(ILustrasi: amaholuqen ...)
Nusantara terus dimacam-macami tiap saat dan masih selamat, kehidupan sospolekbudhankam terus bergulir saat banyak elite bangsa dan klik-kliknya di semua tingkat telah terbukti menjadi bandit-bandit dengan martabat kemanusiaan amat rendah.
Keajaiban? Samasekali tidak. Itu fakta sebab akibat belaka, karena “politik” (politik-politikan) sukses memanipulasi politik. Kenyataan itu telah, sedang, dan masih berlangsung di negara kita. Jika disebut keajaiban, itu keajaiban mengerikan, mengganggu akal sehat. Artinya, kita semua perlu kepekaan membedakan “politik” dari politik.
Juga, terus menerus perlu diwaspadai “demokrasi” (demokrasi-demokrasian) telah sukses menjungkir-balikkan demokrasi sehingga banyak elite yang meski dicurigai menjadi Durna atau Dursasana bisa tetap terus maju untuk menjadi calon-calon penguasa di semua tingkat dan sektor. Kewaspadaan itu mutlak mengingat Indonesia itu ibarat Amarta, wajarnya secara keseluruhan dikuasai para Pendawa. Kenyataan, sebagian amat besar Indonesia masih saja dimanipulasi sehingga berhasil dikuasai para Kurawa.
Itu semua bisa dan terus terjadi sebab “politik” telah bersekutu dengan “demokrasi” sehingga momentum Reformasi tidak pernah mampu secara adil menghukum dosa-dosa tiga pilar kekuasaan politik Orbaisme ialah Golkar, PDI (Golkar bentuk lain), dan PPP (Golkar wajah lain). Logis jika sikon obyektif itu lalu memperanakkan komedi, disebut partai-partai, yang tidak lebih cuma perkakas kaum oportunis. Itulah genesis kelahiran “partai” alias partai-partaian di masa pascareformasi.
Dahsyat akibatnya. Sebagian amat besar kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan mekanisme politik berfondasi “partai-partai” itu, amat sulit melahirkan produk-produk politik dan demokrasi yang benar, selain melahirkan pasar obral “politik” dan “demokrasi” yang vulgar.
Artinya, khalayak umum telah terjebak manipulasi sehingga sukar membedakan barang busuk dari barang segar, sulit memilah mana kebrengsekan dan mana kewajaran, tak mampu membayangkan oleng-kemoleng bahtera negara diamuk keganasan badai, saat menonton pendulum politik nasional yang jungkat-jangkit asyik tebar pesona.
Pendulum itu penuh sesak dengan hiruk-pikuk kalimat-kalimat dan kata-kata kosong. Misalnya: konvensi partai untuk presiden. Beliau belum mengamini tawaran dari orang nomor satu di partai. Hahaha jadi panglima jika Hohoho tak maju menjadi calon. A calon terkuat. Pasangan A dan B paling didamba publik. Pihak partai telah menduetkan sejumlah pasangan calon. C dinilai baik untuk calon dari militer. D dibanding E, wah, jauuh. Humpipah tokcer jadi calon wakil. Elektabilitas A, B, C sampai dengan Z terus meningkat melangit menyentuh bintang.
Dan seterusnya.
Deret panjang kalimat dan kata-kata kosong itu semakin banyak, bising, membuat pekak telinga dan logika nalar wajar pingsan. Tapi, siapa mampu menjelaskan, itu semua adalah apa, siapa, bagaimana, kapan, di mana, dan mengapa yang harus dibuka dengan benar dan sejujur-jujurnya?
Gunung Merbabu, Oktober 2016
Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.