i/
di setiap sudut kota kering dan asing
suasana liar dan sunyi—menonton setiap kata
yang ramai diperbincangkan lelaki
sedang para perempuan diam menenunnya dalam air mata.
setiap melihat musim hujan membanjiri kelopak anggrek
aku gemetar—membungkuk di dinding
menyaksikan setiap puing yang mengalir
seperti dicuci dari tanah bajak
lebih cepat daripada bayangan di hari badai.
ii/
pada setiap pucuk bunga matahari
aku melihat—bulu dua ekor kupu-kupu jatuh
tanpa berbalik dan bertanya
“apakah yang tertinggal adalah hadiah kepada setiap mata yang menatap?”
seperti butiran air yang kehilangan di setiap embusan
dan jalan-jalan setapak menjadi saksi ceritanya.
aku pejamkan mata sejenak—mengenang kepergian hari ini
ada yang berdentang di hati, ada yang pecah, ada yang retak berkeping-keping
tetapi di beranda tanah lapang
masih ada yang menyatu—desir lumpur
dan segalanya yang aku tak tahu.
iii/
aku seperti mempelai sunyi
meluncur di jalan lurus
memburu setiap luka yang hendak pergi bersama senja
memerah—bagai anggur darah
yang berkilau dari altar para dewa.
aku mau mengulang peristiwa hujan
sambil memunguti tanah pijakan
tempat menyusun kisah-kisah
dan hal-hal kecil lain yang telah aku siapkan
untuk menanam kehidupan di ladang esok.
Atambua, 17 Februari 2022
Ikuti tulisan menarik Silivester Kiik lainnya di sini.