Dicari: Strategi Pengentasan Kemiskinan yang Inklusif

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tantangan pengentasan kemiskinan ke depan, bagaimana agar akses terhadap sumber daya alam dan layanan dasar dapat dinikmati secara setara.

Setahun kemarin, lebih dari setengah juta penduduk Indonesia berhasil keluar dari kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah warga negara Indonesia yang miskin pada Maret 2016 ialah 28 juta orang atau 10,9% populasi, turun dari 28,59 juta orang (11,2%) pada Maret 2015. Dengan kabar yang menggembirakan ini, kita patut bangga dengan kerja bahu-membahu pemerintah, masyarakat sipil, swasta, dan pemangku kepentingan lainnya dalam pengentasan kemiskinan.

Tantangan ke depan bukan hanya target Pemerintah untuk menekan jumlah penduduk miskin hingga 9,5% pada 2017, tetapi juga mengatasi dimensi lain kemiskinan, seperti akses terhadap sumber daya alam dan layanan dasar agar dapat dinikmati secara setara. Ini sejalan dengan indikator pengentasan kemiskinan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs) yang disepakati negara-negara sedunia. Dengan indikator ini, dibutuhkan strategi agar masyarakat dapat menikmati layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan , sekaligus berpartisipasi dan mengakses sumber daya.

Upaya pengentasan kemiskinan pemerintah sudah mulai bergerak ke arah peningkatan kapabilitas, seperti yang dilakukan melalui program-program berbasis pemberdayaan masyarakat desa. Dengan upaya tersebut, tata kelola program seharusnya memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan dan pengawasan program.  

Meski terdengar ideal, sayangnya, upaya ini tidak berada dalam situasi yang ideal. Dalam masyarakat, dinamika sejarah, sosial-budaya dan ekonomi seringkali tidak berpihak pada kelompok yang paling rentan, seperti perempuan dan masyarakat adat. Walau sudah ada banyak program pemberdayaan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup perempuan desa diampu oleh berbagai pihak, aspek akses dan partisipasi sepertinya masih belum terintegrasi. Pengalaman dari negara lain seperti Haiti dan Ghana, menyimpulkan pemberian modal usaha, bibit, dan kredit belum dapat mendongkrak status ekonomi perempuan desa, jika mereka tidak bisa mengakses pasar dan meningkatkan rantai nilai komoditas. Partisipasi dan kepemimpinan perempuan desa juga menjadi penting ketika banyak proses penyusunan legislasi di tingkat desa, semisal yang berhubungan langsung dengan tata kelola lahan, tidak menyertakan mereka. Aspek partisipasi yang bermakna inilah titik sentral dari inklusi, salah satu tema Hari Pengentasan Kemiskinan Internasional yang jatuh pada 17 Oktober.

Masih belum terpadukannya akses dan partisipasi kelompok rentan, bisa jadi karena praktik-praktik baik dan pembelajaran mengenai integrasi tersebut belum dikelola dengan baik, tersebar pada program yang dilaksanakan berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, masyarakat madani dan mitra pembangunan. Adapun piranti untuk mengintegrasikan inklusi sosial dan kesetaraan gender dalam upaya pemberdayaan masyarakat untuk pengentasan kemiskinan perlu digunakan lebih optimal.

Dalam salah satu kajian mitra Millennium Challenge Account – Indonesia, misalnya, perempuan petani cokelat kerap menjadi sasaran penerima manfaat pelatihan. Namun apakah pelatihan kapasitas produksi dan sertifikasi mampu menaikkan perekonomian rumah tangga? Apakah perempuan petani tidak kemudian termiskinkan karena mereka harus juga melakukan tugas-tugas rumah tangga? Adakah lembaga kolektif yang bisa meningkatkan akses terhadap pasar dan partisipasi dalam pembuatan keputusan seperti penjualan dan manajemen produksi? Pertanyaan-pertanyaan ini diharapkan terjawab saat menggunakan inklusi dan kesetaraan sebagai pisau analisis, yang menghasilkan fondasi penting bagi strategi pengentasan kemiskinan yang inklusif.

Investasi pembangunan yang lestari semestinya bersifat inklusif, melibatkan sebanyak mungkin pihak dan memberi manfaat optimal bagi mereka. Investasi seperti ini bisa dan telah dilakukan, dengan aspek inklusi terintegrasi dari hulu hingga ke hilir. Di hulu, rancangan program selayaknya didasari oleh analisis menyeluruh yang memadukan aspek inklusi dan kesetaraan. Pada pelaksanaan program, para penerima manfaat terlibat penuh. Misal, dalam penentuan batas desa, para penduduk, termasuk perempuan dan masyarakat adat, aktif berpartisipasi. Pada pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas, kemampuan pekebun dan petani kecil ditingkatkan, sehingga kesejahteraannya pun membaik. Adapun di hilir, masyarakat ikut terlibat dalam pengawasan dan evaluasi program.

Meski contoh yang diberikan hanya setitik air di tengah samudera realitas yang kita hadapi, terkadang hal-hal seperti ini terlupakan dalam penyusunan program pengentasan kemiskinan. Di sinilah justru aspek-aspek partisipasi dan inklusi menjadi bagian penting. Aspek-aspek ini harus didukung pula oleh piranti analisis, konsultasi dengan kelompok rentan, dan investasi yang cukup untuk desain program yang inklusif.

Ketika inti dari persoalan kemiskinan bukan sekedar mengurangi angka penduduk miskin, tapi menaikkan partisipasi dan akses, maka inklusi dan kesetaraan memerlukan pemikiran dan investasi yang lebih strategis. Dengan begitu, kita bersama-sama dapat bekerja dan berkontribusi terhadap tujuan nasional untuk mengentaskan kemiskinan.

(Dwi Yuliawati-Faiz, Direktur Inklusi Sosial dan Gender, Millennium Challenge Account – Indonesia)

Bagikan Artikel Ini
img-content
MCA Indonesia

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler