x

Warga Nadliyin mengikuti upacara Hari Santri di Tugu Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur, 22 Oktober 2016. Peringatan Hari Santri diikuti ribuan warga Nadliyin se-Surabaya. ANTARA FOTO

Iklan

Cak Mun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Peran Santri Menghadapi Paham Radikalisme

Melihat perkembangan radikalisme yang begitu masif, mau tidak mau santri harus menunjukkan peranannya sekali lagi dalam menghadapi tantangan zaman

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tidak dapat disembunyikan lagi,dalam beberapa dekade terakhir umat Islam mendapatkan sorotan yang cukup tajam dari beberapa pihak. Citra umat Islam yang sebelumnya dikenal santun, ramah, dan pemaaf semenjak era hidupnabi kita Muhammad S.A.W sampai pembebasan bersejarah kota Yerussalem dan Istambultercoreng oleh perbuatan tidak bertanggung jawab segelintir orang.

            Di Indonesia, umat Islam sempat mendapat sorotan beberapa media –yang notabene tidak menyukai agama Islam- usai peristiwa bom Bali satu. Namun bukannya berhenti, oknum-oknum tidak bertanggung jawab tersebut justru kembali melancarkan rentetan aksi serupa dalam kurun waktu tahun 2004 hingga 2009.

            Tindakan penghilangan nyawa orang yang tidak bersalah secara membabi buta dengan pengeboman di belbagai tempatsering diindikasikan sebagai salah satu buahdari paham radikalisme. Merujuk pada kamus besar bahasa Indonesia, radikalisme merupakan paham atau aliran yang menginginkan terjadi pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan cara kekerasan.

Tindakan-tindakan radikalseperti initerjadi bukannya tanpa sebab. Mengutip pendapat prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, ada beberapa teori yang menjadi faktor penyebab hal tersebut bisa terjadi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Teori yang pertama menyebutkan, radikalisme terjadi akibat kegagalan orang Islam dalam mengatasi arus modernisasi yang menghantam dari duniabarat. Arus ini semakin panas dengan serangan dunia barat terhadap ideologi Islam. Contohnya adalah cara pandang feminimisme. Arus modernitas barat menuntut kesetaraan mutlak antara laki-laki dan perempuan. Namun dalam Islam, jumlah bagian warisan laki-laki yang dua kali lipat dibandingkan bagian wanita dinilai oleh para feminis tidak setara sehinggatidak adil dan perlu diluruskan.

            Dalam bahasa prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, ketidakmampuan membendung arus tersebut membuat mereka mencari dalil-dalil agama untuk menghibur diri dalam dunia yang dibayangkan belum tercemar. Namun ternyata tidak cukup sampai di situ. Dipicu oleh pemikiran sempit, pada akhirnya agama dan dalil-dalilnya dijadikan sebagai alat untuk melegimitasi  tindakan tidak terpuji mereka.

Teori lain mengatakan, faktor utama pemicu gerakan radikal semacam ini disebabkan oleh dorongan rasa tidak puas golongan tertentu terhadap pemerintah. Belum berhasilnya negara mewujudkan cita-citanya dalam menciptakan kesejahteraan sosial secara menyeluruh disinyalir menjadi penyebab utama. Namun selain itu, moral dan tingkah lalu pejabat publik yang menyeleweng dari harapan founding fathers bangsa dalam pancasila –sila kedua juga tidak bisa dikesampingkan.[1]

Ketidakpuasan publik ini memicu keinginan terjadinya revolusi besar-besaran dalam berbagai bidang. Mulai dari ekonomi, sosial hingga tatanan politik. Indonesia sendiri seolah tidak mau belajar dari sejarahkelam yang terjadi saat usia kemerdekaan masih sebiji jagung.

Pada tahun 1948, ketidakpuasan publik dalam bidang sosial dan politik membuat R.M. Kartosoewirjo menggalang kekuatan untuk membelot dari negara kesatuan republik Indonesia. Pembelotan ini terjadi akibat kekecewaan atas kekalahan diplomatis Indonesia dalam perjanjian Renville. Penarikan TNI divisi Siliwangi dari Jawa barat menambah rasa sakit hati yang mendalam bagi masyarakat kala itu. Singkat kata, Kartosoewirjo dan pengikut-pengikutnya yang menganut paham radikalisme melakukan tindakan non-kooperatif terhadap pemerintahan sah republik Indonesia.

Dewasa ini, gerakan semacam R.M. Kartosoewirjo dan bom Bali sudah tidak tampak di publik. Namun alih-alih menghilang, gerakan dari paham radikalisme berubah menjadi terstrukur dalam skala yang lebih global. ISIS menjadi rumah ideologi yang memposisikan diri untuk mendukung paham tersebut. Maka tidak heran, simpatisan-simpatisan yang terlanjur kecewa dan putus asa dengan realitas kehidupan dan problem yang terjadi di negara  berbondong-bondong menggabungkan diri dengan kelompok ini.[2]

Tidak bisa dipungkiri, paham radikalisme yang dibungkus rapi dengan dalil-dalil agama sangat menarik bagi kaum awam. Ayat-ayat yang memerintahkan untuk berperang, membunuh dan lain sebagainya disalah gunakan dan digunakan seenaknya secara dzohir tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan nabi Muhammad S.A.W . Maka, di sinilah peran santri sebagai golongan yang belajar agama Islam secara masif sangat vital.

Gie dalam sebuah catatannya menggambarkan, kaum santri di masa penjajahanmerupakan kaum ortodoks. Mereka muncul di awal abad ke-16 hingga abad ke-17 ketika agama Islam berkembang pesat. Santri merupakan lawan politik untuk menandingi kaum aristokrat (priyayi) yang menjadi sekutu Belanda. Mereka adalah basis perlawanan umat Islam atas imprealismekala itu.[3]

Dengan ditetapkannya 22 Oktober sebagai hari santri nasional, secara tidak langsung pemerintah telah mengakui santri dan jasa-jasa yang sudah mereka berikan di masa lalu. Namun dengan melihat perkembangan paham radikalisme yang sedemikian aktif, mau tidak mau santri harus menunjukkan peranannya sekali lagi dalam menghadapi tantangan yang berpotensi memecah belah kesatuan umat.

            Peran utama santri dalam mencegah berkembangnya paham radikalisme adalah menanamkan pemahaman yang tepat terhadap masyarakat luas. Santri yang notabene belajar agama secara masif, sebisa mungkin memberikan pengertian bahwa islam adalah agama kasih sayang. Selain itu, dialog antara tokoh santri dan tokoh radikal harus terus diupayakan dan dibudayakan agar membuka wawasan dan pemikiran mereka.

Beberapa ayat yang dinilai sensitif mengenai tema jihad harus diterangkan secara lengkap dan tidak hanya sepotong-sepotong. Telaah kitab-kitab berhaluan kanan seperti  fi dzilali qur’an karya Sayyid Qutb dibuat seseimbang mungkin. Di sisi lain, kajian kitab kontemporer yang meluruskan kitab tersebut semisal al-haq al-mubin fi al-radd man tala’aba bi al-din milik Dr. Usamah Sayyid Al-Azhary juga harus digalakkan sebagai buku diktat pembelajaran santri.

Akhir kata, keberadaan paham radikalisme memang mengancam terjadinya tindak kekerasan dan hal-hal yang tidak diinginkan. Maka dari itu, keberadaannya merupakan tantangan bagi kaum santri dan seluruh masyarakat yang menginginkan kehidupan damai. Santri bersama pemerintah merupakan ujung tombak pencegah berkembangnyapaham radikalisme semakin luas. Namun semua kembali pada hati nurani masing-masing untuk menjawab pertanyaan ini, "perlukah melakukan tindakan kekerasan demi tercapai sebuah perubahan?”

 

Oleh : Munandar Harits Wicaksono* 

aktif di Dewan Pers Universitas AlAhqaff, Tarim, Yaman juga di PCINU Yaman danPPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia). 

 


[1] Kyai Haji Abdurrahman Wachid, Ilusi Negara Islam : Ekspansi Gerakan Islam, Jakarta: PT. Desantara Utama Media, 2009, hal. 8-9

[2] Bambang Imam Eka Respati, Tesis ; Lajur Kanan Sebuah Jalan Dinamika Pemikiran dan Aksi Bintang Bulan, hal. 52

[3] Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, ,Yogyakarta: yayasan Bentang Budaya , 2009, hal. 63

Ikuti tulisan menarik Cak Mun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB