x

Sekolah Laskar Pelangi di Tepi Sungai Sambas

Iklan

Cak Mun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Anak, Antara Dadu dan Bidak Catur

Peran wanita sebagai objek sastra mulai berkurang. Perannya secara berlahan tergeser dengan sepak terjang kehidupan anak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bangun ruang tiga dimensi bernama dadu tidak sama dengan bidak catur. Jika dalam ilmu Biologi, Carolus Linnaeus memperkenalkan sebuah metodologi klasifikasi yang dinamakan ilmu taksonomi, Maka dadu dan catur merupakan satu genus dengan spesies yang berbeda. Sama-sama alat permainan. Sama-sama bisa dipergunakan untuk berjudi. Tapi taukah kita sesungguhnya, perbedaan kelas kedua pemainnya?

Dua puluh satu bintik hitam yang termaktub dalam enam sisi permukaan dadu merupakan enam kemungkinan yang akan didapatkan oleh seorang petaruh. Satu sisi, satu kemungkinan. Sementara seorang pecatur jelas berbeda. Dengan duel satu lawan satu, otomatis presentase kemenangan yang dapat diraih mencapai 50%, peluang satu banding dua.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gambaran ini sepertinya cocok dengan sebuah momentum di bulan November kita. Bulan November tidak hanya menceritakan bulan kesedihan seperti yang digambarkan Gun's and Rose dalam lagunya -November rain. Pun November tidak hanya bercerita tentang keheroikan bung Tomo dan kawan-kawan dalam pertempuran hidup-mati sepuluh November 1945. Tapi di luar itu, di antara tumpukan hari-hari di bulan November yang tiga puluh, terselip dua hari yang tidak banyak diingat orang. Hari peringatan anak dan hari peringatan lingkungan hidup Nasional.

Jika di akhir abad dua puluh Ayu Utami muncul dengan novel Saman yang sarat indikasi penggugatan sebuah dunia imajiner di mana wanita selalu dipinggirkan, maka dewasa ini peran wanita sebagai objek sastra mulai berkurang. Perannya secara berlahan tergeser dengan sepak terjang kehidupan anak. Fiksi-fiksi yang berorientasi pada hal tersebut sukses melambungkan nama penulisnya seperti trilogi Laskar Pelangi, Hafalan Shalat Delisa dan lain sebagainya.

Sebab anak merupakan sesuatu yang seharusnya memang diperhatikan. Anak adalah pelestari kehidupan. Di tangannya masa depan kita saat sudah renta tak berbicara. Mereka adalah alasan kenapa kita hidup berkeluarga, membangun cinta antar sesama.

Islam memberikan prioritasnya dalam maqosid syariah. Bahwa hifdzu an-nasl -menjaga keturunan- merupakan satu di antara enam perkara yang Islam jaga. Anak menjadi kebanggaan melebihi harta. Sebuah tabiat kompleks yang tidak sesederhana kelihatannya.

Anak yang harus diperhatikan secara tidak sadar adalah sebuah perjudian besar yang yang kita terlibat di dalamnya. Seperti memegang korek di tengah timbunan gas metana yang siap meledak kapan saja, keputusan seutuhnya ada di tangan kita.

 Suatu ketika, di gang sempit dan kumuh di pinggiran ibu kota seseorang mencoba berjudi dengan biji dadu. Tidak perlu keahlian khusus. Tidak perlu teknik. Tidak perlu logika cerdas dalam permainannya. Pedadu murni menggantungkan nasibnya pada keberuntungan. Taruhannya pun tidak main-main, tapi lingkungan hidup yang secara susah payah sudah dipertahankan oleh teman-teman kita di belbagai lembaga swadaya maupun lembaga resmi bentukan pemerintah.

Satu sisi dari biji dadu yang ia jagokan adalah metafora dari anak keturunannya. Jika ia mendapatkannya, well, mulia sudah hidupnya. Anak itu mentas. Menjadi wujud masif khalifatullah. Sementara Lingkungan yang ia pertaruhkan aman, terjaga tanpa khawatir dirusak oleh tangan-tangan kepentingan yang menjulur di mana-mana.

Sementara itu, di sebuah kantor seseorang rapi berdandan. Berjas, berdasi seperti pejabat. Menenteng papan catur mencari lawan sepadan. Adu cerdas, adu logika, adu ketelitian. Taruhannya sama, lingkungan dan sumber daya negara.

Tapi sayang, catur tidak sama dengan dadu. Dalam permainan catur ia harus rela berkorban. Biarlah bidaknya dimakan asal kuda musuh tertawan. biarlah anak cucunya hancur asal harta dunia bisa dikantong. Lalu jika ia kalah, boom! Segala yang ia pertaruhkan hilang. Bidak-bidaknya tak bisa lagi menikmati kekayaan negara. Lalu skenario selanjutnya, menjadikan anak turunnya sendiri hidup di bawah ketiak  asing.

Itu sebabnya seorang pedadu yang bermain di kawasan marjinal lebih berkelas dibanding pecatur di kantor. Namun jauh lebih berkelas pecatur dan pedadu yang tidak menjadikan anak, lingkungan dan sumber daya hidupnya sebagai bahan taruhannya. Lebih-lebih bahan untuk kepentingan memperkaya diri sendiri.

Oleh: Munandar Harits Wicaksono

mahasiswa mustawa 3 Universitas Al-ahqoff Hadramaut, Yaman.

Ikuti tulisan menarik Cak Mun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler