x

Iklan

Wendie Razif Soetikno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Inovasi

"Trickle down effect" sudah lama dianut di politik anggaran kita.Oleh sebab itu perlu inovasi agar politik anggaran kita lebih berpihak pada publik

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pendidikan dan kesehatan menjadi fokus program Pemprov DKI Jakarta untuk mengejar target indeks pembangunan manusia dari 78,9 menjadi 80 (Kompas, Jumat 23 September 2016 halaman 27 : “Polisi Pantau Media Sosial” alinea 16).

Maka menilai APBD Prov.DKI Jakarta dan politik anggaran Pemprov DKI Jakarta tidak bisa hanya berkutat pada realisasi penyerapan anggaran yang meleset dari target,  karena penyerapan anggaran yang besar bisa juga terjebak menjadi alokasi anggaran yang tidak tepat sasaran.

Oleh sebab itu yang lebih penting adalah  melihat adanya perubahan paradigma pembangunan : dari yang semula bertumpu pada kemampuan pemerintah, menjadi bersandar pada partisipasi masyarakat melalui langkah inovasi untuk penghematan anggaran, dengan menekankan peran CSR (Corporate Social Responsibility)  dan pemanfaatan kompensasi pelampauan KLB (Koefisien Lantai Bangunan) untuk pembangunan infrastruktur dan pembangunan manusia seutuhnya (pelestarian budaya, pembangunan RTPRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak) atau kegiatan-kegiatan sosial untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kenapa perubahan paradigma pembangunan ini perlu dicermati? 

Karena sejak dulu, politik anggaran kita bersifat trickle down effect (kue pembangunan hanya dinikmati segelintir orang yang berada di dekat kekuasaan) dan sepertiga lebih APBN atau APBD kita habis untuk gaji dan fasilitas PNS, ditambah dengan anggaran untuk infrastruktur yang hampir memakan 60% dari APBN atau APBD kita, maka alokasi dana untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan menjadi minim sekali. Politik anggaran kita sejak lama tidak berpihak pada publik. Langkah ini mengerucut dari pusat sampai ke daerah.

Ada hal-hal yang menarik untuk dikritisi untuk membuktikan adanya politik anggaran yang tidak berpihak pada publik kalau kita menelisik Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2015 (audited), yaitu tingginya biaya rutin seperti belanja pegawai dan beban perjalanan dinas sebesar Rp 273,8 trilyun ditambah akumulasi beban pegawai  (Rp 283,9 trilyun)  yang telah menghabiskan lebih dari sepertiga (36%) total pendapatan negara sebesar Rp.1.550 trilyun. 

Artinya moratorium penerimaan PNS dan pembubaran lembaga-lembaga negara yang tumpang tindih, serta penghematan anggaran tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga porsi pembangunan manusia mengecil.  Tanpa perubahan paradigma dari kalangan eksekutif, maka pengalokasian anggaran untuk kesejahteraan rakyat akan tetap menjadi utopia.  Politik anggaran semacam ini sudah tentu akan di copy oleh banyak daerah, apalagi anggaran yang hanya menetes ke bawah (trickle down effect) ini terpola oleh peri laku birokrat yang selalu “minta dilayani”, bukan “melayani” masyarakat.

Mari kita lihat di Prov DKI Jakarta. Belanja pegawai nilainya mencapai Rp.18,7  trilyun dari total APBD DKI Jakarta sebesar Rp.66,4 trilyun. Namun dalam Revisi KUPA PPAS (Kebijakan Umum Penyusunan APBD Prioritas & Plafond Anggaran Sementara) nilai belanja pegawai naik menjadi Rp.19,9 trilyun dari total APBD yang turun menjadi Rp.62,7 trilyun.  Artinya belanja pegawai akan mencapai lebih dari 30% APBD, kalau ditambah anggaran untuk infrastruktur yang mencapai 62% dari APBD, maka yang tersisa untuk rakyat marginal memang sangat sedikit.

Kalau kita cermati alokasi anggaran per sektor seperti anggaran pendidikan dan kesehatan di DKI Jakarta, maka akan nampak bahwa budaya birokratisasi anggaran ini juga muncul dengan sangat kuat. 

Alokasi anggaran pendidikan yang tidak tepat sasaran

Misalnya Sudin Pendidikan Dasar Jakarta Barat menganggarkan pengadaan mesin penghancur dokumen senilai Rp.2,5 milyar.  Mesin penghancur dokumen tidak ada relevansinya dengan upaya peningkatan mutu pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam Nawa Cita No.5 dan penggunaan mesin ini juga menyalahi prinsip 3 R (Reduce, Reuse dan Recycling).  Karena kertas itu sedapat mungkin didaur ulang, bukan dihancurkan dengan menggunakan mesin mahal itu.

Bandingkan dengan biaya pembinaan MGMP Bahasa Inggris SMP yang hanya dianggarkan oleh Sudin yang sama senilai Rp.125 juta, padahal kita sudah memasuki era globalisasi lewat MEA 2015 dan APEC 2020.  Artinya kita abai pada peningkatan kemampuan guru SMP dalam berbahasa Inggris di tengah membanjirnya banyak tenaga kerja asing dan turis asing di Jakarta.  

Atau kita terbelalak melihat pengembangan program pendidikan yang hanya dianggarkan Rp 95 juta oleh Sudin Pendidikan Dasar Jakarta Timur.  Apa yang bisa dilakukan untuk pengembangan pendidikan dengan anggaran hanya Rp 8 juta per bulan untuk begitu banyak SD dan SMP di Jakarta Timur itu?

Politik anggaran yang menetes ke bawah ini makin nampak kalau kita melihat anggaran operasional Dewan Pendidikan senilai Rp 3 milyar, sementara kita saksikan bahwa PMB (Penerimaan Siswa Baru) secara online tetap kacau dan SIP (Sistim Informasi Pendidikan) ternyata tidak compatible dengan Revisi Kurikulum 2013. Artinya fungsi Dewan Pendidikan sebagai lembaga supervisi dan pengawas tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Dilain pihak, anggaran penyediaan koleksi bahan pustaka yang diajukan oleh Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kepulauan Seribu hanya bernilai Rp.450 juta, artinya anggaran ini tidak sebanding dengan biaya pengadaan satu judul buku : “Jakarta Dulu Rawa, Kini Menara” senilai Rp 600 juta yang dianggarkan oleh Sudin Pendidikan Dasar Jakarta Pusat dan Sudin Kota administrasi lain juga menganggarkan jumlah yang sama, atau tidak sebanding dengan biaya pengadaan literatur atau buku Smart Teaching SMK senilai Rp 6 milyar.

Bagaimana kita dapat mengembangkan budaya membaca dan meningkatkan minat baca anak-anak kita, kalau anggaran pengadaan buku atau literatur sangat tidak berimbang dan anggaran perpustakaan sangat jauh dibawah alokasi anggaran operasional Dewan Pendidikan? 

Yang lebih membuat miris adalah anggaran untuk pelaksanaan Ujian Paket A setara SD yang diajukan Dinas Pendidikan senilai Rp.1,2 milyar, padahal Ujian Paket A setara SD itu sudah dihapus melalui ketentuan Pasal 70 ayat 2 PP No.32 Tahun 2013 yang ditanda tangani oleh Presiden SBY tanggal 7 Mei 2013. 

Dinas Pendidikan juga menganggarkan UKS SD berbasis IT senilai Rp 5 milyar, padahal mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) sudah dihapus dalam Kurikulum 2013 dan Revisi Kurikulum 2013.  Lalu siapa yang akan mengoperasikan UKS berbasis IT tersebut? 

Atau pengadaan alat Digital Education Classroom senilai Rp 6 milyar hanya di satu sekolah saja (SMKN 9) yang diajukan Sudin Pendidikan Menengah Jakarta Barat, padahal (1) Mata pelajaran TIK dihapus dalam Kurikulum 2013 dan Revisi Kurikulum 2013 sehingga SMK tidak bisa mendisain kurikulum secara digital. (2) pendidikan vokasi seharusnya lebih memerlukan alat-alat praktek dan pengembangan ketrampilan di bengkel workshop agar menjadi tenaga yang siap pakai. 

Dari contoh-contoh di atas, maka yang diperlukan dalam politik penganggaran bidang pendidikan adalah keterkaitan antara kebutuhan primer sekolah dan relevansinya dengan kurikulum pendidikan nasional tanpa tumpang tindih dengan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan BOP (Bantuan Operasional Pendidikan). 

Tanpa visi ini, sebesar apapun dana pendidikan digelontorkan, misi pendidikan di DKI Jakarta akan tetap tertinggal dari provinsi lain. Contoh konkritnya adalah tidak dianggarkannya pengadaan komputer dan wifi di sekolah padahal pemerintah pusat sudah mencanangkan UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer) dan UKG (Uji Kompetensi Guru) berbasis online  sehingga banyak sekolah di DKI Jakarta tetap menyelenggarakan UN (Ujian Nasional) secara manual atau Pemprov DKI Jakarta tidak bisa menunjukkan adanya sekolah digital di Jakarta ketika delegasi SEAMEO (Organisasi Menteri-menteri Pendidikan se Asia Tenggara) pada Pertemuan Ke-6 tanggal 23-25 April 2016 lalu, mencari contoh penerapan sekolah digital di sekolah-sekolah negeri di Indonesia. 

Alasan klasik keterbatasan anggaran dapat diatasi dengan memanfaatkan dana CSR bidang pendidikan dari berbagai perusahaan asing di Jakarta, seperti IBM, Microsoft, Intell, dll atau bekerja sama dengan berbagai lembaga asing seperti USAID, AusAID, Plan International, dll 

Atau memanfaatkan dana kompensasi pelampauan KLB untuk rehab total berbagai gedung sekolah yang rusak. 

Langkah inovatif dalam bidang pendidikan sangat diperlukan, bukan saja untuk penghematan anggaran tapi juga untuk mendorong pengalokasian anggaran yang tepat guna.  Sehingga tidak terjadi lagi penganggaran pengadaan alat-alat fitness di SMK yang nilainya mencapai Rp 5 milyar oleh Sudin Pendidikan Menengah Jakarta Selatan, karena kegiatan olah raga di sekolah menurut Kurikulum 2013 dan Revisi Kurikulum 2013 bertumpu pada permainan bola besar (sepak bola, futsal, basket, volley, sepak takraw) dan bola kecil (tenis meja, bulu tangkis, kasti) serta atletik.

Terobosan lain yang diperlukan oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta adalah moratorium pendirian sekolah negeri dan pembukaan kelas baru di sekolah negeri mengingat anggaran untuk sarana dan prasarana sekolah di jaman modern ini makin lama makin mahal. 

Misalnya pengadaan alat scanner dan printer 3 D untuk SMA yang diajukan oleh Sudin Pendidikan Menengah Jakarta Selatan nilainya mencapai Rp 6 milyar, padahal alat-alat tersebut hanya merupakan sebagian kecil dari peralatan dalam kebutuhan perlengkapan kantor di dunia modern. Dengan moratorium itu, bukan hanya biaya sarana dan prasarana pendidikan bisa ditekan, tetapi juga gaji guru PNS dapat dikendalikan besarannya. 

Disamping itu Pemprov DKI Jakarta dapat melaksanakan putusan MK No.58/PUU-VIII/2010 : “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberi bantuan teknis, subsidi dan sumber dana lain secara adil dan merata kepada lembaga pendidikan berbasis masyarakat (sekolah swasta)”. 

Maka sekolah-sekolah swasta yang sejak awal sudah mandiri dan tidak membebani Pemprov DKI Jakarta hendaknya difasilitasi sebagai mitra pemerintah, bukan saingan sekolah-sekolah negeri.  Sekolah swasta banyak yang kekurangan murid karena Dinas Pendidikan tidak menghentikan praktek penyiasatan kebijakan yang dilakukan oleh sekolah-sekolah negeri.

Kebijakan sekolah gratis di seluruh sekolah negeri, hanya diberlakukan bagi pendaftaran siswa baru (kelas 1 SD, kelas 7 SMP dan kelas 10 SMA/SMK) serta bagi siswa yang sudah duduk disekolah tersebut (murid lama di kelas 2-kelas 6 SD, kelas 8-kelas 9 SMP dan kelas 11-kelas 12 SMA/SMK).  Artinya kebijakan sekolah gratis itu disiasati dengan membuka kelas-kelas baru di kelas 2-kelas 6 SD, kelas 8-kelas 9 SMP, dan kelas 11-kelas 12 SMA/SMK untuk menampung siswa-siswa pindahan dari sekolah lain dengan berbayar

Dengan penambahan murid pindahan berbayar ini, maka sekolah negeri bersangkutan dapat mengajukan anggaran untuk pembangunan RKB (Ruang Kelas Baru) melalui DAK (Dana Alokasi Khusus), atau membuka kelas shift sore hari.  Sekolah negeri diuntungkan karena selalu mendapat proyek baru.

Alhasil, sekolah gratis dapat disiasati untuk menambah pemasukan sekolah, sementara sekolah swasta merugi karena kekurangan murid dan tidak memperoleh subsidi dari Pemprov DKI Jakarta sebagaimana seharusnya diamanatkan oleh putusan MK di atas.

Kebijakan bias lain adalah kebijakan penghitungan dana BOS yang dikatikan dengan jumlah murid, yang disiasati dengan membuka pendaftaran murid baru tanpa tes (menerima murid baru sebanyak-banyaknya) sehingga sekolah negeri dapat menerima dana BOS yang luar biasa besar.  Jumlah murid yang bertambah ini memerlukan ruang kelas baru dan guru PNS baru serta biaya sarana dan prasarana yang makin besar.

Oleh sebab itu, penyerapan dana pendidikan Pemprov DKI Jakarta selalu mendekati 100%, tapi besarannya selalu meningkat dari tahun ke tahun, sehingga suatu saat bisa mencapai lebih dari 20% APBD (lebih banyak dari yang digariskan dalam Pasal 49 ayat 1 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional).

Sementara itu banyak sekolah swasta yang mandiri menjadi kekurangan murid sehingga harus ditutup.  Hal ini nampak jelas dari bentuk piramida jenjang pendidikan kita.  Misalnya jumlah kelas 7 di SMP Swasta di Jakarta Selatan : 42 kelas, tetapi di kelas 8 menyusut menjadi 36 kelas.  Sedangkan jumlah kelas 7 di SMP Negeri : 74 kelas, tetapi kelas 8 membesar menjadi 88 kelas. 

Tanpa partisipasi swasta (masyarakat) maka pemerintah akan terjebak dalam dilema antara pemerataan pendidikan atau peningkatan mutu pendidikan, antara kuantitas dan kualitas sekolah dan sebagai ibukota negara, Jakarta tak akan mampu bersaing dengan ibukota negara lain dalam bidang pendidikan kalau tidak ada terobosan baru dari Dinas Pendidikan.

Di lain pihak, akibat besarnya serapan anggaran untuk infrastuktur kelas-kelas baru dan penambahan belanja pegawai PNS di kelas-kelas baru di sekolah negeri, maka pelayanan untuk siswa miskin dan putus sekolah dapat terus berkurang dananya.

Anggaran kesehatan yang terkendala BPJS Kesehatan

Dalam bidang kesehatan, trickle down effect juga terlihat pada menjamurnya rumah sakit type A berbayar mahal seperti RSCM Paviliun Kencana dan munculnya berbagai rumah sakit internasional super mewah, atau meluasnya kelas VVIP dan VIP yang tidak di cover BPJS Kesehatan di berbagai rumah sakit, atau maraknya praktek klinik swasta berbayar yang tidak menggunakan obat generik, dll. 

Namun secara umum, Dinas Kesehatan Prov DKI Jakarta menerapkan prinsip kehati-hatian (prudent) dalam penganggaran sehingga 9 prinsip penyelenggaraan BPJS Kesehatan yang digariskan dalam Pasal 4 UU No.24 Tahun 2011 tetap terakomodasi. Namun jumlah orang miskin yang terlayani di BLUD Puskesmas Kecamatan atau jumlah orang sakit (pasien) yang terlayani tanpa harus membayar uang muka perawatan di RSUD menjadi sangat dibatasi oleh alokasi anggaran tahun berjalan.

Keterbatasan dalam melayani jumlah pasien ini mengharuskan warga mengantri sejak dini hari.  Masalah ini harus dicari pemecahannya dengan memperbesar alokasi anggaran kesehatan dan memperbesar jumlah dokter.

Namun masih ada masalah lain yang mengganjal. Masalah itu terletak pada proses klaim pembayaran yang diajukan rumah sakit kepada BPJS Kesehatan untuk layanan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) selalu tersendat. Misalnya BPJS Kesehatan tak bisa menanggung orang terlantar yang tak punya alamat tempat tinggal.  Padahal Pemprov DKI Jakarta sudah membayar premi ke BPJS Kesehatan sehingga semua orang terlantar yang perlu tindakan medis patut ditangani. 

Proses verifikasi panjang bisa membuat klaim menumpuk dan menanti lama untuk mendapat pembayaran dari BPJS Kesehatan.   Hal ini menyebabkan belanja obat, tenaga medis dan perlengkapan terganggu.  Selain itu, pasien juga rentan terlambat mendapat tindakan tambahan karena pencairan dana lama akibat butuh validasi menurut tes laboratorium (Kompas, Sabtu 24 September 2016 halaman 14 : “Verifikasi Klaim JKN Bermasalah”)

Maka diperlukan langkah inovasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang akan menjadi merupakan terobosan besar untuk memecah kebuntuan terganggunya klaim tersebut. 

Contoh : Monitoring dan evaluasi KJS (Kartu Jakarta Sehat) yang dianggarkan oleh BLUD Puskesmas Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat senilai Rp 2,43 juta.  Hendaknya kita tidak menilai kecilnya anggaran itu, tetapi mengkaji langkah inovasi itu untuk melihat akar masalah kesehatan di Jakarta, suatu hal yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi lamanya pencairan klaim dari BPJS Kesehatan.  Anggaran ini dapat dimintakan sebagai dana CSR lembaga pendidikan medis dan paramedis swasta di Jakarta.

Atau membuat peta kebutuhan tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan milik Pemda yang dianggarkan Dinas Kesehatan senilai Rp.150 juta sehingga aspek pemerataan akses kesehatan dapat direncanakan secara lebih terpadu ditengah keterbatasan dana.  Untuk itu diperlukan program capacity building Dinas Kesehatan yang dianggarkan sebesar Rp 150 juta.  Melalui program ini, dapat diupayakan pembinaan Puskesmas jejaring berbasiskan rujukan berjenjang, yang dianggarkan Rp.387 juta.  Semua anggaran ini dapat dimintakan sebagai dana dana CSR agen-agen peralatan kesehatan di Jakarta

Maka untuk mendayagunakan KJS (Kartu Jakarta Sehat), Dinas Kesehatan bertumpu pada penanggulangan belanja obat, penyediaan kelengkapan peralatan medis yang memadai dan pemberian biaya talangan untuk menutup lubang pencairan dana yang lama dari BPJS Kesehatan.

Dalam penanggulangan belanja obat, banyak BLUD Puskesmas belum mengantisipasi masalah di atas, misalnya BLUD Puskesmas Kecamatan Cengkareng sudah menganggarkan biaya penyediaan obat senilai Rp.1,8 milyar dan BLUD Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur sudah menganggarkan pengadaan obat dan perbekalan sarana kesehatan senilai Rp 3 milyar.  Anggaran ini belum memasukkan adanya keterlambatan klaim ke BPJS Kesehatan.  Jadi harus ada antisipasi sebesar 5%

Penyediaan kelengkapan sarana medis yang memadai juga belum dialokasikan oleh para perencana dunia kesehatan yang terkendala masalah lamanya verifikasi dari BPJS Kesehatan tersebut.  Misalnya BLUD Puskesmas Kecamatan Jagakarsa  menganggarkan penyediaan sarana dan prasarana Puskesmas senilai Rp.3,3 milyar dan BLUD Puskesmas Kecamatan Kelapa Gading Jakarta Utara menganggarkan item yang sama senilai Rp.1,1 milyar.  Atau BLUD RS Koja menganggarkan manajemen asset senilai Rp.5 milyar.  Penyediaan kelengkapan sarana medis secara spesifik dianggarkan oleh BLUD RS Tarakan berupa pengadaan alat kedokteran radiologi senilai Rp.17 milyar. Anggaran ini belum memasukkan keterlambatan klaim ke BPJS Kesehatan, sehingga biaya perawatan sarana medis itu tidak ter-cover

Penganggaran kelengkapan sarana medis ini juga melalaikan kelengkapan sarana laboratorium, sehingga penegakan diagnostik sering terlambat dilakukan.

Mengingat besarnya biaya kesehatan yang ditanggung pasien yang tidak di cover oleh BPJS Kesehatan, maka langkah terobosan yang dilakukan oleh BLUD Puskesmas Kecamatan Koja Jakarta Utara, yakni pelaksanaan pelayanan rawat inap di luar RS Bersalin, patut diapresiasi. 

Langkah ini perlu diikuti dengan program preventif yang terintegrasi antar instansi yaitu menjaga kebersihan lingkungan dan merawat lingkungan yang sehat berupa pengadaan jasa kebersihan oleh swasta di tiap kecamatan (misalnya : Dinas Kebersihan menganggarkan Rp.5,2 milyar di Kecamatan Mampang Prapatan dan dilakukan serempak di semua kecamatan yang lain) dan sosialisasi pola hidup bersih dan sehat di setiap kelurahan (misalnya Kelurahan Tugu Utara Jakarta Utara menganggarkan Rp.37,5 juta) atau program peningkatan kesehatan dan pemberdayaan masyarakat di Kampung Teko Cengkareng yang dianggarkan Rp.100 juta oleh Sudin Kesehatan Jakarta Barat, atau program pendukung kota sehat bidang kesehatan yang dianggarkan Rp.50 juta oleh BLUD Puskesmas Kecamatan Kalideres Jakarta Barat.  Program-program lingkungan sehat ini bisa dimintakan pada CSR berbagai perusahaan dan bank yang peduli lingkungan. 

Program kemitraan ini juga menyasar anak usia SD melalui kegiatan dokcil (dokter cilik) dan para pelajar SMP-SMA/SMK melalui kegiatan PMR (Palang Merah Remaja) atau menyasar masyarakat umum melalui program sertifikasi laik sehat tempat pengolaan makanan dan depo air minum yang sudah dilakukan oleh Sudin Kesehatan Jakarta Utara.

Melalui program peningkatan kemitraan kesehatan ini, maka biaya pengobatan kuratif dapat ditekan sehingga Dinas Kesehatan dapat lebih fokus menangani masalah-masalah kegawat-daruratan melalui sistim penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Call Center yang dianggarkan Rp.8,2 milyar dan pelayanan kesehatan masyarakat, seperti pelayanan kesehatan di pasar tradisional (misalnya BLUD Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat yang melayani Pasar Senen dan BLUD Puskesmas Kecamatan Gambir Jakarta Pusat yang melayani Pasar Baru masing-masing menganggarkan Rp.100 juta) sehingga hanya tersisa 3 pasar tradisonal yang belum mendapat layanan kesehatan yaitu Pasar Mester Jatinegara, Pasar Induk Kramat Jati dan Pasar Cibubur.  Semua rusunawa juga sudah mendapat layanan kesehatan primer.

Apa yang masih kurang dari perencanaan anggaran Dinas Kesehatan ini? 

Pertama, belum dianggarkannya dana talangan bila proses klaim pembayaran yang diajukan rumah sakit kepada BPJS Kesehatan untuk layanan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) terus menerus tersendat.  Dana talangan ini penting agar belanja obat, tenaga medis dan perlengkapan laboratorium dan layanan kesehatan tidak terganggu, sehingga pasien yang memerlukan tindakan medis tambahan dapat tertangani dengan baik.  Selama ini dana talangan diambilkan dari penata laksanaan dan pengelolaan penyakit, serta pengadaan bahan pakai habis.  Tentu saja hal ini tidak bisa terus menerus dilakukan karena rawan dianggap sebagai penyalah gunaan alokasi anggaran.

Kedua, prinsip kehati-hatian (prudent) telah membuat kegiatan preventif menjadi terbatas sehingga hasilnya kurang efektif.  Misalnya program pencegahan dan penanggulangan masalah gizi di masyarakat hanya dianggarkan Rp.40,5 juta oleh BLUD Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu.  Besaran anggaran program penting ini tidak sebanding dengan survey kepuasan pelanggan senilai Rp.200 juta yang dianggarkan oleh BLUD RS Budhi Asih. 

Ketiga, urbanisasi terbesar terdapat di Kecamatan Cengkareng (terlapor 3785 orang) maka kegiatan preventif seyogyanya dipusatkan di daerah tersebut, namun ternyata jumlah rumah sakit dan puskesmas terbesar justru terletak di Jakarta Timur, dan penanggulangan kekumuhan lingkungan yang dapat menimbulkan berbagai penyakit degeneratif justru dilakukan di Jakarta Selatan (pemeliharaan/perbaikan saluran jalan tali-tali air, dianggarkan oleh Sudin PU II Tata Air Jakarta Selatan senilai Rp.13,5 milyar)  Oleh sebab itu langkah koordinasi diperlukan dengan instansi lain agar program preventif dapat berhasil guna.

Keempat,  pemanfaatan kompensasi pelampauan KLB perlu diterapkan untuk pembangunan Puskesmas baru sehingga tidak ada lagi Puskesmas yang masih menyewa tempat, seperti sewa tempat untuk Puskesmas Kelurahan Semper Timur dan Puskesmas Kelurahan Kelapa Gading Barat yang masing-masing dianggarkan senilai Rp.350 juta. 

Kelima, program CSR perlu dikembangkan untuk meningkatkan program perbaikan gizi melalui (1) peningkatan cakupan MP ASI pada Baduta yang termasuk Gakin 6-24 bulan sehingga bisa memperluas cakupan yang saat ini hanya dianggarkan Rp75 juta oleh BLUD Puskesmas Kecamatan Penjaringan, atau melalui (2) perluasan cakupan pemberian makanan tambahan bagi balita dan lansia yang saat ini hanya dianggarkan Rp.19 juta oleh Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu.

 Maka menilai apakah Pemprov DKI Jakarta akan sanggup mengejar target indeks pembangunan manusia dari 78,9 menjadi 80 melalui politik anggaran yang berpihak pada publik, harus mengkritisi perencanaan anggaran di Dinas Pendidikan yang tidak tepat sasaran dan mendorong agar BPJS Kesehatan mempercepat verifikasi berupa klaim elektronik (pengajuan klaim hingga verifikasi dan persetujuan klaim otomatis berbasis teknologi informasi), serta meningkatkan koordinasi dengan instansi lain untuk menuju kota sehat dan ramah anak. Langkah inovasi dengan memanfaatkan dana CSR dan pelampauan kompensasi KLB serta peningkatan kemitraan perlu dilakukan demi penghematan anggaran dan mengalihkan anggaran ke sektor-sektor yang belum tertangani sampai saat ini.

 

Ikuti tulisan menarik Wendie Razif Soetikno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler