x

Iklan

Imam Soedardji

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Hak Menjadi Petaka

Nasional

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mudahnya mengakses informasi di media sosial menjadikan sebagian netizen layaknya seorang hakim. Para netizen dengan mudahnya menilai seseorang tanpa menganalisa terlebih dahulu dan mengkroscek kembali sebuah permasalahan. Meskipun sudah ada perangkat hukum berupa UU ITE. Sebagian netizen seakan tetap menutup mata terhadap hal tersebut. Begitupun dengan beberapa contoh kasus hukum yang bermula dari sebuah postingan di media sosial. Diantaranya seperti kasus Florence yang menghina warga Yogyakarta di Path. Kemudian ada Muhammad Arsyad atau Imen yang dijadikan tersangka karena menghina Presiden Joko Widodo dengan konten berbau pornografi di Facebook.

Adanya kasus tersebut sepertinya tidak menyurutkan para netizen untuk lebih berhati-hati menggunakan haknya dalam mengeluarkan pendapat. Contoh terbaru adalah postingan Buni Yani yang ditenggarai sebagai cikal bakal aksi damai 411. Dalam sebuah postingannya di Facebook, Buni Yani mencantumkan kalimat “Penistaan Agama?” dan menghilangkan kata “pakai” terkait video Ahok di Kepulauan seribu. Alih-alih menyudutkan Ahok, kini Buni Yani juga terjerat kasus hukum karena dianggap melanggar UU ITE. Bahkan sampai ada petisi online di laman Change.org yang menginginkan proses hukumnya tetap dijalankan.

Banyaknya kasus hukum yang bermula dari media sosial dapat terjadi karena dua hal. Pertama, kurangnya sosialisasi mengenai UU ITE No.11 Tahun 2008 yang tidak merata. Ditambah pula banyaknya netizen di Indonesia yang mencapai 88 juta, sehingga sulit untuk mengetahui siapa yang memulai, dipengaruhi, maupun yang memengaruhi. Kedua, kurangnya pemahaman arti “bebas” bagi setiap orang. Kata “bebas” bukan berarti bebas layaknya burung terbang diangkasa, akan tetapi adanya sebuah batasan yang tidak terlihat tetapi ada disetiap diri manusia itu sendiri, yakni kontrol diri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kontrol diri menurut beberapa ahli psikologi dapat diartikan sebagai pengaturan psikologis seseorang dalam membentuk dirinya melalui beberapa proses. Fungsi lain dari kontrol diri adalah untuk menggambarkan keputusan seseorang berdasarkan pertimbangan kognitif dalam menyatukan perilaku yang telah disusun, kemudian mengarahkannya kepada tindakan yang positif. Sehingga dapat diasumsikan jika seseorang tidak memiliki kontrol diri, yang mana dalam konteks ini untuk mengemukakan pendapat. Maka individu tersebut akan menyalurkan apa yang dipikirkannya tanpa melihat sebab akibat dari pendapatnya tersebut, khususnya di media sosial.

Sebagai negara demokrasi, pemerintah Indonesia tentu harus mendengarkan aspirasi publik, khususnya di media sosial. Adapun peran pemerintah tercantum dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 40 ayat 2 yang berbunyi; “Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”.

Tidak hanya Pemerintah, masyarakat-pun memiliki perannya sendiri sebagaimana tercantum dalam pasal 41 ayat 1 yang berbunyi; “Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan Teknologi Informasi melalui penggunaan dan Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.”

Kasus yang telah terjadi dan melibatkan media sosial hingga berakhir di ranah hukum sebaiknya dijadikan pelajaran bagi setiap orang. Ada peribahasa melayu yang berbunyi “Ingat ranting yang akan melenting, dahan yang akan mencocok, duri yang akan mengait”. Maksud peribahasa tersebut tidak lain kita sebagai individu dalam melakukan sesuatu hendaknya selalu mengingat hambatan dan juga bahaya yang mengintai. Tidak terkecuali dalam mengemukakan pendapat. Ada atau tidaknya hukum yang mengatur berpendapat di ruang publik, hendaknya setiap individu selalu memikirkan siapa yang akan akan di kritik, apa yang akan dikatakan, dan apa konsekuensinya.

Gambar: http://digital.sawi.com/

Ikuti tulisan menarik Imam Soedardji lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler