulan setelah pemotretan, Astri meninggal. Tentu ini takdir. Namun, bagi Maggy, kematian Astri adalah hal yang patut disayangkan. Kalau saja dia berobat dari awal, tindakan medis dengan prospek kesembuhan yang besar. Kematian bisa dicegah. Tiga anak gadisnya mungkin masih bisa merasakan kasih ibu. “Dia masih begitu muda,” kata Maggy.

Memotret pasien kanker, bagi Maggy, adalah memotret kisah kehidupan. Ada berlapis-lapis kisah di sana. Kisah dukungan keluarga, cinta pasangan, daya hidup, ketekunan dan spirit menjalani terapi yang minimal berlangsung intensif dua tahun, juga persepsi masyarakat tentang kanker. 

kanker payudara

Dua tahun lalu, 2014, Maggy mengikuti sebuah workshop fotojurnalis di Antigua, Guatemala, dengan mentor fotografer profesional Maggie Steber, yang terkenal dengan karya foto-foto yang berjudul “Dancing on Fire, Photographs from Haiti”. Sang mentor menantang Maggy untuk memotret subyek yang menampilkan dinamika kemanusiaan.

Pasien kanker payudara, Maggy memutuskan pilihan subyek fotonya. “Apalagi selama ini, pasien kanker payudara selalu digambarkan ringkih dan menyedihkan, berambut rontok, berkepala botak, atau berpose seolah amat tegar,” katanya. Magy tertantang untuk mengenal dan mendalami lebih dekat kehidupan para survivor kanker. 

Maggy memotret seluruh subyek fotonya dalam keadaan sehari-hari, tidak dibuat-buat. Ada Inez Nimpuno, dokter yang juga survivor kanker payudara, dipotret saat sedang bersiap mengenakan baju. Payudara kanannya tampak rata, dengan bekas jahitan operasi pengangkatan payudara atau mastektomi. Ada busa yang diselipkan di bra sebelah kanan. Juga ada foto Inez sedang menangis sambil menerima telepon dari sesama survivor. Inez memang menjadi tempat curhat para survivor. “Dia selalu ada untuk mereka, mendengarkan curhat, juga memantau kondisi mereka,” kata Maggy.

Posisi Inez sebagai tempat curhat cukup krusial. Dia tidak sekadar menampung keluh kesah survivor, tetapi juga menjembatani persoalan medis yang harus dijalani selama pengobatan. Menyediakan informasi tentang a sampai z terapi, efek sampingnya, konsekuensinya, termasuk membaca hasil pemeriksaan laboratorium dan implikasinya bagi terapi. "Input seperti ini penting sebagai bekal teman-teman untuk diskusi dengan dokter," kata Inez. Tanpa bekal yang cukup, pasien akan kebingungan dan tidak jarang mengambil keputusan keliru, misalnya menghentikan pengobatan. "Pendampingan survivor ini titik kritikal, tapi saya tidak bisa sendirian. Saya butuh teman untuk mendampingi teman-teman."

 

kanker payudara

Penulis pun pernah beberapa pekan mengikuti obrolan di grup what’s app bersama Inez Nimpuno. Teman survivor yang bercerita ceriah ceria setelah menjalani kemoterapi, namun satu atau dua bulan kemudian bisa jatuh kondisinya dan kemudian meninggal. “Karenanya, dukungan grup menjadi sangat penting. Saling menguatkan,” kata Inez Nimpuno, yang tinggal di Canberra, Australia.

Dukungan kawan, sesama survivor, dan terutama dukungan keluarga memang tak tergantikan. Proses pengobatan, selain lama, juga memakan biaya tak sedikit. Maggy memotret tumpukan kwitansi obat, operasi mastektomi, kemoterapi, radioterapi, yang dijalani Endah, salah satu survivor. Tanpa dukungan keluarga, terutama pasangan, mustahil pengobatan yang mahal —secara lahir dan batin—bisa dijalani dengan lancar.

Foto-foto Maggy juga menunjukkan betapa berharganya hidup setelah pergulatan melawan kanker. Sarah, 48 tahun, misalnya, rambutnya rontok permanen karena efek samping obat kemoterapi Herceptin. Ini memang obat paling kuat yang menghajar sel-sel kanker. Efeknya, ya itu tadi, ada empat persen pasien yang mengalami efek samping rambut rontok secara permanen. Rambut tidak bisa tumbuh lagi. Sarah tak keberatan. Karena obat itulah pilihan paling efisien melawan sel-sel kanker ganas yang nyaris menelan nyawanya. Bahkan, jika harus mengulang lagi waktu, Sarah tetap akan memilih obat tersebut dibanding kemoterapi jenis lain.

Kanker pun tidak membuat kehidupan berakhir, begitu pesan yang tampil dalam foto Maggy. Dewi, 35 tahun, yang tinggal di Semarang, juga ada dalam salah satu foto karya Maggy. Suami Dewi sangat suportif, mendukung tindakan medis yang harus dijalani sang istri. Mastektomi, kemoterapi, radioterapi, semua dijalani Dewi. Setelah dua tahun dinyatakan bebas dari sel kanker, Dewi kemudian hamil. Senang dan bahagia tentu. Kehamilan yang menunjukkan bahwa hidup tak berakhir setelah mastektomi.

Kini, Maggy tetap meneruskan proyek fotografinya. Ada belasan survivor yang menanti untuk dia potret. Sebagian masih teramat muda, ada yang belasan tahun dan dua puluhan tahun. Para survivor ini menemukan suara dan uluran solidaritas dalam kamera Maggy. “Saya berterima kasih pada para perempuan yang ada dalam foto-foto ini,” katanya, “Mereka telah menginspirasi saya.” 

 

(Mardiyah Chamim)

****

Bagikan Artikel Ini
img-content
MardiyahChamim

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Tak Ada Revolusi dalam Soal Kualitas

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Setelah Badai Pilkada Berlalu

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler