x

Iklan

aniek

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Siaran Pers Solidaritas Perempuan Anging Mammiri

RDPU Komisi A DPRD Propinsi Sulsel: MEMPERTANYAKAN HGU PTPN XIV UNTUK KONSESI PERKEBUNAN DI KABUPATEN TAKALAR

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

RDPU Komisi A DPRD Propinsi Sulsel: MEMPERTANYAKAN HGU PTPN XIV UNTUK KONSESI PERKEBUNAN DI KABUPATEN TAKALAR

Makassar, 10 Oktober 2016. Solidaritas Perempuan Anging Mammiri kembali meminta salinan dokumen Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV untuk konsesi perkebunan di Kabupaten Takalar, kali ini kepada BPN Propinsi Sulawesi Selatan yang disampaikan melalui surat tertanggal hari ini. Dokumen HGU ini terakhir dimintakan kepada Kantor BPN Kabupaten Takalar melalui surat tertanggal 9 September 2016, namun belum mendapatkan respon hingga surat ini dikirimkan. Hal ini juga menindaklanjuti Rapat Dengar Pendapat Umum yang diselenggarakan oleh Komisi A DPRD Propinsi Sulawesi Selatan minggu lalu. Kesimpangsiuran informasi mengenai SK HGU, luasan HGU dan jangka waktunya menjadi salah satu faktor pemicu konflik yang berkepanjangan di Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar. 

Pada 3 oktober 2016 lalu bertempat di Lantai 3, Ruang Rapat Komisi A gedung Tower DPRD Propinsi Sulawesi Selatan, dilakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), dihadiri oleh HAM. Yagkin Padjalangi (Ketua Komisi A), Muh. Jafar Sodding (Wakil Ketua Komisi A), Hj. Andi Tenry Sose (Anggota Komisi A), Hasdullah (staf ahli Gubernur Sulawesi Selatan), Biro Umum dan Humas Pemprov Sulsel, 4 orang perwakilan PTPN XIV Kabupaten Takalar, Solidaritas Perempuan Anging Mammiri dan 25 orang perwakilan petani, perempuan dan laki-laki dari Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar.RDPU ini kembali membahas mengenai persoalan dan permasalahan yang dihadapi petani, perempuan dan laki-laki di kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar yang bersengketa dengan PTPN XIV Takalar serta mendesak adanya penyelesaian terhadap konflik tersebut. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Konflik ini merupakan konflik berkepanjangan antara warga 11 desa di Kecamatan Polongbangkeng Utara dengan PTPN XIV Takalar yang tidak juga kunjung usai hingga hari ini. Solidaritas Perempuan Anging Mammiri bersama perwakilan petani, perempuan dan laki-laki, mengangkat berbagai persoalan yang muncul dalam konflik ini, mulai dari proses pembebasan lahan yang dilakukan secara paksa tanpa melibatkan masyarakat pemilik lahan, kesimpangsiuran informasi mengenai HGU PTPN XIV, intimidasi dan kekerasan oleh aparat, hingga dampak yang dialami masyarakat sejak hadirnya PTPN XIV. Warga hanya terinformasi bahwa HGU PTPN XIV adalah 25 tahun dengan luasan 4.500 Ha, yang mana seharusnya berakhir setelah 25 tahun sejak perusahaan melakukan penggusuran lahan warga dan mulai melakukan aktivitas penanaman di tahun 1981/1982. Namun, dokumen HGU tersebut sampai hari ini belum pernah dilihat oleh warga, apalagi kalau ada perpanjangannya. “Sejak awal proses pembebasan lahan itu, memang dari fakta yang kami temukan sudah mengalami persoalan. Karena dalam proses pembebasan lahan ini tidak melibatkan masyarakat dalam proses pengukuran dan proses penaksiran ataupun penetapan nilai ganti rugi atas tanah yang digarap oleh PTPN. Informasi yang tidak jelas, dalam hal ini peta HGU, titik lokasi, jangka waktu dari tahun berapa sampai tahun berapa itu yang kemudian sampai hari ini tidak pernah diperlihatkan dan masyarakat itu tidak tahu.”, ungkap Nur Asiah, Ketua Solidaritas Perempuan Anging Mammiri dalam RDPU tersebut. Ia mempertanyakan mengenai ketidakterbukaan informasi dari pihak Pemerintah karena tidak mau mengeluarkan Dokumen HGU yang merupakan dokumen informasi publik. 

Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa. “berbagai macam upaya yang dilakukan oleh masyarakat petani di Kecamatan Polongbangkeng Utara untuk mendapatkan kembali haknya, untuk mendapatkan kembali tanahnya, namun justru masyarakat diperhadapkan dengan intimidasi dan kekerasan, karena pemerintah dan perusahaan melibatkan TNI dan Brimob dalam upaya bagaimana kemudian mengamankan lahan perusahaan. Pemerintah justru tidak memberikan solusi penyelesaian yang adil bagi masyarakat. Nah, dampak dari tidak adanya sumber-sumber ekonomi, tidak adanya lahan yang dapat mereka garap karena sudah diambil secara paksa yang kemudian masyarakat terutama perempuan, terpaksa beralih profesi yang tadinya petani menjadi buruh tani yang tadinya petani harus menjadi buruh bangunan, baik laki-laki maupun perempuan.

Sejak tahun 1980 proses pembebasan lahan dilakukan secara paksa oleh pihak perusahaan, di mana sebagian besar masyarakat yang tidak sepakat untuk mengontrakkan lahannya justru diancam oleh Pemerintah agar mereka keluar dari kampungnya. Seperti yang di sampaikan oleh Perwakilan Desa Lassang Barat bahwa “Kalau kita mau berbicara persoalan dulu (awalnya PTPN masuk di Takalar) pemerintah keliling desa menyampaikan bahwa PTPN meminta tanah untuk di pajak selama 25 tahun. Tahun 1981 surat-surat tanah rakyat di kumpul ke pemerintah, kalau tidak mau dikumpul rakyat disuruh keluar dari kampung”. Warga yang merasa bahwa haknya terlanggar kembali berupaya merebut kembali tanahnya setelah lebih 36 tahun dikuasai oleh PTPN XIV. Ditambah lagi dengan tidak adanya peningkatan kesejahteraan yang dialami oleh masyarakat sejak PTPN XIV, bahkan warga semakin miskin karena kesulitan mencari penghidupan sejak lahannya dirampas. 

Semenjak PTPN XIV menguasai 4.500 hektar lahan warga kecamatan Polongbangkeng Utara, berdampak bagi kehidupan warga khususnya petani perempuan yang tidak lagi memiliki lahan dan terpaksa beralih profesi. Salah seorang perwakilan perempuan petani asal Kelurahan Parang Luara, mengatakan “sekarang saya sudah tidak bisa bertani karena lahan saya sudah di ambil pihak perusahaan tanpa ada ganti untung, jadi sekarang saya menjadi buruh bangunan dan angkat semen, karena hanya itu yang bisa saya kerjakan. Mau kerja yang bagus-bagus tidak bisa juga karena saya hanya tamatan SD, tidak sama seperti bapak semua”. Disamping itu, perempuan petani beralih profesi menjadi Pedagang Kaki Lima, PRT, Buruh bangunan, Buruh tani di lahannya sendiri dan bahkan bermigrasi kerja ke luar negeri. 

Di sisi lain, pihak PTPN XIV juga mengatakan bahwa HGU mereka akan berakhir pada 2022 dan menganggap persoalan konflik dan permasalahan warga sudah selesai dengan adanya kerja sama antara PTPN XIV dengan Bupati atas lahan seluas 125 Ha yang akan dikelola oleh Pemkab dengan memberdayakan petani melalui program TR (Tebu Rakyat-red), “Sebetulnya masalah-masalah dengan saudara-saudara kami di Takalar ini sudah terselesaikan, yang ditangani bupati kami di Takalar. Nah, diputuskanlah oleh Pak Bupati bersama direksi kami untuk menyerahkan lahan kepada koperasi Cinta Damai Sejahtera. Bukan diserahkan pak ya, dikerjasamakan sebanyak 125 Ha. Khusus untuk Takalar, sertifikat HGU kami sampai tahun 2022.” ungkap Johannes Pardede dari PTPN XIV. Namun, ketika dipertanyakan di dalam RDPU tersebut, dari 25 perwakilan petani yang hadir, mengaku tidak ada yang terlibat dalam kerja sama yang dimaksud. Sayangnya pihak Pemerintah Kabupaten Takalar dan BPN Takalar tidak hadir dalam RDPU ini walau telah diundang oleh Komisi A. Sedangkan Pihak BPN Propinsi Sulsel, yang diwakili oleh Gunawan Hamid, hanya mengatakan bahwa PTPN XIV sudah punya status HGU. Namun, tidak dijelaskan secara khusus luasan maupun jangka waktu HGU tersebut. Lebih lanjut menanggapi permintaan dokumen HGU yang tidak juga dikeluarkan oleh BPN, Gunawan mengatakan bahwa, “dokumen HGU tidak terbuka secara bebas, ada tahapan. Jadi kita ajukan saja permohonan, kalau dipenuhi kan dikasih. Menyurat saja, selesai.”, tegasnya. 

Komisi A sendiri menganggap bahwa persoalan ini belum selesai dan berjanji akan menindaklanjuti RDPU ini, terutama karena Pemkab dan BPN Takalar tidak hadir. “Komisi A sendiri menganggap masalah ini belum selesai dan pada saat akan datang kami akan tetap memanggil Bupati. Kegiatan ini pending dulu sambil tetap meminta Bapak Gubernur untuk menyikapi, tetapi untuk menindaklanjuti pertemuannya nanti setelah pemilihan Bupati. Kalau disini saya cuma menghimbau bahwa ada hak masyarakat ini untuk dapat hidup, untuk dapat haknya dari pemerintah Kabupaten Takalar, dengan pendekatan melalui Bapak Gubernur ke pemerintah Kabupaten Takalar.” ungkap Yagkin Padjalangi, Ketua komisi A DPRD Sulsel. 

Menanggapi hasil RDPU tersebut, Ketua Solidaritas Perempuan Anging Mammiri menyatakan, “Kami akan terus memantau dan mendesak tindak lanjut komitmen untuk sampai pada proses penyelesaian konflik yang adil bagi masyarakat petani di Takalar, terutama perempuan. Dan kami akan terus mendesak keterbukaan informasi dari pihak Pemerintah terkait konsesi perkebunan di Takalar, mulai dari dokumen HGU ini hingga kesepakatan-kesepakatan yang dibuat Pemerintah dengan PTPN XIV. Melalui surat yang kami kirimkan hari ini, Kami menagih janji BPN Propinsi untuk mengeluarkan dokumen HGU PTPN XIV, termasuk kalau ada perpanjangannya. Dokumen HGU ini kan sebenarnya merupakan dokumen publik, jadi seharusnya tidak dipersulit. Adalah hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jelas, lengkap dan akurat.” tegas Nur Asiah. 

 

Aniek

Perempuan aktivis 

Ikuti tulisan menarik aniek lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler