Lupa kata sandi Tempo ID anda?
Belum memiliki akun? Daftar di sini
Sudah mendaftar? Masuk di sini
Capung/Dragonfly, serangga yang beberapa hari ini mengunjungi ruang terbuka di belakang rumah. Ada kemiripan mitos tentangnya, seperti kehadiran seekor kupu-kupu mengunjungi rumah. Namun capung mungkin, lebih memiliki kesan tersendiri, sebab bisingnya kepak sayap memiliki dua fungsi terhadap mata dan telinga untuk bekerja bersamaan. Terlepas kekaguman saya akan capung saat air yang sedang saya rebus mendidih. Capung serta bising telah membawa saya untuk mengambil suatu keputusan memilih minuman penghangat tubuh; ranting kumis kucing, asam jawa, sirih merah.
Sebelum tangannya menggapai dekoder yang menyimpan seluruh berkas hasil penelitiannya, tiba-tiba terdengar suara asing dari telepromternya dalam gelombang radar yang demikian teracak, juga sangat tidak jelas. Cahaya kelemayar mendadak menjaring tubuhnya hingga membuat jaringan peta yang mengunci seluruh organ anatomi tubuh Domma. Seketika, dirinya jatuh pingsan. Ruangan pun menghilang untuk beberapa detik sebelum signal memberi tanda melalui flash drive di gedung Ei45.
Manakala peran-peran manusia mengandung jamak bahkan atas dirinya sendiri, kemanusiaan yang penuh curiga dengan sifat ambisiusnya akan tetap menjadi benggala dalam membaca ruang ketangkasan spiritual yang ilahiah sekaligus duniawi. Ini, masih terlalu jauh dari yang meta-text sebagai catatan sebuah nama, tentang akal budi.
Kini, mereka kehilangan, hampir seluruh matahari. Satu-satunya sumber pembangkit daya hidup itu berbalik menimpa keseharian mereka, menusuk nalar hingga mematikan intuisinya. Wabah kembali diluncurkan melalui kolagen sebagai pertahanan dalam pembersihan di suatu uji coba yang kedua. Pembangkangan, kecemasan, humor tersatir, dan kematian yang ditumpuk menjadi olahan pupuk sekaligus pendistribusian senjata yang paling canggih. Seluruh negeri kehabisan kayu penjaga mori. Benda-benda yang tercipta dari kesalahan berpikir terfatal. Satelitnya membentur kuasa angkasa.
Pada saat itu, Domma yang lebih mengejar mimpinya menjadi awak kapal layar berharap akan membawa dirinya mengelilingi samudra di planet ini. Sedangkan Amma yang penuh kepastian, merebut harapannya untuk memiliki ruangan di gedung Ei45. Air mendidih, dan setum ketel logam terguyur uap, membuat keduanya saling menatap. Air matang, namun Domma dan Amma dibeku renjana, yang tidak pernah mereka sadari selama ini.
Sebuah catatan kecil saat membaca kembali masa lalu di tepian megapolitan yang telah berganti bentuk. Ada pelepasan yang lega sekaligus haru penerimaan dari pertemuan dan perpisahan serupa ketam makara.
Tubuh dalam seni, bisa saja, saya akan mengatakannya sebagai atom dari yang conceptual tentang daur ulang/recycling gerak sebagai jejak yang memproses detail pengalaman tanpa adanya batas pasti antara satu panggung dengan satu realitas keseharian manakala kerangka desain direntangkan sebagai lapisan-lapisan layar dalam keberagaman media/multimedia yang mengalami penyesuaian untuk “ketertakbatasan melampaui peperangan tanpa batas”, cuplikan seni performa/performance art.
Pencarian dirinya dengan meninggalkan karnaval kehidupan bukanlah tentang menemukan segala hal yang pernah ditinggalkan dan dianggap hilang. Namun, menerima kehilangan dengan baik-baik saja. Altus, menyalinnya selentur alur yang masih acak pada setiap zarah di aorta. Kegelapan tidak pernah menawarkan suatu fobia selain gugat.
Mungkin, hanya di dalam nafas ini, seni serta cinta, hanyalah tentang gaduh yang seringkali eror saat menatap rincian desain konstruksi atas rasa sekaligus emosi, satu-satunya linimasa yang akan selalu ditikam tajamnya pasir dari pantai Laut Hitam. Saya hanyalah salah satu contoh kesalahan pengulangan atas kelahiran yang berakhir di dalam labirin cekcok, antara Mars dengan Venus yang terbakar, luruh menghulu dalam rengsa atas jelajah sungai-sungai Purgatorio; tidak pernah benar-benar mengucapkan kata “tamat” pada vibrasi toska.
Satu-satunya kalimat yang telah mengukir dalam-dalam dari Mpu Tantular: “Umandya donta carweka”, bagi perjalanan lain yang liar, yang sembunyi, yang untuk kehadirannya menjalani jalan panjang dari betapa beruntungnya saya ada di masa paska kemerdekaan.
Variasi Bulan Biru hanyalah suatu evolusi dalam fiksi sambil menikmati teh pala dan kayu manis sebelum sore hari. Sebuah kisah tentang rumitnya kesepakatan dan menjaga perkataan yang seringkali tidak memiliki makna apapun, selain buta dan sepi menjadi saksi gagalnya kalimat yang telah terucapkan.
Apakah hubungan antar manusia benar-benar telah dikembalikan di masa pandemi? Isolasi sebagai renungan psikososial "interpersonal" menjadi satu-satunya layar tragedi kehidupan, yang mungkin tidak akan pernah menjadi penawarnya, bahkan untuk desain budaya digital melalui "remote communication".
Membaca ulang perjalanan sebagai proses kontemplasi yang saling terkait sebagaimana siklus alam tidak memiliki keterpisahan yang benar-benar pasti. Begitulah catatan ini menjadi renungan di hari Minggu.
Membentuk tim yang hebat bukan sekedar menyatukan anggota yang terampil dan pengalaman, ini perkara mensinergikan kepribadian anggota tim.