Di negeri ini, dokumen penting bisa hilang begitu saja. Itu yang terjadi pada dokumen Supersemar. Itu pula yang terjadi pada dokumen laporan akhir Tim Pencari Fakta (TPF) Kematian Munir.
Senin lalu, 10 Oktober 2016, Komisi Informasi Pusat mengabulkan gugatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan memaksa pemerintah lewat Kementerian Sekretariat Negara membuka laporan TPF kasus meninggalnya aktivis HAM, Munir Said Thalib, kepada publik.
Tapi, Sekretariat Negara malah mengklaim tak memiliki dokumen. Padahal, menurut para anggota TPF, telah diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Juni 2005. Klaim yang sama datang dari Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI.
Lantas dimana dokumen itu berada? Ini sejumlah pihak yang seharusnya menyimpan dokumen atau salinan dokumen tersebut:
1. Lembaga Kepresidenan
Pada 23 Juni 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima laporan akhir kerja setebal 100 halaman dari Tim Pencari Fakta. Satu bulan berikutnya, juru bicara Kepresidenan, Andi Mallarangeng, menyatakan tidak ada keharusan bagi Presiden untuk mengumumkan tindak lanjut hasil temuan tersebut. Pada 13 Juli 2005, laporan TPF belum juga diumumkan kepada publik oleh Presiden SBY.
2. Sekretaris Kabinet
Mantan Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi, dalam sidang sengketa informasi kasus kematian Munir pada 19 September 2016, mengaku tidak menerima salinan dokumen TPF. Dalam pertemuan terakhir antara presiden dan TPF, Sudi mengatakan ada bundelan dalam map yang diserahkan oleh Ketua TPF kepada presiden. "Barangkali itu laporan dari TPF Munir," kata Sudi.
Yusril Ihza Mahendra, yang juga pernah menjabat Menteri Sekretaris Negara pada era Presiden Yudhoyono, membantah Setneg menyimpan dokumen kematian Munir. "Dokumen itu tidak diserahkan ke Setneg, melainkan langsung ke Presiden," ujarnya, Rabu lalu.
3. Tim Pencari Fakta
Mantan Sekretaris Tim Pencari Fakta, Usman Hamid, mengatakan Presiden Yudhoyono telah menerima laporan akhir hasil pencarian fakta sekaligus ringkasan eksekutif-nya. "Laporan akhir terdiri atas dua dokumen, laporan akhir tim pencari fakta kasus meninggalnya munir dan ringkasan eksekutif," kata Usman, dalam Sidang Sengketa Informasi di KIP, 2 Agustus lalu. Menurut Usman, ia membawa 5-7 eksemplar dokumen saat bertemu dengan Yudhoyono di Istana Negara pada 23 Juni 2005.
Kalau pemerintah punya political will untuk mengungkap kasus ini, lembaga kepresidenan seharusnya membuka saja dokumen tersebut.
KORAN TEMPO | EVAN | PDAT
Ikuti tulisan menarik Iwan Kurniawan lainnya di sini.