x

Iklan

Faza Syahriza Mutahajjad

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belajar Menikmati dan Memahami Bangsa Indonesia

Tiga ciri di atas hanyalah sebuah refleksi pemikiran bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang unik & tak sesederhana masyarakat dunia pada umumnya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seperti biasa, aku sangat bersemangat ketika menulis segala hal tentang bangsa Indonesia. Terutama ketika mengomentari masyarakat kita yang menggemaskan, lucu  dan terkadang diluar dugaan. Sebaliknya, aku justru tak terlalu tertarik untuk membahas Indonesia dalam bingkai pemerintahan, terkecuali pada keadaan mendesak ibarat seorang pasien kritis yang membutuhkan oksigen dengan segera. Alasannya singkat, pemerintahan kita pada zaman ini sudah aku anggap bagaikan pasien rumah sakit yang telah mengalami koma selama bertahun-tahun, menghabiskan biaya yang sangat besar tetapi tak kunjung meninggal dunia. Diberi berpuluh-puluh tabung oksigen pun tak akan membuat masalah selesai. Pasien itu sudah tidak membutuhkan oksigen lagi, yang dibutuhkan hanyalah uluran tangan malaikat Izrail secepatnya.

Pada paragraf di atas, secara tersirat aku mengatakan bahwa masyarakat Indonesia masa ini memiliki tiga ciri utama. Pertama, Indonesia memiliki masyarakat yang sangat menggemaskan. Biasanya, kata menggemaskan hanya layak disematkan pada bayi yang baru lahir, batita dan balita. Sisanya, tak semua orang sepakat memberi gelar menggemaskan pada manusia yang sudah berada di atas usia lima tahun. Apalagi untuk masyarakat sebesar Indonesia, gelar menggemaskan tentu akan menimbulkan banyak polemik.

Namun aku punya alasan yang sangat kuat untuk memberi masyarakat kita gelar menggemaskan tersebut. Bayangkan saja, seorang pengangguran kelas kakap yang telah menganggur lebih dari lima tahun, setiap pagi masih mampu menghisap rokok kreteknya sembari mengangkat kaki dan menikmati kopi buatan istrinya. Seakan tak ada rasa gundah atau kekhawatiran sedikit pun di dalam hatinya. Menurutku, tingkatan keyakinan mereka sudah sangat tinggi. Di dalam tasawwuf mereka telah mencapai maqam tajrid, yaitu seseorang yang telah meninggalkan sebab. Mudahnya, tanpa sebab bekerja, mereka masih yakin Tuhan akan memberikan rezeki kepadanya. Namun bedanya, sufi memilih tajrid karena sibuk bermanja-manjaan dengan Tuhan, sementara masyarakat kita terpaksa tajrid karena alasan yang mereka rahasiakan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kejadian ini mungkin hanya akan ditemukan di negara yang merasa sudah merdeka hanya karena secarik kertas proklamasi yang dibacakan oleh Ir Soekarno dan Muhammad Hatta. Baginya, merdeka hanyalah sebatas kata-kata yang akan membangkitkan semangat ketika diteriakkan di depan para pendemo. Padahal secara hakikat, pendemo itu sendiri masih buta terhadap arti merdeka secara mendalam. Fenomena pengangguran ini tentu akan membuat para istri merasa gemas dengan kelakuan suaminya. Maka dengan ini aku sahkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia resmi mendapat gelar menggemaskan.

Kedua, masyarakat Indonesia adalah masyarakat terlucu sedunia. Bagaimana tidak, banjir yang telah merendam hampir setengah dari rumahnya tak kunjung membuat mereka merasa terganggu. Lucunya lagi, mereka justru telah mempersiapkan sebuah papan di loteng rumah yang berfungsi untuk menyimpan harta mereka agar tidak hanyut terbawa banjir. Tak ada sedikit pun keinginan untuk pindah ke tempat yang lebih layak. Mereka begitu ikhlas menerima cobaan Tuhan yang datang hampir setiap tahun. Dahsyatnya lagi, sebagian anak-anak mereka begitu menikmati rekreasi musiman yang hanya mereka temukan pada musim hujan. Banjir yang seharusnya dianggap sebuah bencana justru dimanfaatkan oleh anak-anak kecil sebagai kolam renang gratis, dan yang lebih tak kuasa membuatku menggeleng-gelengkan kepala adalah kehadiran tukang mainan dan jajanan di sekitaran banjir tersebut yang melengkapi pandanganku bahwa banjir adalah ajang rekreasi musiman bagi mereka. Fenomena ini terlihat semakin sempurna ketika ada seorang anak kecil yang tinggal di sebuah komplek sebelah perkampungan itu yang merengek-rengek kepada ibunya agar diperbolehkan berenang di area banjir tersebut.

Ciri-ciri terakhir yang akan aku kemukakan pada artikel ini adalah masyarakat Indonesia yang terkadang melakukan sesuatu di luar dugaan seperti tingkah laku sebagian besar warga yang begitu marah ketika surau di kampung mereka “diganggu” oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Padahal, pada waktu shalat berjamaah, jumlah pengunjung di surau tersebut tak pernah lebih dari tiga shaf. Ini merupakan sesuatu yang di luar dugaan. Terlebih ketika beberapa preman yang biasa minum-minuman keras tak jauh dari surau tersebut ikut marah dan membela kehormatan suraunya.

Tiga ciri di atas hanyalah sebuah refleksi pemikiran bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang unik dan tak sesederhana masyarakat dunia pada umumnya. Butuh pemahaman khusus untuk mengerti kondisi psikologi, karakter dan kebiasaan masyarakat Indonesia. Selain ketiga contoh di atas sesungguhnya masih sangat banyak fenomena tak terduga yang mencirikan keunikan bangsa Indonesia.

Di ujung tulisan yang terbatas ini, aku sangat mengerti bahwa semua kejadian-kejadian tersebut tak harus ditanggapi dengan serius. Ada beberapa fenomena yang tak perlu dirisaukan, cukup di syukuri dan dinikmati layaknya adegan komedi yang sesekali perlu ditampilkan dalam sebuah film agar tak membuat penonton jenuh. Setidaknya, biarlah Tuhan yang membereskan kebobrokan yang terjadi di negeri ini. Apalagi jika kita mengetahui bahwa ada seorang guru agama yang  mencabuli muridnya, banyak petani yang dibunuh hanya karena tak mau menjual sawahnya kepada pabrik semen, kondisi perbatasan yang semakin tak manusiawi, perdagangan manusia, tambang emas dan politik naga yang sedang seenaknya mengatur pemerintahan bangsa Indonesia, rasanya, permasalahan ini hanya layak diselesaikan oleh kekuasaan Tuhan.

Sebagai bagian dari bangsa ini, menurutku cukup jalani dan nikmati saja adegan-adegan yang telah dan yang akan Tuhan tayangkan di Indonesia sembari berharap suatu saat akan datang super hero yang Tuhan kirim demi menyelamatkan Indonesia dari keruntuhan. Selamat menikmati!

Ikuti tulisan menarik Faza Syahriza Mutahajjad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu