x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sungai Kita, Nadi Hidup Kita

Ketika banjir menerjang desa dan kota, baru kita teringat kepada sungai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

"Aku dibesarkan di kota ini, puisiku lahir di antara bukit dan sungai, memetik suaranya dari hujan, dan bagaikan kayu, membenamkan diri ke dalam hutan."

--Pablo Neruda (1904-1973)

 

Kita baru teringat pada sungai-sungai ketika banjir menyerbu kota dan desa, merobohkan rumah-rumah yang menghalangi laju air, dan mengirim lumpur cokelat serta segala rupa sampah. Kita baru berpikir tentang memberi jalan yang lebih lapang agar air mengalir jauh tanpa penghalang. Membuatnya kembali ‘normal’—begitu istilah yang kita pakai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi kita masih tetap lupa bahwa sungai punya asal-muasalnya. Kita menyebutnya hulu—tempat sungai memulai perjalanannya. Ketika banjir menyerbu kota, longsor mengubur desa, kita baru teringat kepada hulu—sumber air yang membasahi ladang, sawah, kebun, sumur-sumur rumah kita dan melengkapi syarat bagi kehidupan makhluk, apapun jenisnya.

Kita bukan tidak tahu bahwa hulu yang ditebang pepohonannya akan membuat air tidak tertahan di sana. Kita bukan tidak mengerti bahwa limbah rumah, pabrik, kayu, ranting, maupun limbah apa saja akan merusak ekosistem sungai. Kita bukan tidak paham bahwa sedimentasi akan mendangkalkan sungai. Kita bukan tidak mengerti bahwa sungai yang tercemar akan merusak kehidupan di hilir.

Kita tahu semua itu, tapi kita tidak tergerak untuk mencegahnya—sebab jarak antara pikiran di kepala dan niat baik di hati begitu jauh. Bahkan mungkin lebih jauh dan lebih panjang ketimbang jarak hulu sungai dan hilirnya yang mengarus ke laut. Kita mungkin mengerti betapa pentingnya sungai bagi kehidupan—hidup tanaman, hewan, maupun hidup kita manusia. Tapi, jarak antara pikiran dan hati mengapa demikian jauh.

Kita menuruti hasrat untuk menambang rupa-rupa material dan membiarkan limbahnya merasuki arus sungai. Kita membiarkan limbah kimia dari pabrik-pabrik dan rumah-rumah kita untuk mencemari air yang memberi kehidupan bagi diri kita sendiri. Bukankah ini tak ubahnya meminum racun yang kita seduh sendiri? Mungkin bukan sejenis sianida yang langsung menerbangkan kita ke alam baka, tapi sejenis racun yang merusak tubuh kita perlahan-lahan—bahkan merusak pikiran kita.

Ketika musim hujan deras tiba, kita teringat kepada sungai yang tak mampu menampung air—perut sungai sudah penuh, dan sungai-sungai memuntahkan kelebihan air beserta sampah dan limbah, mengembalikannya kepada kita. Ketika musim kemarau, kita lupa untuk menengok hulu, tempat sumber kehidupan berasal. Kita enggan menanam kembali pepohonan, malas mengolah limbah agar tidak mencemari air sungai dan membunuh makhluk-makhuk yang hidup di dalamnya, tetap bebal membuang sampah apa saja ke dalam sungai. Kita tak pernah merawat sungai-sungai, sekalipun mereka telah menghidupkan kehidupan kita. Kita menelantarkan sungai-sungai. Kita tak lagi memancing, tak lagi menangkap belut, tak lagi bisa berperahu di dalamnya.

Andaikan kita sadar, sungai adalah nadi hidup kita. Ketika kita mencemari sungai dengan limbah, kita sesungguhnya tengah menuangkan racun ke dalam pembuluh darah kita. Ketika kita menimbun sampah ke dalam sungai, kita sedang menimbun kotoran ke dalam nadi kita. Ketika kita mendangkalkan sungai-sungai, kita sedang menyumbat nadi kita sendiri. Ketika pembuluh nadi kita sepenuhnya tersumbat, matilah kita. Di saat itu, teringat kepada sungai tidak lagi punya arti. (Foto: tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB