Lupa kata sandi Tempo ID anda?
Belum memiliki akun? Daftar di sini
Sudah mendaftar? Masuk di sini
Pedagang kaki lima menyelematkan pekerja
Kebersamaan dalam pertalian aktivitas tradisi dan budaya, hingga menjadikan keberagaman sebagai suatu tanda baca yang memang “terkesan” kompleks, belum lagi, saat bahasa terikat dalam geliat politik yang akan menentukan satu pendapatan dalam sudut pandang kesejahteraan sosial. Beradab menjadi ukuran akan moral etika yang seringkali terbentur di antara ragam dinding-dinding institusi akademi beserta keabsolutan berpikir individu yang terkesan melupa, bahwa hidup hanya tentang gerak. Sayangnya, suatu yang absolut masih menjadi “ikon” bagi masyarakat sebagai bentuk takwa.
Saya hanya dapat mengatakan bahwa makna seni, pendidikan, dan makna agama telah gagal di sini. Apakah manusia mereproduksi anak-anak mereka untuk membunuh atau terbunuh? Di mana waktu tidak lagi menjadi penting, bahwa dalam hitungan detik, menjadi pembunuh berdarah dingin adalah prinsip hidupnya yang diartikan secara salahkaprah.--Suatu tamparan realita sosial di Jakarta.
Capung/Dragonfly, serangga yang beberapa hari ini mengunjungi ruang terbuka di belakang rumah. Ada kemiripan mitos tentangnya, seperti kehadiran seekor kupu-kupu mengunjungi rumah. Namun capung mungkin, lebih memiliki kesan tersendiri, sebab bisingnya kepak sayap memiliki dua fungsi terhadap mata dan telinga untuk bekerja bersamaan. Terlepas kekaguman saya akan capung saat air yang sedang saya rebus mendidih. Capung serta bising telah membawa saya untuk mengambil suatu keputusan memilih minuman penghangat tubuh; ranting kumis kucing, asam jawa, sirih merah.
Ada renung yang hening perjalanan hidup serupa kuyup menggenang pada lorong-lorong rendah untuk merasakan “angin berhembus lemah-lembut”, dan berbisik, masih ada harapan untuk kembali menatap “Puncak kelapa melambai-lambai” sambil menikmati getar-getar notasi LoFi dalam imajinasi kota tentang segala perkara, tentang rindu di teluk Jakarta. Mungkin pernah menjadi suatu mitos sebelum berkembang dengan baik-baik saja bagi etika bersosial tentang budaya dan bijaksana. All the choir of heaven and furniture of earth in a word, all those bodies which compose the frame of the world have not any subsistence without a mind. [George Berkeley]
Manakala peran-peran manusia mengandung jamak bahkan atas dirinya sendiri, kemanusiaan yang penuh curiga dengan sifat ambisiusnya akan tetap menjadi benggala dalam membaca ruang ketangkasan spiritual yang ilahiah sekaligus duniawi. Ini, masih terlalu jauh dari yang meta-text sebagai catatan sebuah nama, tentang akal budi.
Kini, mereka kehilangan, hampir seluruh matahari. Satu-satunya sumber pembangkit daya hidup itu berbalik menimpa keseharian mereka, menusuk nalar hingga mematikan intuisinya. Wabah kembali diluncurkan melalui kolagen sebagai pertahanan dalam pembersihan di suatu uji coba yang kedua. Pembangkangan, kecemasan, humor tersatir, dan kematian yang ditumpuk menjadi olahan pupuk sekaligus pendistribusian senjata yang paling canggih. Seluruh negeri kehabisan kayu penjaga mori. Benda-benda yang tercipta dari kesalahan berpikir terfatal. Satelitnya membentur kuasa angkasa.
Sebuah catatan kecil saat membaca kembali masa lalu di tepian megapolitan yang telah berganti bentuk. Ada pelepasan yang lega sekaligus haru penerimaan dari pertemuan dan perpisahan serupa ketam makara.
Damar, serupa mata yang berbicara tanpa hanti-hentinya, dan setia menyusuri jalan panjang di waktu malam dengan meggantungkan harapan kepada gugur dalam celoteh soliter untuk sekedar membaca yang puitis.
Tubuh dalam seni, bisa saja, saya akan mengatakannya sebagai atom dari yang conceptual tentang daur ulang/recycling gerak sebagai jejak yang memproses detail pengalaman tanpa adanya batas pasti antara satu panggung dengan satu realitas keseharian manakala kerangka desain direntangkan sebagai lapisan-lapisan layar dalam keberagaman media/multimedia yang mengalami penyesuaian untuk “ketertakbatasan melampaui peperangan tanpa batas”, cuplikan seni performa/performance art.
Pencarian dirinya dengan meninggalkan karnaval kehidupan bukanlah tentang menemukan segala hal yang pernah ditinggalkan dan dianggap hilang. Namun, menerima kehilangan dengan baik-baik saja. Altus, menyalinnya selentur alur yang masih acak pada setiap zarah di aorta. Kegelapan tidak pernah menawarkan suatu fobia selain gugat.
Di sini, “kukus” bisa jadi sebagai sistem ikhtiar memaknai bunyi yang arbitrer dari ragam pertahanan, bahwa pada yang muasal, tradisi budaya bersifat lentur, sedangkan apa yang dipercaya sebagai yang “hilang” hanyalah rangka lain tentang bagaimana pikiran memainkan imajinasinya sebagai desain.
Mungkin, hanya di dalam nafas ini, seni serta cinta, hanyalah tentang gaduh yang seringkali eror saat menatap rincian desain konstruksi atas rasa sekaligus emosi, satu-satunya linimasa yang akan selalu ditikam tajamnya pasir dari pantai Laut Hitam. Saya hanyalah salah satu contoh kesalahan pengulangan atas kelahiran yang berakhir di dalam labirin cekcok, antara Mars dengan Venus yang terbakar, luruh menghulu dalam rengsa atas jelajah sungai-sungai Purgatorio; tidak pernah benar-benar mengucapkan kata “tamat” pada vibrasi toska.
Pernah ada kehidupan di waktu yang begitu jauh dan terkubur di dalam samudra maha karya, bahwa Venus menopang sementara dirinya telah dilaknat menjadi indung mutiara. Sementara pada sebuah pot dengan masai akar-akar bagaikan ambara matris, saat menentang pamit yang tetap, hilang menjadi kehendak yang imageless.
Seseorang memberitahumu, tepat sebelum kamu pergi, untuk berhati-hati terhadap Jakarta. Yang suram. Tak membantu menghadapi serangan terbaru suasana hati hitam yang kamu rasakan. Ingatanmu terlontar ke hari melihat gerhana matahari ketika berusia tiga belas, burung-burung pergi ke peraduan saat hari tiba-tiba padam.
Ini hanyalah upaya paling sederhana menjangkau ketidakberjelasan sebagai suatu serat relatif untuk ketidakpastian dari subjektif dan objektif. Begitu pula jejak sejarah sebagai bagan gramatika tentang zona netral sebagai pembacaan yang kontemplatif.
Satu-satunya kalimat yang telah mengukir dalam-dalam dari Mpu Tantular: “Umandya donta carweka”, bagi perjalanan lain yang liar, yang sembunyi, yang untuk kehadirannya menjalani jalan panjang dari betapa beruntungnya saya ada di masa paska kemerdekaan.
Variasi Bulan Biru hanyalah suatu evolusi dalam fiksi sambil menikmati teh pala dan kayu manis sebelum sore hari. Sebuah kisah tentang rumitnya kesepakatan dan menjaga perkataan yang seringkali tidak memiliki makna apapun, selain buta dan sepi menjadi saksi gagalnya kalimat yang telah terucapkan.
Bagaimana cara untuk pulang setelah mengelilingi tanah-tanah kering dari balik bingkai air mata selain memilih diam menyusuri kematian dan kematian, menatap nisan-nisan, terhuyung di bawah gemerlap neon nekropolis. Ini penggalan linimasa seorang performance artist dalam mencari rumah di tanah kelahirannya yang senyata fantasi.
Membaca ulang perjalanan sebagai proses kontemplasi yang saling terkait sebagaimana siklus alam tidak memiliki keterpisahan yang benar-benar pasti. Begitulah catatan ini menjadi renungan di hari Minggu.
Sebuah catatan dalam proses mengingat kembali perjalanan masa kanak-kanak di dalam ruang noir sebagai corpus et poetica pada dunia komputer dan tempa artifisial untuk suatu awal tahun dengan kalender yang lain.
Biar tekor asal kesohor, begitulah motto penganut gaya hidup berlebihan. berjiwa konsumtif, berperilaku hedonis. Maka penting membangun literasi gaya hidup buat orang Indonesia
sepi dan kesepian kadang dibutuhkan manusia sebagai sarana bermeditasi,menyegarkan diri dan pikiran serta membebaskan diri dari keterkungkungan keramaian