x

Ulama Imbau Umat Islam Tidak Mudah Dihasut

Iklan

Qaris Tajudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pluralisme Bertentangan dengan Islam?

Seorang anggota MUI menyatakan bahwa pluralisme bertentangan dengan nilai Islam. Benarkah demikian, atau beliau salah dalam memahami makna pluralisme?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari Minggu lalu (16 Oktober 2016) saya menonton sebuah acara keagamaan di televisi. Sebagian besar waktu acara itu berisi ceramah dari seorang atau beberapa ustad terkenal. Di sela-sela acara, ada cuplikan keterangan dari Kyai Didin Hafidudin. Sebagai salah seorang anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kyai Didin memberitahukan tentang tiga paham yang menurutnya bertentangan dengan ajaran atau nilai-nilai Islam.

Yang mngejutkan adalah saat dia menyatakan bahwa salah satu paham yang oleh MUI dianggap bertentangan dengan nilai Islam adalah pluralisme. Saya terkejut, karena setahu saya hal ini tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sejalan dengan sejumlah ayat dalam Al-Quran.

Keheranan saya terjawab saat Ustad Didin mulai menerangkan makna pluralisme yang dia maksud dan kenapa hal itu oleh MUI dianggap bertentangan dengan Islam. Menurutnya, pluralisme itu paham yang menganggap semua agama sama dan setara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Padahal, dalam Al-Quran dan hadits ada banyak ayat dan pernyataan Nabi yang menyatakan bahwa Islam itu berbeda dengan agama lain, bahkan lebih tinggi. Dengan demikian, pluralisme bertentangan dengan nilai Islam, karena menyuruh kita menganggap Islam sama dengan agama lain, padahal Islam mengatakannya berbeda.

Jika merujuk keterangan Ustad Didin saja, mungkin tidak ada yang aneh. Kejanggalan pernyataan ini ada justru pada pemaknaan pluralisme.  Makna pluralisme yang Ustad Didin nyatakan jauh berbeda, bahkan berbalik 180 derajat dengan pemahaman saya tentang pluralisme. Karena khawatir saya yang salah, saya pun mencoba meriset makna pluralisme atau pluralism, dalam bahasa Inggris.  

Saya memilih untuk mencari makna kata itu dalam bahasa Inggris, karena dari sanalah bahasa Indonesia mengambilnya.

Kamus Merriam-Webster memberi dua pengertian soal pluralism. Pertama, sebuah situasi di mana orang-orang yang berbeda kelas sosial, agama, ras, dll tinggal bersama dalam sebuah masyarakat, tapi dapat melanjutkan tradisi mereka yang berbeda.

Kedua, pluralism adalah keyakinan bahwa orang-orang yang memiliki perbedaan kelas sosial, agama, ras, dll harus bisa hidup bersama dalam masyarakat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pluralisme berarti keadaan masyarakat yang majemuk.

Makna pluralisme, baik di bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia, ternyata kurang lebih sama dengan arti pluralisme yang selama ini saya pahami. Dan pemahaman ini jauh berbeda, bahkan terbalik dengan yang dipahami oleh Kyai Didin dan MUI.

Pluralisme ada bukan untuk membuat semua agama jadi sama. Pluralisme datang justru untuk menghormati perbedaan. Asal katanya saja plural atau majemuk, lebih dari satu.

Paham ini dikembangkan di Barat setelah mereka sadar bahwa mereka tak lagi hidup di masyarakat yang homogen, masyarakat Barat bukan lagi terdiri dari orang kulit putih Nasrani. Mereka kini hidup bersama orang yang berbeda ras (kulit hitam, Asia, Arab, dll) dan berbeda agama (Islam, Hindu, Budha, dll). Agar bisa hidup harmoni, masyarakat perlu saling menghargai dan memberi kesempatan kepada kelompok lain (meski minoritas) untuk menjalankan keyakinan mereka yang berbeda.

Jadi, pluralisme datang justru untuk menjamin perbedaan dihargai, bukan untuk memaksaan penyamaan. Dalam pluralisme, yang Islam menjalankan ajaran Islamnya, yang Kristen menjalankan  ajaran Kristennya, dan lain sebagainya. Ini sejalan dengan ayat dalam surat Al-Kaafiruun: lakum diinukum wa liya diin. Untukmu agamamu dan untukku agamaku.

Satu-satunya kesamaan dalam pluralisme adalah: semua ras, semua agama, semua kelas sosial, sama di depan hukum. Ini untuk menjamin tidak adanya diskriminasi. Sama di depan hukum artinya, memiliki hak yang sama untuk menjalankan ajarannya. Dengan adanya pluralisme inilah orang Islam di Amerika Serikat bisa mendirikan masjid, dan seorang Muslim di Inggris bisa menjadi walikota London. Tanpa adanya keyakinan akan pluralisme, hal itu tidak akan terjadi.  

Di Indonesia, pluralisme itu adalah Bhineka Tunggal Ika. Bhineka artinya beragam, plural artinya beragam. Tidak ada bedanya.

Jadi agak aneh kalau MUI sampai menganggap pluralisme bertentangan dengan nilai Islam. Agak aneh jika MUI menganggap bahwa pluralisme itu meyakini bahwa semua agama sama.

Kenapa MUI, seperti yang dikatakan Ustad Didin, memiliki pemahaman tentang pluralisme yang keliru? Entahlah. Sebagai sekumpulan ulama (jamak dari alim, orang yang berilmu) seharusnya mereka mengecek arti kata ini dari berbagai kamus. Pastikan dulu apa maknanya, baru buat pernyataan. Ini hal sederhana yang bisa kita lakukan kapan saja.

Jika membuat keputusan atau pernyataan yang tidak didasari pada riset, ya jatuhnya akan keliru bahkan bisa memalukan.

Atau mungkin mereka punya kamus sendiri yang menerjemahkan pluralisme seperti itu. Kalau pun punya kamus sendiri, seharusnya mereka melakukan tarjih, mencari makna terkuat dengan membandingkannya dengan berbagai pendapat.

Sekali lagi, yang saya komentari di sini adalah pemahaman yang salah tentang makna pluralisme.

Saya khawatir, dan semoga kekhawatiran ini salah, kekeliruan ini disengaja oleh kelompok-kelompok yang ingin menghancurkan persatuan di Indonesia, persatuan yang dipupuk dari menghargai perbedaan, persatuan yang dasarnya adalah kebhinekaan.

 

 

Ikuti tulisan menarik Qaris Tajudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB