x

Presiden Joko Widodo bersama Menteri BUMN Rini Soemarno dan Gubernur Papua Lukas Enembe meninjau Gardu Induk Waena - Sentani berkapasitas 20 mega volt ampere di Kabupaten Sentani, Papua, 17 Oktober 2016. Aditya Budiman/Tempo

Iklan

Neles Tebay

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Seperti Santos, Jokowi pun Bisa~Neles Tebay

Presiden Santos memilih negosiasi sebagai cara untuk mengakhiri konflik dengan FARC.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Neles Tebay

Koordinator Jaringan Damai Papua

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemerintah Kolombia di bawah kepemimpinan Presiden Juan Manuel Santos berhasil mengakhiri konflik pemerintah Kolombia versus Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia/FARC). Konflik yang berlangsung selama lima dekade ini telah menyebabkan 220 ribu orang tewas, 45 ribu hilang, dan 6,8 juta orang kehilangan tempat tinggal. Konflik yang dimulai sejak 1964 ini diakhiri dengan penandatangan pakta damai oleh Presiden Santos dan Komandan FARC Timoleon Jimenez, yang populer dipanggil Timochencho, pada 26 September 2016 di Havana, Kuba.

Presiden Santos memilih negosiasi sebagai cara untuk mengakhiri konflik dengan FARC. Ketika terpilih sebagai Presiden Kolombia pada 2010, dia berinisiatif untuk menjalin perundingan rahasia dengan para pemimpin FARC. Pada 2012, pemerintah dan FARC memulai secara formal perundingan damai. Dalam periode pertama Santos sebagai presiden, upaya negosiasinya belum membuahkan hasil.

Setelah terpilih sebagai presiden untuk periode kedua pada 2014, Santos melanjutkan negosiasi hingga berhasil mencapai kesepakatan damai pada tahun ini. Dibutuhkan enam tahun untuk mencapai kesepakatan bersama yang tertuang dalam pakta perdamaian sebanyak 298 halaman. Tiga perundingan sebelumnya berakhir dengan kegagalan.

Mengambil pelajaran dari peristiwa penandatangan pakta perdamaian antara pemerintah Kolombia dan FARC, kita yakin bahwa, jika di negara itu konflik selama 52 tahun bisa diselesaikan melalui negosiasi, konflik Papua yang berumur 53 tahun pun dapat diakhiri dengan cara serupa. Presiden Joko Widodo bisa mengakhiri konflik Papua melalui negosiasi dengan Gerakan Perlawanan Papua yang direpresentasikan oleh Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua/ULMWP).

Jokowi mempunyai dasar yang kuat untuk memulai proses negosiasi dengan ULMWP. Pertama, besarnya perhatian Presiden terhadap Papua yang diakui semua pihak. Hal ini tecermin dalam komitmennya untuk mengunjungi Papua tiga kali per tahun serta upaya mempercepat pembangunan ekonomi dan infrastruktur di Provinsi Papua dan Papua Barat. Rakyat Papua juga tahu bahwa Presiden Jokowi ingin mengakhiri konflik Papua.

Kedua, besarnya dukungan dari rakyat Indonesia. Presiden Jokowi dipilih langsung secara demokratis oleh rakyat. Inilah modal dan kekuatan utama bagi Presiden Jokowi tanpa perlu takut digulingkan hanya karena berinisiatif melakukan negosiasi dengan ULMWP. Rakyat akan melindungi dan membela presiden pilihan mereka. Jika ada yang ingin mengguncang kepemimpinan Presiden Jokowi karena tidak menyetujui upaya penyelesaian konflik Papua melalui negosiasi, mereka akan berhadapan dengan kekuatan dari rakyat Indonesia dari Sabang hingga Merauke.

Ketiga, besarnya dukungan legislatif. Pemerintahan Jokowi didukung oleh mayoritas anggota DPR RI. Tujuh partai politik telah bersatu dalam koalisi partai pendukung pemerintah, yakni PDIP, NasDem, PKB, Hanura, PPP, Golkar, dan PAN. Dengan dukungan dari tujuh partai itu, DPR akan memberikan dukungan penuh terhadap upaya negosiasi ini.

Keempat, kuatnya dukungan dari Papua. Rakyat Papua sudah lama mendambakan penyelesaian konflik secara damai. Maka, inisiatif Presiden Jokowi untuk bernegosiasi dengan ULMWP akan didukung penuh oleh berbagai pihak di Papua, seperti pemerintah daerah, parlemen Papua dan Papua Barat, Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat, tokoh agama, tokoh adat, akademikus, perempuan, serta pemuda.

Kelima, tidak mempunyai beban masa lalu. Presiden Jokowi tidak mempunyai beban dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah sebelumnya, seperti pendekatan keamanan dan berbagai bentuk pelanggaran HAM di tanah Papua. Hal ini memudahkan dia untuk memulai proses negosiasi dan memungkinkan pihak Papua, termasuk ULMWP, menyambut gagasan negosiasi yang ditawarkan pemerintah.

Atas dasar lima faktor di atas, Presiden Jokowi bisa menyelesaikan konflik Papua melalui proses negosiasi dengan ULMWP. Maka, langkah pertama yang perlu diambil oleh Presiden adalah mengangkat seorang pejabat yang bertugas secara khusus menangani penyelesaian konflik Papua, termasuk urusan negosiasi. Presiden dapat mengikuti perkembangan proses negosiasi melalui pejabat ini.

Mesti dipastikan bahwa pejabat tersebut mempunyai pemahaman yang benar dan menyeluruh atas konflik Papua, bukan orang yang mengetahui konflik Papua secara parsial. Proses negosiasi antara pemerintah dan ULMWP tidak harus berlangsung selama enam tahun seperti di Kolombia. Kita berharap justru dapat berakhir lebih cepat.

Apabila proses negosiasi berhasil mengantar pemerintah dan ULMWP mencapai kesepakatan dan menandatangani pakta damai, nama Presiden Jokowi akan terukir dengan tinta emas dalam lembaran sejarah Indonesia. Masyarakat Indonesia akan mengingat Jokowi sebagai presiden yang mampu mengakhiri perlawanan gerakan separatis selama 53 tahun.

Bukan hanya masyarakat Indonesia, dunia pun akan mengakui upayanya dalam mengakhiri konflik Papua melalui negosiasi. Maka, bukan sesuatu yang luar biasa dan tidak perlu heran apabila upaya negosiasi ini nantinya mengantar Jokowi sebagai pemenang Hadiah Nobel Perdamaian.

Ikuti tulisan menarik Neles Tebay lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler