x

Foto Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa angkatan 66 dari Universitas Indonesia. Istimewa/Dok Pribadi Josi Katoppo

Iklan

Istiqomatul Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Soe Hok-Gie: Nyali Besar dari Tubuh Kecil

Aksinya mempengaruhi kelompok diskusi kecil. Dijuluki Cina Kecil yang gesit masuk ke kelompok manapun.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dengan bersusah payah, Aristides Katoppo berusaha mengingat Soe Hok-gie, sahabatnya yang tewas dalam pendakian bersama di Gunung Semeru, pada 16 Desember 1969. Ia terdiam lama dan menghela napas. “Hok-gie itu salah satu dari sedikit intelektual tapi juga man of action. Dia punya leadership di lapangan,” katanya saat ditemui di rumahnya, pertengahan September lalu.

Bekas Pemimpin Redaksi Sinar Harapan itu kerap mendampingi sahabat dekatnya yang minta diantar ke tempat demonstrasi, 50 tahun lalu. Dari cerita Aristides, Hok-gie, yang lahir pada 17 Desember 1942 itu, kerap mengungkapkan kegelisahannya atas situasi perekonomian yang kian mencekik rakyat. Hok-gie pun gusar dengan hilangnya kebebasan berpendapat dengan diterapkannya demokrasi terpimpin.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam Catatan Seorang Demonstran, Hok-gie meyakinkan teman-temannya, seperti Ismid Hadad dan Nugroho Notosusanto agar mahasiswa mulai bertindak. “Kalau rakyat terlalu melarat, mereka akan bergerak sendiri. Kalau ini terjadi maka akan terjadi chaos.”

Cerita hampir serupa mengalir dalam tulisan Jopie Lasut berjudul Menyongsong Hari Kebangkitan Mahasiswa 10 Januari Sekali Lagi Soe Hok-gie yang dimuat di Sinar Harapan pada 8 Januari 1970. Jopie menuliskan pada 2 Januari 1966, Hok-gie bersama aktivis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, Boeli Londa mendatangi rumahnya.  “Kita harus bertindak cepat dengan ikut memberikan ide-ide serta mengarahkan massa.”

                                                ***                                                                                                                               

Rentetan aksi demonstrasi mahasiswa pada 1966 tak bisa dilepaskan dari peran dan pergerakan Hok-gie, yang dijuluki Cina Kecil oleh teman-temannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Peran dia bukan sentral seperti halnya Mar’ie Muhammad, Cosmas Batubara, Fahmi Idris, David Napitulu, dan Sofjan Wanadi, yang disebut para jenderal Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia itu.

Ketua KAMI Jaya, Marsilam Simanjuntak menuturkan,  secara resmi, Hok-gie tidak banyak berperan. “Dia gak dimana-mana karena dia gak punya saluran resmi,” kata Marsilam pada awal September lalu. “Ide-idenya tersalurkan melalui saya.”

Hal ini diakui Hok-gie dalam catatannya berjudul Saya Bukan Wakil KAMI (Zaman Peralihan). “Saya tak punya ormas,” katanya saat diundang  Kedutaan Amerika Serikat berkunjung ke negeri itu selama 75 hari. Apalagi, ia tak suka KAMI, yang berisi kumpulan organisasi ekstra mahasiswa underbow partai politik. “Bagi Hok-gie, mahasiswa tak seharusnya berpolitik praktis,” kata Aristides.

Hok-gie, kata Ismid, lebih suka terlibat dalam kelompok-kelompok diskusi kecil untuk menyebarkan gagasannya. Pada kelompok yang lebih besar, yakni Grup Diskusi UI, Ismid, Hok-gie, Arief Budiman, Aristides, dan Sjahrir kerap membincangkan cara keluar dari kepengapan politik saat itu.

Dari kelompok-kelompok diskusi itulah,  para mahasiswa merancang aksi. Hok-gie, Jopie, Boeli, dan Herman Onesimus Lantang menggerakkan aksi mahasiswa Sastra dan Psikologi UI. Mereka antara lain memimpin long march Salemba-Rawangun beberapa kali. Dalam kesempatan lain, Hok-gie merancang aksi bersepeda untuk membuat kemacetan dan menarik perhatian orang. .

Meski tak menyukai organisasi massa ekstra kampus, menurut Aristides, Hok-gie memiliki kelebihan yang tak banyak dimiliki orang lain. “Dia punya akses ke HMI, PMKRI, pimpinan KAMI, bisa berdebat dengan sangat percaya diri, dan mendapat pintu bertemu Rektor UI,” ujarnya.

Kelincahan Hok-gie ini membuatnya leluasa bergerak kemana-mana. Termasuk menjadi penghubung antara KAMI Jakarta dan Bandung yang kurang akur. “Aktif kasak-kusuk kanan kiri, bisa masuk ke kelompok mana pun,” ujar Ismid Hadad, juru bicara KAMI.

                                                            ***

Lewat tulisan-tulisannya yang  dimuat di Sinar Harapan, Kompas, Indonesia Raya, Harian KAMI dan Mahasiswa Indonesia, Hok-gie menyebarkan gagasan dan mengungkapkan kegusaran hatinya.

Menurut Hok-gie, perjuangan mahasiswa bukan sekadar menurunkan harga bensin, tapi juga menegakkan keadilan dan kejujuran. Jika mahasiswa mundur dalam pergulatan sekarang, maka akan kalah untuk selama-lamanya,. ( Catatan Seorang Demonstran, 13 Januari 1966). 

Dalam tulisan Hok-gie yang lain, ia mengritik para jenderal KAMI  yang menerima tawaran sebagai anggota DPR-GR. Ia bersikap sinis terhadap eksponen 1966 yang sibuk memperebutkan mobil Holden ketimbang mewakili rakyat. Kekecewaan itu ia lampiaskan dengan mengirimkan cermin, gincu, dan bedak kepada 13 temannya di DPR-GR agar mempercantik diri saat menjilat penguasa Orde Baru. Saat itu, perspektif gender belum menjadi isu sensitif.

Aristides yang saat itu menjabat sebagai Redaktur Pelaksana Sinar Harapan menuturkan, ia kerap meminta Hok-gie menulis situasi sosial. “Saya ingin mendapatkan perspektif yang segar.” Menurut dia, tulisan Hok-gie itu bisa mencerminkan refleksi zaman. “Dulu, wartawan kebanyakan partisan sedangkan Hok-gie itu bisa melihat sejarah dan sangat independen.”

 

Majalah Tempo edisi khusus Gie dan Surat-surat yang Tersembunyi, 10-16 Oktober 2016

 

Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler