x

Iklan

Heri Andreas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membaca dengan Cermat Banjir di Kota Bandung

Bertubi-tubi Bandung dihinggapi banjir di penghujung tahun 2016, kenapa bisa seperti ini, harus dibaca dengan cermat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Heboh banjir Bandung yang harus dicermati

Dalam sebulan lebih terakhir ini di penghujung tahun 2016 Kota Bandung heboh dihinggapi bencana banjir secara bertubi-tubi.  Jalan raya Pasteur yang merupakan jalur utama akses Kota Bandung dari arah Jakarta dan Pantura sempat lumpuh beberapa saat akibat luapan air sungai Citepus. Pun begitu daerah sekitar Pagarsih, arus deras setinggi satu meter lebih melanda ruas Jalanan sekitar dalam dua pekan yang berbeda dan telah dua kali secara unik melenyapkan dua buah kendaraan yang masuk terhisap ke dalam sungai Citepus. Lokasi lainnya dari banjir sesaat (banjir cileuncang kalau dalam bahasa sunda) antara lain terjadi di perempatan Pasirkoja setelah exit tol, pertigaan jalan Gede Bage Bypass, sekitar ruas jalan Leuwi Panjang, dan beberapa tempat lainnya, yang dihitung mencapai sekitar 20 lokasi. Mengapa ini semua bisa terjadi merupakan pertanyaan yang muncul dibenak banyak orang sekarang ini, terutama bagi warga Kota Bandung.

Sungai yang tidak terawat, sistem drainasi yang jelek, tata ruang yang jelek seraya lazim menjadi tersangka utamanya. Namun demikian hal ini dibantah oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil. Beliau memberi contoh kota Paris yang memiliki sistem drainase salah satu yang terbaik di dunia pun bisa kena banjir di pertengahan tahun 2016 ini. Belum lagi beberapa tempat di Negara Amerika yang notabene merupakan Negara paling maju pun, dengan infrastruktur ideal-nya, banjir juga terjadi disana di tahun ini. Alasan Walikota Bandung ini bisa jadi merupakan alasan yang logis. Artinya kita memang harus membaca dengan cermat mengenai banjir yang terjadi di Bandung kali ini.  Bisa jadi banjir di Bandung bukan semata-mata akibat sistem drainase yang jelek dan tata ruang yang jelek, serta sungai yang tidak terawat dengan baik, melainkan akibat faktor lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelum mencermati faktor penyebab banjir di Bandung, kita ulas sedikit mengenai teori sederhana terjadinya banjir. Ketika air hujan dengan curah yang tinggi tidak dapat ditampung oleh sungai dan drainase serta bendungan/polder/situ sebagai “wadah” air maka terjadilah luapan, dinamakan banjir.  Secara proses hidrologi, air hujan akan sebagian terserap tanah (infiltrasi) dan sebagian diteruskan (run off).  Dengan demikian maka seberapa besar air yang terserap dan seberapa besar yang diteruskan akan menjadi faktor-faktor penentu banjir disamping “wadah”-nya.  Infiltrasi dan run off akan bergantung kepada  land use di sekitaran sungai dan DAS (Daerah Aliran Sungai).  Land use juga akan menjadi faktor bagi sedimentasi yang mempengaruhi “wadah” air, disamping sampah yang secara sengaja di buang ke sungai atau drainase. Berarti disini kalau kita urut, banjir akan dipengaruhi oleh curah hujan, wadah tampungan (sungai, drainase, bendungan/polder/situ), koefisien infiltrasi dan run-off yang tergantung land use, dan juga faktor sedimentasi serta sampah yang mempengaruhi kapasitas “wadah” air.

Apa yang terjadi di Bandung adalah curah hujannya yang begitu tinggi (dilaporkan mencapai tiga kali lipat intensitasnya dari rata-rata normalnya), menghasilkan volume air hujan yang begitu besar, dan jatuh ditempat yang cukup lokal, yang memiliki daya tampung (wadah) sangat terbatas. Alhasil air tidak mampu diwadahi, baik oleh sungai atau drainase disana. Fenomena curah hujan yang tinggi ini (anomali) adalah akibat dari gabungan fenomena cuaca efek Lanina, dan anomali regional serta lokal di lautan dan juga atmosfer.  Secara statistik momen ini jarang terjadi di Kota Bandung. Jadi secara faktual memang kita tidak siap dalam menghadapi fenomena ini. Sama hal nya dengan yang terjadi di Paris, dan di beberapa tempat di Amerika yang telah di bahas di atas, disana juga terjadi anomali dari curah hujan yang tinggi dari biasanya, sehingga tidak siap juga dalam menampung volume air yang tercurahkan, dan akhirnya terjadi banjir.

Curah hujan yang sangat tinggi yang terlokalisir dapat dikatakan menjadi salah satu faktor utama terjadinya banjir di kota Bandung. Namun demikian kita tidak dapat mengesampingkan begitu saja faktor-faktor lainnya seperti sungai, drainase, dan juga bendungan/polder/situ. Sungai-sungai di Bandung faktanya beberapa telah mengalami penyempitan, pendangkalan akibat sedimentasi dan sampah. Beberapa sungai bahkan ada yang telah hilang! Drainase-drainase beberapa diantaranya telah mengalami pendangkalan, dan juga terhalang akses jalur airnya oleh hamparan beton-beton halaman rumah-rumah atau gedung. Kota Bandung juga kekurangan bendungan/polder. Bahkan sebenarnya dahulu terdapat situ-situ sebagai wadah penampung air yang kini telah raib. Sebut saja situ Aksan, situ Padia, Cigereleng, merupakan situ-situ dimana pada jaman Belanda masih berguna sebagai wadah penampungan kelebihan air hujan, pencegah luapan banjir. Ini adalah fakta problem tata ruang.

Dengan membaca secara cermat faktor-faktor penyebab banjir di Bandung, maka apa yang kita bisa lakukan tentunya bukanlah mengurangi intensitas air hujan, karena itu adalah ranahnya alam. Apa yang bisa kita lakukan adalah menyiapkan wadahnya dengan lebih baik, diantaranya melalui revitalisasi sungai, revitalisasi drainase, dan pengadaan kembali situ atau polder di kawasan Bandung. Ketika sekarang ini kita melihat galian dimana-mana, kotor, dan macet dimana-mana, justru kita harus merasa senang dan memberikan apresiasi kepada Pemkot Bandung dalam memperbaiki drainase, dengan harapan mencegah banjir. Celakanya dengan anomali intensitas hujan yang terjadi menyebabkan banyak orang berfikir pekerjaan di atas adalah sia-sia.  Bukan! Bukan seperti itu, hanyalah harus ditambah lagi upayanya. Pengadaan sumur-sumur resapan juga penting untuk dilakukan.

Hal penting lainnya ketika menyikapi masalah banjir, kita harus mempunyai model banjir yang bagus bagi Kota Bandung. Hal ini dapat diperoleh dari ketersediaan data Digital Elevation Model yang akurat, geometri sungai dan drainase yang akurat, land use serta land cover yang bagus, dan sensor-sensor pencatat intensitas hujan yang akurat.  Sistem monitoring level air juga merupakan perangkat penting dalam kita memahami banjir. Pertanyaannya apakah kita punya data dan informasi yang dimaksud? Jawabannya adalah belum. Data dan informasi ini masih dibilang mahal untuk diperoleh, padahal tidak sebanding dengan mahalnya kerugian akibat bencananya.

Heri Andreas, Pengajar dan Peneliti Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung

Ikuti tulisan menarik Heri Andreas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler