Lupa kata sandi Tempo ID anda?
Belum memiliki akun? Daftar di sini
Sudah mendaftar? Masuk di sini
Pada kehidupan sosial yang semakin sempit ruang bernalar kritis, hampir dipastikan kebijakan hanya akan menguntungkan segelintir pihak. Boleh jadi jadi mimpi Indonesia Emas 2045 membumbung terlalu tinggi, hingga kita tidak mampu lagi menjangkaunya.
Bagaimanapun proses demokrasi memang fluktuatif, pasang-surut. Menurut Economist Intelligence Units 2023, nilai indeks demokrasi Indonesia 6.53, peringkatnya menurun dari 54 menjadi 56. Itu masuk kategori demokrasi cacat. Usai pilpres dibutuhkan harmonisasi para aktor politik. Pada tahap awal pembentukan formasi kabinet akan menjadi ujian, termasuk bagi partai pendukung.
Pemilu 2024 memberikan ruang kesadaran untuk bisa mempersiapkan dan membentuk oposisi berdaya Oposiis ini harus kuat memegang prinsip untuk berjarak dari kekuasaan. Di sanalah tugas kesejarahan dalam kehidupan berbangsa itu dimulai
Hasil Pemilu kali ini penuh anomali, tetapi harus diterima. Kualitas demokrasi tidak bisa didapatkan dalam sekejap mata. Pendidikan politik membutuhkan waktu untuk sampai pada kesadaran, bahwa ada hal-hal mendasar yang perlu kita perjuangkan mengenai kepentingan publik dibanding pertarungan elit.
Kita perlu membayangkan bagaimana hasil pemilu nanti. Kita tidak hanya menilai aspek keterpilihan semata, tetapi juga bagaimana proses yang menyertainya. Pemilu 2024 akankah menghasilkan kualitas kepemimpinan yang diperlukan bangsa ini?
Peran kesejarahan media, yang setidaknya dirunut sejak kemunculan acta diurna pada masa Julius Caesar di era Romawi, telah menciptakan ruang kesetaraan demokratis bagi semua. Untuk itu kebebasan pers dan media nasional perlu diperhatikan. Mereka telah mengabdi serta merawat negeri ini. Dirgahayu!
Selama ini para akademisi hidup di puncak gading dalam gua ilmu pengetahuan. Mereka berjarak dari realitas sosial, bahkan tenggelam secara hegemonik melalui rutinitas akademik-administratif. Kini mereka siuman dari pingsan berkepanjangan dan kembali menghidupkan ruh kritis atas kekuasaan .
keberhasilan proses pemilu hanya akan membawa dampak bila semua elemen yang bertanding mau mengambil jalur negarawan. Mereka tak boleh bertindak manipulatif ala machiavellian. Rangkaian kegiatan demokrasi akan menjadi kemenangan bersama bila seluruh prosesnya mengedepankan etika dan moralitas.
Beban belajar di bangku kuliah demikian berat, jangan ditambah lagi dengan beban bunga. Sesungguhnya kita tengah berhutang pada generasi masa depan bila gagal mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kita tentu berupaya untuk keluar dari jerat kepemimpinan yang berpotensi merepresi serta memanipulasi kehendak publik. Proses demokrasi dan pemilihan umum adalah pintu pembuka jalan untuk sampai pada situasi kebebasan atau terjerembab dalam celah gelap tak berujung.
Kuasa politik, berbicara tentang kenikmatan tidak terbagi. Padahal, kehidupan bersama harus mampu melampaui imajinasi terbaik dari apa yang dapat dibayangkan secara luas.
Kekeringan makna dalam kehidupan manusia menjadi penyebab hilangnya kemampuan kontrol. Dalam artikel The Posthuman Desert, (Zizek, 2023) disebutkan manusia bertanggung jawab atas pilihannya mengenai masa depan yang diprediksi sebagai tahap post-human.
Kita perlu memaknai kutipan “quis custodiet ipsos custodes?”, -lantas siapa yang akan mengawasi sang penjaga? yang merupakan refleksi filosofis penyair Romawi Juvenal. Tentu yang membatasinya adalah kedaulatan rakyat, karena tanpa hal tersebut kedaulatan digital bangsa akan sia-sia belaka.
Dalam kritik publik, ada upaya untuk melakukan evaluasi, koreksi maupun partisipasi, memastikan roda negara berjalan tegak lurus pada rel kepentingan publik. Itulah substansi demokrasi. Para penyelenggara kekuasaan tidak perlu merasa risih oleh kritik.
Di dunia media sosial hanya konten yang relevan yang mendapatkan perhatian netizen. Durasi pengambilan keputusan di media sosial juga terbilang singkat, hanya 1.7 detik. Maka konten perlu direncanakan guna mendapatkan impresi publik.
Perlu dipahami, sesungguhnya media sosial menjadi public space, medium dan ruang dalam definisi territorial yang memungkinkan akses informasi terjadi secara cepat dan meluas. Dalam posisi itu, public space semestinya didorong untuk menjadi public sphere, dimana percakapan dan interaksi komunikasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka pengembangan kehidupan demokrasi.
Alarm siaga! Sinyal kewaspadaan akan potensi defisit program BPJS Kesehatan telah disampaikan. Situasi tersebut diproyeksi akan terjadi pada 2025.
Tulisan ini menganalisis Kompas dan Tempo, yang secara bersamaan dengan kehadiran UU Kesehatan menurunkan berbagai artikel mengenai keberadaan regulasi baru tersebut. Konstruksi wacana kedua media massa ini, berbeda dalam melihat permasalahan.
Petinggi negeri kerap berbicara tentang devisa keluar di bidang kesehatan dampak banyaknya warga Indonesia yang berobat ke negeri jiran. Angkanya hampir mencapai 2 juta dengan kapitalisasi senilai Rp165 triliun rupiah. Secara nominal nilainya memang fantastis. Tetapi mengatasi problem kesehatan domestik jauh lebih besar dari sekedar kecemasan besaran devisa yang merembes ke luar itu.
Derajat kesehatan masyarakat terkorelasi dengan tingkat kesejahteraan ekonomi. Karena itu perlu kesungguhan pengambil kebijakan untuk menyelesaikan fenomena gunung es kesehatan ini.
Peran kepemimpinan diharapkan melampaui cara berpikir kecerdasan buatan. Karena itu pemimpin masa depan adalah mereka yang memiliki visi jangka panjang, mampu menimbang persoalan dan turunan solusi yang dapat dihadirkan menjawab permasalahan tersebut.
Senyap! Isu seputar sektor kesehatan belum terlihat dari ekspose politik para calon yang akan digadang berkontestasi pada kancah agenda politik 2024. Hal ini seolah menandaskan bahwa agenda kesehatan nasional, memang baru menjadi bagian pelengkap penderita dalam aras politik. Bersifat sekunder.
RUU Kesehatan yang menjadi “milik bersama” hanya akan menjadi sebuah realitas manakala isu-isu kesehatan tidak ditempatkan sebagai agenda sekunder. Sesuatu yang sangat mungkin tenggelam di antara hingar-bingar kepentingan kontestasi politik nasional. Untuk itu, rasanya kita masih harus terus berharap
Jangan sampai, sebuah aturan ditetapkan dengan menggunakan pendekatan kekuasaan. Upaya menghentikan perdebatan, dilakukan dengan surat edaran, sangat disayangkan. Dilain pihak, barisan pendukung keberadaan RUU Kesehatan seolah diperhadapkan, berpotensi menimbulkan friksi horisontal. Semua pihak sepakat bahwa persoalan kesehatan penting untuk dibenahi, khususnya pada aspek fundamental, yakni perbaikan sistem kesehatan nasional, dibutuhkan komitmen riil dalam politik dan anggaran.
Manakala faktor politik yang didorong ke publik hanya mengedepankan aspek sentimental dan emosional, sementara edukasi rasional terabaikan, kita sesungguhnya tengah menghitung mundur peradaban.
seorang ahli bedah saraf, Prof dr Zainal Muttaqin, SpBS, PhD, diberhentikan dari pekerjaannya di RS Kariadi Semarang, karena kerap memiliki pandangan dan suara berbeda yang disampaikan dalam tulisan di berbagai media. Bila sudah sedemikian jauh, upaya untuk membungkam opini dan pemikiran, terlebih menggunakan jalur kekuasaan, mungkin Anda bisa menebak kemana arah keputusan akan berlabuh?
Bila kita tergopoh-gopoh mendorong RUU Kesehatan, tanpa melihat konsekuensi utuh yang terkait dengannya, maka bisa jadi kita justru tengah mempertaruhkan masa depan bangsa ini.
Prinsip kemandirian sistem kesehatan nasional perlu perhatian khusus. Harus ada terintegrasi rantai pelayanan kesehatan dari hulu ke hilir.Tentu akan panjang jalan yang mesti dilalui, tetapi di situlah letak esensi kepemimpinan serta kekuasaan. Tak bijak hanya mengambil langkah pintas lalu mengagungkan semua yang berbau asing.
Pada konteks lokal, soal Piala Dunia U20 dan kedatangan timnas Israel juga tidak akan viral kalau tidak diberi bobot politik. Kepala daerah menolak, ditambah dengan partai politik. Bahkan ketua PSSI yang juga menteri, diperintah presiden untuk melobi FIFA. Semua seperti nampak sedang bermain bola di gelanggang.
Kasus serupa antara Kemenkeu dan ICW terkait arus informasi yang terbuka menjadi ruang konflik antara publik dan pengelola negara. Kita tidak hadir di ruang kosong dimana informasi bersifat senyap. Kerahasiaan terbesar terkait sebuah informasi, diukur dari kebermanfaatan data tersebut bagi publik.