x

Iklan

Mizan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Oktober 2019

Sabtu, 21 November 2020 13:22 WIB

Dilema RUU Minol

Akankah RUU Larangan Minuman Beralkohol akan mampu mengatasi dampak dari minuman beralkohol di masyarakat? Karena bisa disebut RUU Minol ini ibarat sebuah dilematis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dilema RUU Minol

Oleh Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)

Sebanyak 21 anggota DPR RI yakni 18 orang dari PPP, 2 orang dari PKS dan 1 orang dari Gerindra, sepakat mengusulkan RUU tentang larangan minuman beralkohol (minol). Sejak Februari lalu, RUU tersebut diusulkan. Baru pada tanggal 10 Nopember 2020 mendapat tanggapan dan dibahas di Baleg DPR RI (www.liputan6.com, 19 Nopember 2020).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

RUU Minol tersebut tentunya diusulkan guna mengendalikan peredaran minuman keras di tengah masyarakat, di samping juga melarangnya. Di dalam konsiderannya terkandung tujuan mulia untuk mewujudkan lingkungan masyarakat yang baik dan sehat. Bahkan disinggung pula terkait hak setiap warganegara untuk mendapatkan lingkungan kehidupan yang baik dan sehat, sejahtera lahir dan batin, yang merupakan kewajiban negara berdasarkan UUD 1945.

RUU Minol ini pertama kali diusulkan DPR pada 2009, hanya saja tidak disahkan. Lalu dibahas ulang di 2014 dan 2019. Sekarang di tahun 2020, RUU tentang minol inu kembali diusulkan dan dibahas. Dari sini bisa dipahami bahwa RUU Minol ini dalam pembahasannya cukup alot. Tidak bisa dengan serta merta tatkala di dalam konsiderannya dicantumkan tujuan yang baik lantas semua pihak tidak memahami sesuai dengan persepsi masing-masing. Artinya pro dan kontra tidak sepi melingkupinya.

Disebut sebagai RUU Larangan Minol, akan tetapi antara konsiderannya dengan beberapa pasal tertentu menunjukkan tidak sinkron. Di dalam pasal 8 ayat 1 disebutkan bahwa pelarangan minuman beralkohol di pasal 5, 6, dan 7 tidak berlaku untuk kepentingan terbatas. Selanjutnya Pasal 8 ayat ke-2 dijelaskan maksud dari kepentingan terbatas, yaitu kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi dan tempat-tempat tertentu yang diatur sesuai peraturan perundang-undangan.

Tatkala dipahami bahwa minuman beralkohol atau minuman keras ini memang menimbulkan dampak yang tidak baik bagi kehidupan mestinya pelarangan tersebut tanpa ada pengecualian. Hanya saja memang disinilah letak dilematis RUU Minol tersebut.

Tatkala dilakukan pelarangan total terhadap minuman beralkohol atau miras ini terdapat sinyalemen akan bisa mematikan industri pariwisata. Efek ikutan berikutnya adalah investasi akan mandeg. Di samping itu devisa negara akan berkurang. Devisa negara dari cukai miras sekitar Rp 7,3 trilyun di tahun 2019. Padahal investasi di sektor miras adalah investasi yang berbahaya. Begitu pula pariwisata yang mestinya bisa sejalan dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Demikianlah kehidupan dalam sistem sekuler. Sesuatu yang jelas keharamannya masih harus menjadi bahan perdebatan. Bahkan ditanyakan pula urgensi dari pembahasan RUU Minol tersebut.

Menurut data WHO bahwa konsumsi miras di Indonesia masih terkategori rendah yakni 0,8 liter per kapita. Sedangkan di Asia, tingkat konsumsi miras sekitar 3,4 liter per kapita. Artinya bila dipaksakan untuk mengesahkan RUU Minol tersebut akan memicu terjadinya konsumsi miras oplosan menjadi meningkat. Sebenarnya logika demikian mirip seperti kasus pelacuran. Bila pelacuran dilarang tentunya akan memicu pelacuran terselubung yakni di jalan-jalan. Hal ini dikatakan lebih berbahaya karena dampaknya tidak terkontrol dan semakin meluas. Maka diambillah jalan tengah dengan mengaturnya, tidak melarangnya. Mengaturnya dengan membuat lokalisasi.

Pertanyaannya, apakah dengan mengaturnya tersebut bisa membatasi dampak dan meluasnya pelacuran dan perzinahan? Ternyata pelacuran dan perzinahan tidak hanya terjadi di dalam lokalisasi bahkan di luar lokalisasi. Sebagai contoh terjadinya pesta seks 33 pelajar SMP di sebuah hotel. Mirisnya praktek pelacuran pun merambah melalui dunia maya. Tentunya dampaknya tidak terkontrol dan cepat meluasnya.

Diakui atau tidak minol menjadi pemicu kejahatan. Wajar apabila di dalam Islam, minol atau miras disebut sebagai ummul khobaits (biangnya keburukan). Di tahun 2015, Kajari Bandung, Dwi Hartanta menyatakan bahwa 55% dari kasus kejahatan yang ditanganinya adalah dikarenakan faktor miras. Data dari tahun 2018 hingga 2020 terdapat 223 kasus kejahatan yang dipicu oleh miras. Urgen sekali bagi bangsa ini untuk memiliki regulasi yang menyeluruh dalam menangani miras dan bahayanya.

Tidak bisa pula dikatakan bahwa RUU Minol ini sebagai upaya Islamisasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk. Karena dengan label Islamisasi akhirnya diarahkan pelarangan minol hanya mengikat umat Islam. Padahal semua orang mempunyai hak asasi untuk hidup di dalam lingkungan yang baik dan sehat, selamat dari bahaya minol termasuk bahaya narkoba.

Mengatasi persoalan minol dan bahayanya dengan tuntas dan baik, tentunya akan bisa mewujudkan kehidupan yang baik dan sehat, serta sejahtera lahir dan batin. Asas kehidupan sekuleristik, pertama kali memang harus dicabut dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlu ada penjelasan yang memadai akan pentingnya kehidupan berasaskan Aqidah Islam. Dengan asas Islam tersebut, betul-betul manusia akan terbebas dari kungkungan hawa nafsunya. Halal dan haram menjadi standar perilakunya.

Selanjutnya minol atau miras akan dilarang secara total dalam kehidupan, baik dari memproduksi, memperjualbelikan, berinvestasi dan mengkonsumsinya. Alkohol yakni etanol ini hanya diperlukan dalam bidang ilmu kesehatan dan kedokteran sebagai anestesi dan antiseptik.

Disebut melarang total adalah tidak lagi memperhitungkan kadar etanolnya sedikit atau banyak, bisa memabukkan atau belum, tatkala hukumnya memang haram, ya mutlak, tidak lagi bisa ditawar-tawar. Bahkan sangsi yang tegas akan dikenakan kepada mereka yang mengkonsumsi yakni dicambuk 40 atau 80 kali. Sedangkan bagi yang memproduksi dan memperdagangkannya akan dikenakan sangsi takzir yang sepadan dengan tingkat kejahatan dan dampaknya.

Terkait dengan perekonomian negara. Maka negara tidak akan mengambil sumber pendapatannya dari hal-hal yang diharamkan. Dengan demikian aturan perundang-undangan negara akan mempunyai Wibawa di mata masyarakat.

Dalam hal perekonomian, negara akan melakukan pengelolaan terhadap aset-aset kepemilikan umum berupa SDA dan aset kepemilikan negara. Negara akan melakukan upaya menasionalisasi SDA yang dikangkangi oleh korporasi baik swasta lokal maupun asing. Negara akan mengolahnya demi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyatnya. Walhasil, hal demikian akan bisa diwujudkan ketika kehidupan berbangsa dan bernegara diatur dengan aturan Islam secara paripurna.

# 19 Nopember 2020

Ikuti tulisan menarik Mizan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler