x

Iklan

Anthomi Kusairi SH MH

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pungli Dalam Penafsiran Rezim

Pungutan Liar adalah kosa kata yang sering publik dengar, untuk menjelaskan OPP (Operasi Pemberantasan Pungli) yang dilakukan pemerintah beberapa bulan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Pungli Dalam Penafsiran Rezim”

Oleh : Anthomi Kusairi, SH., MH.*

 

Pungutan Liar adalah kosa kata yang sering publik dengar, untuk menjelaskan OPP (Operasi Pemberantasan Pungli) yang dilakukan pemerintah beberapa bulan belakangan ini. Hampir tidak ada keberanian untuk melawan disaat operasi gencar dilaksanakan diberbagai daerah, masyarakat dengan sukarela atau dipaksakan menerima itu sebagai sebuah realitas cara kerja negara untuk mengatasi permasalahannya.

Praktek ini sebenarnya telah berlangsung lama dibanyak sektor dinegeri ini. Sektor-sektor tersebut diantaranya birokrasi, penegakan hukum, legislatif, dan dunia usaha. Negara juga memiliki catatan panjang bagaimana mereka membentuk satuan-satuan khusus anti pungli ataupun aparat keamanan untuk melakukan eksekusi terhadap target – target yang telah ditentukan. Alih-alih ingin memberantas praktek semacam ini justru menempatkan semua pelaku dalam lingkaran elit kekuasaan negara, lebih jauh negara juga menghadirkan akses terhadap para pelaku sehingga akhirnya mereka mampu menentukan arah kebijakan bangsa ini kedepan dan dicatat dengan tinta emas sepanjang masa.           

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Praktek pungutan diluar ketentuan hukum yang berlaku semacam ini lahir dari berbagai alasan pembenaran, bahkan semua pelaku cenderung merasa sedang melaksanakan misi suci karena adanya dukungan orang kuat dibelakangnya. Dari banyak praktek paling tidak dapat kita catat berbagai argumentasi yang membenarkan langkah semacam itu : (1). Para pelaku adalah abdi negara. Negara ditempatkan sebagai sapi perahan yang musti dilindungi dari unsur-unsur parasit, ataupun indoktrinasi yang berbahaya bagi keberlangsungan kekuasaan. (2). Para pelaku ada ditengah-tengah masyarakat. Atas nama keamanan dan terhindar dari segala bentuk kekerasan atau kriminalitas, perlu adanya biaya ekstra yang dinilai mampu melindungi daripada hukum. (3). Para pelaku adalah elemen loyalis. Loyalisme sebagai bagian dari integritas, tindakan sekaligus jiwa adalah proses pembuktian yang harus dihadapi dengan “kerja keras”, yang merupakan bentuk konsistensi dan sekaligus dapat berupa gerakan preventif.

Dengan bermodalkan dukungan oknum pejabat dan ketidakberdayaan masyarakat, tindakan pungutan tanpa legitimasi hukum ini menjadikan dirinya lebih tinggi dibandingkan dengan seluruh aturan dan norma yang ada ditengah masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh : (1). Para pelaku mendapatkan keistimewaan dalam akses (Privilege). (2). Para pelaku adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dari mesin birokrasi yang ada. (3). Para pelaku memiliki impunity yang secara umum dapat membuat keputusan dalam mengambil tindakan ekstra. (4). Para pelaku berada pada poros politik partai yang dominan mengendalikan mesin birokrasi dimana aparatus negara bekerja.  (5). Para pelaku dianggap telah berjasa karena telah membuka jalan pendanaan. Kesemuanya ini hanya mungkin terjadi dalam kehidupan yang tidak berpijak pada sistem hukum. Sebab sistem hukum tidak pernah memberi celah bagi tindakan yang akan merusak sendi-sendi demokrasi.      

Institusi dan modus pungutan yang digunakan aparatus negara dalam menjalankan rencananya dari waktu ke waktu terus berubah, meskipun banyak pihak yang menolak praktek semacam ini. Modus-modus tindakan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut : (1). Pungutan yang dilakukan secara terbuka dan terus menerus. Ini sering kita kenal dengan istilah “retribusi”. (2). Pungutan yang dilakukan secara diam-diam, akan tetapi dengan mengikutsertakan partisipasi publik dengan tujuan untuk memperoleh dana secara maksimal. (3). Diskon pungutan. (4). Berbagai bentuk pungutan yang dilakukan dengan cara yang tidak manusiawi diiringi dengan melakukan pemerasan terhadap rakyat kecil. Ini yang sering kita saksikan diseluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, ironisnya hal itu dipertontonkan secara terbuka kepada publik. Pungutan-pungutan itu belum termasuk pungutan liar yang dilakukan oleh elit-elit parpol yang mengatasnamakan demokrasi, dengan alasan akomodasi untuk blusukan ataupun studi banding.   

Berbagai bentuk tindakan itu secara umum dapat dikategorikan dalam tindakan korupsi yang berdampak sistemik. Kategori sistemik yang dimaksud karena adanya unsur (1). Extra Ordinary Crime, (2). Gratifikasi, (3). Penyalahgunaan wewenang, (4). Suap menyuap, (5) Kolusi dan nepotisme. Kita sepakat kejahatan semacam inilah yang menjadikan masyarakat Indonesia terjerumus dalam jurang kemiskinan yang lebih dalam. Mengingat itulah kejahatan penghisap darah rakyat ini harus dikutuk dan diberantas hingga tuntas.

Dalam konteks Indonesia misalnya, beberapakali mendengar gagasan untuk dilakukan tindakan Operasi Pemberantasan Pungli (OPP) sebagai bagian dari upaya mengatasi tingginya angka pungutan liar. Gagasan yang muncul cenderung bersifat sporadis dan parsial serta menimbulkan beragam pertanyaan, mengapa justru negara yang melahirkan gagasan untuk melakukan operasi semacam itu ? Apakah ada masalah dengan penegakan hukum yang selama ini telah berjalan ? atau kejahatan itu terlalu sulit sehingga tidak dapat diselesaikan oleh mekanisme hukum yang sekarang ini ada ?   

Secara kontekstual, pungutan liar yang dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban yang dilakukan oleh sebagian masyarakat merupakan bentuk dari “perlawanan sosial”. Perlawanan sosial ini terjadi karena besarnya angka kemiskinan, penegakan hukum yang tebang pilih dan seterusnya. Tetapi juga dapat berupa penegakan hukum yang masih jauh dari rasa keadilan dan peran negara dalam memperbaiki taraf hidup masyarakat yang masih sangat lamban, dan diambil jalan pintas berupa upaya perlawanan sosial, melalui pungutan liar dimana-mana, mereka yang mempunyai strata sosial rendahan langsung ditangkap tangan.        

Dalam kasus yang kita bahas kali ini, justru posisinya terbalik, elit-elit negara yang melawan mekanisme hukum yang berlaku malah di gadang-gadang untuk mengatasi persoalan bangsa. Hal ini bisa dilihat dengan diletakkannya unsur-unsur parpol didalam arus utama kekuasaan. Elit-elit parpol itu ada didalam besarnya kekuasaan negara yang mengalokasikan anggaran yang katanya untuk kepentingan rakyat. Kekuasaan negara yang superior inilah yang memungkinkan sistem hukum lemah dibuatnya dengan memilih orang yang dianggapnya tepat. Hal ini berarti sistem kekuasaan yang ada masih melihat sistem hukum hanyalah pilihan instrumen yang kapan saja dapat dicarikan model atau sistem lain yang bersifat subtitusi.         

Sementara banyak dalang kejahatan yang menimbulkan keresahan bebas tanpa pernah bisa diadili. Antara pilihan untuk menggelar operasi pemberantasan pungli atau upaya mengatasinya dari akar masalah disisi lain ada pada ruang penafsiran rezim yang sedang berkuasa kini, bukan hanya sekedar retorika. Dapat saja pilihan menggelar operasi pemberantasan pungli telah memperoleh justifikasi secara teori, tetapi bagaimana teori itu bekerja amatlah tergantung faktor subyek yang menjalankannya. Itupun masih meninggalkan banyak pertanyaan ditengah masyarakat, ”bagaimana sistem hukum dapat dibangun sesuai tuntutan masyarakat akan keadilan ditinggalkan begitu saja dan memilih OPP sebagai jalan pintas ?” Atau bagaimana sistem hukum yang telah disepakati musti menjadi solusi untuk menghadapi berbagai macam persoalan ?  Jawabannya tentu akan adanya penolakan dari rezim yang berkuasa atau paling tidak elit-elit parpol yang sedang menjabat kini terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bahkan lebih jauh hukum dianggap faktor penghambat.        

Sementara kita saksikan, ruang penafsiran amatlah ditentukan oleh faktor-faktor politik yang sedang berkembang, termasuk didalamnya faktor penafsiran aktor-aktor yang sedang berkuasa atas besarnya kekuasaan yang ada ditangannya. Jika realitas politik dan penafsiran rezim bertemu, maka sistem hukum hanyalah semata alat yang dapat ditinggalkan kapan saja jika tidak lagi dibutuhkan. Dalam konteks ini, pilihan instrumen model OPP tidak lebih dari cerminan tafsir penguasa yang menganggap dirinya adalah kekuasaan yang utama.

Pandangan ini memang tidak secara utuh menggambarkan seluruh persoalan “Operasi Pemberantasan Pungli”, tetapi hanya menghantarkan kita kepada sebuah pertanyaan, Masih layakkah operasi ini untuk terus dilanjutkan ?.

 

* Alumnus Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Peneliti Pada Roda Indonesia Institute.

 

Ikuti tulisan menarik Anthomi Kusairi SH MH lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB