Belakangan ini beredar pandangan bahwa proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok harus dihentikan karena tidak sesuai dengan Surat Edaran Peraturan Kapolri Nomor SE/7/VI/2014 yang diteken Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti.
Ahli hukum pidana Faisal Santiago, misalnya, kepada Antara menyatakan sebaiknya penyidik Polri menangguhkan penanganan kasus dugaan penistaan agama terhadap Ahok hingga usai pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2017. Faisal menyatakan Kapolri Jenderal Tito Karnavian harus berpijak sesuai Surat Edaran tadi.
Surat Edaran itu mengatur bahwa seluruh laporan terhadap calon kepala daerah, termasuk wali kota, bupati dan gubernur, yang menjadi terlapor saat memasuki tahapan Pilkada dan masa pendaftaran harus ditangani selesai Pilkada.
Baca juga:
Kasus Al Maidah 51, 6 Alasan Ahok Tak Akan Dipenjara
Penangguhan pada Pilkada Serentak 2015
Pada saat Pilkada Serentak 2015, Kapolri Badrodin Haiti bahkan menyatakan bahwa setiap calon kepala daerah yang tersangkut masalah hukum dan menjadi peserta Pilkada Serentak 2015 akan ditangguhkan proses hukumnya. "Ini sudah diputuskan dalam rapat terbatas mengenai Pilkada, jika ada kepala daerah atau calon kepala daerah yang diproses hukum maka penyidikannya ditangguhkan," kata Badrodin (CNN Indonesia, Selasa, 11 Agustus 2015).
Menurut Badrodin, penangguhan tersebut bukan berarti penyidikan kasusnya berhenti, tapi prosesnya ditangguhkan sampai Pilkada 2015 selesai. Bahkan, kata dia, penangguhan kasus terhadap peserta Pilkada juga diterapkan di lembaga penegak hukum yang lain, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kasus Wali Kota Risma
Tapi, nyatanya, kepolisian tidaklah konsisten. Bila pada 11 Agustus 2015 keputusan penangguhan itu telah keluar, seharusnya kasus Tri Rismaharini tidak terjadi. Risma adalah Wali Kota Surabaya yang maju kembali dalam Pilkada 2015. Saat itu Polda Jawa Timur tengah mengusut kasus pemindahan kios Pasar Turi yang diduga melibatkan Risma.
Pada bulan September, Kapolri Badrodin Haiti menyatakan perkara yang sudah masuk ke tahap penyidikan tersebut dihentikan untuk sementara waktu. Alasannya ialah untuk mencegah kegaduhan sebelum pemilihan kepala daerah serentak pada akhir 2015. Tapi, pada bulan Oktober muncul berita bahwa Risma ditetapkan sebagai tersangka.
Belakangan, Badrodin mengklarifikasi bahwa Risma bukanlah tersangka tapi "diduga dilakukan Risma". Saat ini, kata dia, status Risma masih dalam proses pemeriksaan (Okezone, Senin, 26 Oktober 2015). Artinya, meskipun sudah masuk tahapan Pilkada, toh, kasus Risma ini tetap diselidiki. Penangguhan tidak terjadi dan Surat Edaran tidak dijalankan.
Baca juga:
Ahok dan Fanatisme ~ Soe Tjen Marching
Kata Yenny Wahid tentang Demo 4 November
Surat Edaran Bukan Hukum
Kalau sebagian ahli hukum berkukuh bahwa proses hukum Ahok harus dihentikan karena tak sesuai dengan Surat Edaran, kita bisa bertanya, apakah Surat Edaran memang sebuah produk hukum yang memiliki kekuatan hukum, seperti undang-undang dan peraturan pada umumnya?
Tampaknya tidak demikian.
Kita bisa membandingkan masalah ini dengan masalah Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Rocky Marbun menjelaskan masalah ini dalam artikelnya, "Surat Edaran Kapolri: Serial Kegaduhan Hukum", bahwa surat edaran bukanlah produk hukum.
Menurut Rocky, surat edaran tersebut lebih tepat disejajarkan dengan petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang biasa dikeluarkan pejabat dan hanya mengikat secara internal. Menurut Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah, kata dia, ditegaskan bahwa surat edaran adalah naskah dinas yang memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak. Adapun Jimly Asshiddiqie mengklasifikasikan surat edaran ke dalam bentuk quasi legislation yang berisi norma-norma aturan yang bersifat administratif yang berfungsi sebagai petunjuk atau pedoman kerja.
Mungkinkah Proses Hukum Ahok Ditangguhkan?
Lantas, apakah proses hukum Ahok harus ditangguhkan atau tidak? Kalau kita sepakat menganggap Surat Edaran bukan produk hukum, maka penangguhan proses hukum terhadap peserta Pilkada tidak perlu dilakukan. Toh, pada kenyataannya proses hukum terhadap Ahok kini tetap berjalan. Pekan lalu Ahok telah diperiksa dan pekan ini gelar perkara akan dilakukan secara terbuka, sesuai perintah Presiden Jokowi.
Tapi, itu bukan satu-satunya kemungkinan. Perlu dipertimbangkan bahwa kasus Ahok akan menjadi contoh bagi kasus-kasus hukum peserta Pilkada lain. Artinya, semua calon wali kota dan wakilnya, bupati dan wakilnya serta gubernur dan wakilnya yang tersangkut masalah hukum harus juga diproses meskipun Pilkada telah berjalan. Dari 308 calon kepala daerah yang akan mengikuti Pilkada di 101 daerah, ada empat yang terjerat hukum. Tiga orang menjadi tersangka dugaan korupsi dan suap, satu orang menjalani hukuman percobaan atas perkara pencemaran nama baik. Proses hukum terhadap mereka sedikit-banyak akan mempengaruhi elektabilitas mereka dan pandangan calon pemilih terhadap mereka. Bisa jadi ini juga akan menimbulkan gejolak di masyarakat, terutama di kalangan pendukung para calon.
[*]
Ikuti tulisan menarik Iwan Kurniawan lainnya di sini.