Pilkada Ibu Kota: Persoalan Etnis dan Tantangan Berdemokrasi

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pilkada DKI pada 2017 ini diprediksi berlangsung seru. Tak hanya visi dan misi. Lagi-lagi, persoalan etnisitas menguji cara kita berdemokrasi.

Pilkada merupakan momen penting bagi Indonesia sebagai demokrasi terbesar ketiga di dunia. Kontestasi politik di tingkat lokal ini memberi peluang besar bagi lahirnya pemimpin populer sekaligus berkualitas. Namun, menarik dicermati, bagaimana persoalan etnis menjelang kompetisi berdemokrasi itu dimulai.

Pelapisan Sosial Sejak Dulu

Ada teladan menarik tentang nyali atau keberanian. Teladan itu tak jauh dari bangsa kita. Ketika itu, di Ende, sebuah wiayah di Pulau Flores, Bung Karno diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1933. Di hadapan opsir pemerintah kolonial, Bung Karno menunjukkan sikap anomalinya sebagai seorang inlander (pribumi): kaki kanannya diangkat dan berpangku di atas kaki kirinya. Lalu tangan kanannya dinaikkan menopang sandaran kursi. Sikap tersebut adalah bukti keberanian pada masa itu. Ia menjawab setiap pertanyaan si opsir bule itu tanpa gagap. Adegan itu direka ulang dalam film berjudul Ketika Bung di Ende pada 2013 lalu.

 Seorang inlander atau pribumi, seperti Bung Karno, sudah sepatutnya berlaku tunduk pada penguasa, baik itu raja-raja lokal hingga para pejabat kolonial Hindia Belanda. J.S Furnivall menggambarkan pelapisan masyarakat di era kolonial dengan cukup jelas. Furnivall menjabarkannya dengan bentuk piramida. Lapisan teratasnya, yang sempit dan mengerucut, diisi oleh orang-orang Eropa berkulit putih yang berorientasi budaya Barat. Lapisan berikutnya, yang berada tepat di bawah warga Eropa adalah kelompok keturunan Asia atau Timur Asing, baik itu China, India, maupun keturunan Arab. Lapisan menengah bawah kemudian diisi secara berturut-turut oleh kaum priyayi dan pamong praja, lalu rakyat biasa di bagian terbawah.

Stratifikasi sosial kolonial ini tidak saja menciptakan kesenjangan dalam akses pendidikan, kesehatan, dan keistimewaan lain. Selain perbedaan akses hidup layak tadi, masyarakat yang berbeda kelas akan hidup dalam kerikuhan sosial (social awkward). Si kaum biasa akan selalu berlaku “santun” kepada ndoro-nya, sebaliknya, sang tuan merasa bisa menguasai orang-orang di bawahnya.

Di dalam masyarakat Jawa, kelas sosial diperjelas dengan penggunaan bahasa yang bertingkat sebagai penanda kelas: inggil, madya, dan ngoko. Dalam masyarakat berkelas, setiap individu secara tidak sadar memilih bahasa yang digunakan untuk lawan bicara yang berbeda. Orang biasa, misalnya, akan menggunakan bahasa kromo inggil untuk berkomunikasi dengan lawan bicaranya yang berstatus priyayi.

Hubungan antara kaum priyayi atau pangreh praja dengan lapisan tertinggi yaitu kaum kulit putih (bangsa Eropa) juga penting dilihat. Sejarawan, Ong Hok Ham (2001) menjelaskan bahwa kaum priyayi cenderung menjadi subordinasi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kehidupan priyayi akan semakin modern jika mampu mengikuti gaya hidup Londo, seperti menenggak minuman keras, memelihara anjing, dan tidak agamis.

Kelas sosial juga terjadi di Bali, melalui sistem kasta atau lebih dikenal dengan Caturwangsa. Pelapisan itu terdiri dari Brahmana atau golongan rohaniawan di tingkat tertinggi, lalu Satria yaitu kelas bangsawan atau raja, Waisya atau kasta pedagang dan pegawai pemerintah, dan terbawah Sudra yang berprofesi sebagai petani.

Sama halnya dengan pelapisan sosial di Jawa, sistem kasta di Bali juga menarik dicermati. Di era kolonial Hindia Belanda, seperti dijelaskan oleh Geoffrey Robinson dalam bukunya Sisi Gelap Pulau Dewata (2005),  bahwa posisi penting dalam pemerintahan memang terbuka bagi kasta di lapisan bawah dengan mempertimbangkan kemampuan administratif atau pendidikannya. Namun, lanjut Robinson, mereka yang mengalir darah biru di nadinya jauh lebih berpeluang dan mendapat sokongan sosial yang lebih besar.

Kerikuhan sosial tak dapat dipungkiri terjadi dalamkehidupan bermasyarakat di Bali. Namun, sistem kasta ini mengalami transformasi yang mengikuti semangat zaman. Misalnya, pada 1951, DPRD Bali sudah menghapus larangan perkawinan “antarkasta” yang merugikan “Kasta” bawah seperti Sudra. 

Bung Karno sebagai model inlander  yang menolak tunduk adalah sosok yang memiliki dua darah: Jawa dan Bali. Artinya, Bung Karno memiliki latar belakang budaya yang sangat kental dengan pelapisan sosial. Ia bukan inlander pertama yang “mendongakkan” kepalanya di hadapan Hindia Belanda.  Sebut saja Tirto Adhi Surjo, Mas Marco Kartodikromo, hingga HOS Tjokroaminoto.

***

Pelapisan kelas sosial tak selesai meski Indonesia memasuki fase kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Di tengah persoalan kelas yang belum selesai, transisi demokrasi menghinggapi negeri ini pada tahun 1999. Rezim Orde Baru yang berkuasa selama tiga dekade tumbang. Pola pemerintahan terpusat yang dijalani Orde Baru bertahun-tahun dikaji kembali. Hubungan pusat-daerah yang ideal pun terus dikaji hingga otonomi daerah bergulir hingga hari ini.

Hubungan pusat-daerah tidak saja soal otonomi daerah. Pemilihan Umum yang berkualitas adalah dambaan publik yang dikekang untuk waktu yang lama, terutama dalam konteks memilih kepala daerahnya sendiri.

Sejak 2005 diselenggarakanlah Pemilihan Kepala Daerah Langsung, baik itu di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Hasilnya, tentu bisa diperdebatkan. Tak sedikit gubenur, walikota, dan bupati yang tersangkut berbagai kasus, termasuk korupsi. Namun, tak jarang pula gubernur, walikota, dan bupati yang dianggap sukses memberi perubahan positif di daerah yang dipimpinnya.  Namun, kepala daerah kini bisa menempatkan dirinya pada posisi tawar yang lebih tinggi.

 

Soal Etnis dan Tantangan Berdemokrasi di Pilkada Ibu Kota

Jakarta sebagai barometer Indonesia selalu riuh menjelang pemilihan gubernur. Dimulai sejak 2007, keriuhan berlanjut ke 2012. Menariknya, pemilihan gubernur kali ini dihiasi oleh kandidat lintas etnis yang mengacu pada pelapisan sosial Hindia Belanda dulu. Tiga calon orang nomor satu Ibu kota sudah resmi mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum setempat. Mereka adalah petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Sjaiful Hidayat, Anies Baswedan-Sandiaga Uni, dan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.

 Petahana, Ahok, adalah keturunan etnis Tionghoa yang pernah menjadi Bupati Belitung Timur. Anies Baswedan, mantan menteri pendidikan, berdarah Arab yang merupakan cucu dari Abdurrahman (AR) Baswedan, nasionalis dan pejuang kemerdekaan. AR pernah duduk dalam BPUPKI, badan persiapan kemerdekaan Republik, juga menjabat menteri muda penerangan di awal kemerdekaan. Sosok ketiga, adalah Agus Harimurti, sulung dari Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam darah mantan perwira TNI berpangkat mayor ini  mengalir darah Sarwo Edhi Wibowo –yang dikenal sebagai Komandan RPKAD di tahun-tahun genting 1965. Agus beretnis Jawa.  

Pemilu di alam demokrasi adalah kompetisi terbuka yang bisa diikuti oleh siapa pun, asal memenuhi syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang. Di Ibu kota, kompetisi dalam demokrasi ini akan diikuti oleh tiga kandidat yang berasal dari etnis yang berbeda. Seperti sebuah perang, serangan “darat”, laut”, dan “udara” sudah dilakukan sejak dini. Persoalan etnisitas adalah titik tembak yang akan dilakukan oleh pendukung calon, baik dalam kampanye hitam atau kampanye negatif.

Pada akhirnya, pemenang pesta demokrasi Ibu kota adalah ia yang dipilih oleh sebagian besar publik Jakarta nanti. Sekadar catatan, sejarah prasangka etnis adalah cerita lama yang selalu berulang. Kolonial Hindia Belanda sukses menancapkan rekayasa sosial itu hingga abad milenia bagi eks-koloninya. Tantangan berdemokrasi kita akan diuji. Apakah kita masih percaya, bahwa ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’ (vox populi vox dei), demikian bunyi kalimat yang diperkenalkan Alcuin, pujangga dan tokoh pendidik  yang hidup abad ke-7. Slogan ini lalu dipopulerkan oleh William of Malmesbury pada abad ke-8. Kita lupa, bahwa banyak orang mengutip kalimat ‘vox populi vox dei’ sepotong-sepotong. Sejatinya, Alcuin menulis kalimat itu lebih panjang dari yang selama ini terlanjur populer. Uraian latinnya:‘Nec audiendi qui solent dicere, Vox populi, vox Dei, quum tumultuositas vulgi semper insaniae proxima sit. ' Dalam terjemahan Inggrisnya: And do not listen to those who keep saying, 'The voice of the people is the voice of God.' because the tumult of the crowd is always close to madness’.' Dan jangan dengarkan mereka yang senantiasa berujar, “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan”, karena kekacauan sebuah kerumuman sungguh dekat dengan kegilaan.”

Semoga Pilkada Ibu Kota, jauh dari kerumunan yang menggila....

 

sumber foto: Volksraad members in 1918: D. Birnie (Dutch), Kan Hok Hoei (Chinese), R. Sastro Widjono and M.N. Dwidjo Sewojo (Javanese). Credit: Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Multisemesta Bernama Indonesia

Selasa, 21 Mei 2019 21:24 WIB
img-content

Memaknai Kekalahan dalam Demokrasi

Senin, 20 Mei 2019 14:28 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler