x

Seorang peserta demo membawa Alquran saat turun jalan untuk menyerukan Bela Islam di Jalan Pahlawan Semarang, 4 November 2016. Massa menuntut aparat kepolisian untuk mengawal proses hukum yang dilakukan Basuki Cahya Purnama alias Ahok soal penistaan

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Agama yang Baik dan Benar Menurut Saya

Banyak provokasi, kekerasan, dan pembunuhan di banyak tempat di dunia dengan mengatasnamakan agama, adalah ujian bagi kemuliaan agama terkait itu sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak aksi provokasi, kekerasan, ancam-mengancam, dan bunuh-membunuh di banyak tempat di dunia dengan mengatasnamakan agama, barangkali juga terjadi di Tanah Air, adalah ujian bagi kemuliaan agama terkait itu sendiri.

Masalahnya, meski bunuh-membunuh dan ancam-mengancam oleh nalar sehat  disebut biadab tetapi sejak zaman purba sampai kini masih tersedia dalil-dalil absurd membela sifat-sikap-laku biadab tersebut.  Mengapa dengan dasar akal sehat mengupas kekerasan (karena bela agama) selalu tidak cukup, selalu sia-sia, selalu membentur dinding besi fanatisme yang tidak masuk akal?

Juga, selalu dikatakan agama adalah sumber segala kebaikan. Nyatanya? Banyak tempat di dunia makin cemas oleh banyak konflik karena ajaran agama. Apakah manusia itu ada demi ajaran agama atau ajaran agama itu ada demi manusia?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jadi, hari-hari ini agama-agama menghadapi masalah dari luar dan terutama dari dalam. Menurut akal sehat, masalah intrinsik terdasar agama adalah: hal-hal mulia (berkat, rahmat, damai, bahagia, cinta, surga, selamat, pahala dll), dan hal-hal tercela (setan, neraka, dosa, kafir, hukuman kekal, kutuk, dll) dalam agama-agama senyata-nyatanya hanya kata-kata manusia apapun predikatnya yang ditampung dalam berbagai sarana ungkapan peradaban semisal kitab suci, tradisi, dll.

Juga, di dalam kitab suci agama apapun, dengan dasar peradaban kemanusiaan yang wajar berbasis akal sehat, akan selalu bisa ditemukan pesan-pesan yang benar-baik-rasional dan pesan-pesan yang salah-buruk-irasional.

Karena itu, peradaban kemanusiaan yang wajar semestinya menjadi "konstitusi" universal yang berlaku mutlak bagi seluruh umat manusia apapun agamanya, tidak beragama, dan apapun SARA dan kewarganegaraannya.

"Konstitusi" universal tersebut banyak sekali. Menghadapi hal-ihwal mendasar agama-agama saat ini bisa dirumuskan paling sedikit sepuluh "konstitusi" berikut.

Pertama, agama bukan hanya soal ritual-dogma-tradisi dengan segala ikutannya tetapi entitas di mana manusia bisa merefleksi diri apakah hidupnya berarti dan berguna bagi sesama. Agama adalah tentang berbagi nilai-nilai yang baik dan benar antar sesama manusia, berangkat dari anggota keluarga sendiri di mana saling mencintai selalu tersedia. Maka agama semestinya menjadi oase bermiliar keluarga di seluruh dunia hari-hari ini yang terpuruk dalam kecemasan karena banyak kesulitan dalam kehidupan sehari-hari yang nyata.

Kedua, pesan keselamatan dalam banyak agama selalu berdasar kesederhanaan, kerendah-hatian, dan pengharapan di mana penderitaan sebagai keniscayaan tugas manusia harus dijalani dengan ikhlas sehingga tanda-tanda kemuliaan agama hadir nyata di dunia. Tanda terpenting kemuliaan agama adalah kedamaian yang bukan sekedar tidak ada konflik. Kedamaian adalah stabilitas. Pekerjaan, kesehatan, perumahan, hubungan pribadi, lingkungan politik dan ekonomi yang stabil, itu didambakan semua orang di dunia. Demi tujuan-tujuan inilah agama ada.

Ketiga, penderitaan manusia sebagai bagian kesederhanaan, kerendah-hatian, dan pengharapan dalam agama adalah kelahiran cahaya kemanusiaan yang sangat berharga. Korelasi negatif duniawi membuat cahaya ini redup, gelap, sampai mati. Ia perlu dihidupkan agar bersinar lagi oleh semua umat beragama dengan gotong royong. Jadi, agama-agama bersifat saling menyelaraskan bukan mempertajam perbedaan, saling membuka diri bukan saling membangun batas, dan kehendak bersatu untuk menyelesaikan masalah bersama apapun.

Keempat, agama tercerahkan apabila tetap (kembali jika pernah menyimpang sebab agama selalu terkait sejarah yang tidak selalu putih) berdasar peradaban kemanusiaan. Dengan ini secara ontologis agama-agama memandang keburukan di dunia nyata sebagai keniscayaan sisi lain kebaikan, sebagai subjek bagian diri, bukan obyek dan bukan musuh. Dengan ini agama sebagai rahmat hadir menampilkan sifat transendennya ialah mampu mengelola konflik menjadi dialog sebagai pendasar peradaban kemanusiaan. Ini memang krusial ketika dunia saat ini terpuruk dalam krisis total di mana pelanggaran HAM, perang, ketidak-adilan struktural, fragmentasi sosial, dan banyak hal negatif lain amat marak.

Kelima, agama-agama sebagai pencerahan adalah kisah abadi tentang korelasi dialektika nalar dengan perasaan yang menginformasikan ambiguitas individu (otonomi-korelasi, tubuh-jiwa, aktualitas-potensi, dll) dan ambiguitas semua nilai dunia sebagai keniscayaan. Seluruh ambiguitas itu, oleh agama, diselaraskan.

Keenam, agama sebagai entitas suci saat ini adalah bagian perjuangan panjang selama berabad-abad. Dengan sifat eskatologis-spiritual dan sifat duniawinya agama-agama telah berusaha menampilkan hidup dan ajaran para tokohnya sebagai tanda bahwa kehadiran Sang Mahakasih dan solidaritasNya terhadap umat manusia adalah nyata. Dengan ini diharapkan umat beragama selalu hidup berdampingan satu sama lain sebagai sesama manusia apapun SARAnya.

Ketujuh, agama adalah cara tanggungjawab manusia menanggapi hadirat Yang Suci sebagai anugerah yang menawarkan iman = cinta = pengharapan.

Kedelapan, dalam era globalisasi-komunikasi, agama adalah ajakan untuk kembali ke fitrah ketika teknologi wahyu, elektronika iman, sibernetika teologi dengan seluruh karakter profan-virtual-bikinannya acapkali berantakan di depan politik dan ekonomi (kekuasaan dan uang sebagai Tuhan) di mana hal-hal buruk dan jahat merajalela. Ini bisa mengasingkan insan dari misteri nilai kemanusiaannya yang suci, benar, dan sejati. Jadi, inti agama adalah undangan agar kepura-puraan kembali ke jati diri di mana hidup nyata adalah hidup baru "selalu bersama Tuhan" yang menawarkan kemungkinan tak terbatas.

Kesembilan, agama adalah media-sarana-jembatan antar manusia agar manusia satu sama lain terhubung menjadi teman dan saudara sebab fitrah semua manusia pada dasarnya sama. Ini terjadi jika iman tidak terpuruk menjadi "iman" yang tersandera doktrin, aturan, dan dogma-dogma beku yang irasional. "Iman" tidak mampu menghadapi tantangan dan perubahan zaman yang kompleks, lalu main mekanisme defensif kasar-dangkal yang merugikan iman sendiri.

Kesepuluh, dengan semangat kemanusiaan (agama demi manusia dan bukan sebaliknya), para pengikut agama-agama tercerahkan apabila sifat-sikap-laku mereka dalam kehidupan sehari-hari menyejukkan. Mereka tidak mempertajam kubu-kubu melainkan menampung kebhinekaan alias pluralitas sebagai fakta kehidupan insani yang tidak bisa ditolak.

 

Gunung Merbabu, Nopember 2016

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu