Lupa kata sandi Tempo ID anda?
Belum memiliki akun? Daftar di sini
Sudah mendaftar? Masuk di sini
Seminggu mengajar belum membuahkan hasil, saya masih berjoget sendiri, berbicara sendiri, tepuk tangan sendiri, berdoa sendiri, juga mengucapkan selamat pagi lalu menjawabnya sendiri. Keterbatasan fasilitas dan media pembelajaran membuat saya berpikir keras setiap hari: besok harus mengajar apa dan bagaimana caranya supaya anak-anak cepat menangkap. Ide-ide, mimpi dan harapan pun bergulir.
"Indonesia telah kehilangan. Indonesia kehilangan para sarjana pendidikan yang memiliki hati untuk mengabdi, Indonesia kehilangan abdi negara yang mencinta negeri, Indonesia kehilangan guru yang marah dengan jujur. Anak-anak menjadi korban, bahkan sampai ada yang membenci pendidikan, anak-anak tidak mempunyai cita-cita selain menjadi buruh atau petani biasa, anak-anak dijajah oleh kebodohan yang disengaja para sarjana terdidik." Wanita berkacamata itu menimpali "kehilangan memang selalu menyakitkan. Pendidikan di pelosok Indonesia sedang menangis menjerit. Indonesia tidak akan larut dalam kesedihan kehilangan ini karena kamu hadir menghibur lara Indonesia." Sukma mengamini. "Sekarang aku tahu bahwa kehilangan itulah yang membuatku marah."
Fibe, si bungsu, hanya ingin meninggalkan ladang dan bersekolah seperti teamn-teman sebayanya yang lain. Tetapi terlalu lama di ladang membuatnya banyak tertinggal ketika sudah bisa masuk kelas. Pendekatan guru membuatnya pelan-pelan bisa menyusul. Kini minat belajarnya tinggi. Tetapi jika ditanya hobinya apa, tetap saja jawabnya: tidur. Selama ia masih memiliki niat untuk sekolah, di hatiku ia tetap nomor juara. Tidak ada anak yang nakal, yang ada hanya orang tua yang gagal.
Kurangnya tenaga pendidikan dan di daerah pedalaman sangatlah di sayangkan ,padahal kualitas seseorang di lihat dari seberapa tinggi kualitas pendidikanya.