x

Mengatur strategi melawan kebuntuan berpikir

Iklan

Kim Yumna Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 November 2021

Minggu, 5 Desember 2021 12:45 WIB

Satu Kata, Lawan!

Ayo bangkit Fiona! Lawan mereka!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tetttt!!

Suara bel masuk mengusik telinga Fiona. Dia berlari kencang memasuki gerbang yang hampir ditutup oleh pak satpam. “Tunggu, Pak! Jangan ditutup dulu gerbangnya!”

Fiona melesat cepat melewati gerbang, mempercepat langkahnya menyusuri lorong sekolahnya yang cukup panjang. Dia hendak menuju tangga ke lantai dua. Sungguh tidak enak harus memiliki kelas di lantai dua. Karena Fiona sering datang terlambat, harus rela ngos-ngosan demi mencapai kelas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bruk!

Tanpa sengaja, dia menyenggol seseorang yang baru saja turun dari tangga. “Maaf!”

Ketika Fiona hendak menaiki satu anak tangga, lengan kanannya ditarik secara tiba-tiba dari belakang. Sekonyong-konyong, tubuhnya melayang ke belakang, jatuh terhempas ke lantai keramik yang cukup keras.

“Aduh!” rintih Fiona sambil mengusap punggungnya yang pegal. Pikirannya masih berusaha mencerna tentang apa yang terjadi dengannya barusan.

“Maaf? Cih!” Suara sinis seorang perempuan terdengar tak begitu jauh dari posisi Fiona berada. Fiona mendongak, dia akhirnya tahu dari mana suara itu berasal.

Tiga orang perempuan berseragam batik kelas IX berdiri tak jauh dari tempat Fiona terduduk. Mulut Fiona menganga menatap mereka. Tubuhnya gemetar. Belinda! Kakak kelas tukang bully yang paling keji di sekolah ini.

“Wah, wah, si Kunyuk ini cari mati denganmu, Belinda!” teriak salah satu dari mereka. Perempuan yang dipanggil Belinda, berambut lurus panjang, tengah mengipasi lehernya dengan kipas angin portable, mukanya memerah menahan amarah, “Sialan! Padahal baru kemarin mama beliin benda ini, dan sekarang jadi rusak gara-gara dia.”

Kedua kawan Belinda meraih satu-persatu pecahan-pecahan kaca yang berserakan. Mereka berdua menyatukan serpihan demi serpihan itu menjadi satu, membentuk kata ‘BLINK’.

“Kamu!” teriak Belinda sambil menunjuk Fiona dengan telunjuknya.

“Cepat ganti gantungan kunci ini!” Perintah Belinda terdengar begitu menghujam ke dalam diri Fiona. Mengganti gantungan kunci itu? Bagaimana bisa?

Gantungan kunci yang telah pecah berkeping-keping itu adalah merchandise khusus untuk para fans grup band BLACKPINK. Blink yang asli harus beli di Korea, sehingga harganya sangat mahal. Oh tidak! Fiona tersadar, ia sudah melakukan kesalahan yang sangat besar.

Fiona menelan ludah dengan susah payah. Bagaimana dia bisa mengganti gantungan semahal itu? Meminta bapak dan ibu membelinya langsung dari Korea? Mana mungkin! Ibu hanyalah seorang guru les privat yang penghasilannya tak seberapa. Bapak pun hanyalah seorang driver ojol yang pendapatannya juga tak menentu.

Perlahan, Fiona berusaha bangkit dengan punggung yang masih ngilu. Dengan yakin, ia berkata, “Maaf, Kak, aku tidak mampu mengganti gantungan kunci Kakak,” kata Fiona terbata-bata sambil menundukkan wajahnya.

Kedua bola mata Belinda membesar, merah menyala seperti bola api yang siap menelan Fiona bulat-bulat, “Sudah kuduga, kamu nggak bakal mampu mengganti gantunganku yang mahal ini. Dasar miskin!” bentak Belinda, “tapi, hmm. Baiklah, aku akan memberikanmu kesempatan.”

Baru saja Fiona merasa sedikit lega, Belinda tiba-tiba berkata, “Kamu harus menjadi pelayanku. Semua perintahku, maupun perintah kedua sahabatku ini harus kau laksanakan. Tetapi, jika kamu melawan….”

Suara Belinda berhenti sejenak. Dia memberi isyarat kepada kedua temannya yang tak bisa Fiona pahami. Sekonyong-konyong, sebuah tamparan melayang ke pipi kiri Fiona. Tak hanya itu, telapak tangan kanannya ditarik ke bawah dan diinjak keras dengan sepatu, “Aw!” jerit Fiona. Tubuhnya kembali terguncang, menahan sakit yang teramat sangat.

Belinda memberi isyarat kepada teman-temannya supaya berhenti. Fiona memegang pipi yang sakit dengan tangan kirinya.

“Nah, itulah yang akan kamu dapatkan jika kamu melawanku. Ngerti?” Fiona buru-buru mengangguk, dia tak ingin membuat masalah ini semakin panjang. Buliran-buliran air bening perlahan jatuh berkejaran dari kedua pelupuk matanya.

***
Dua minggu berlalu sejak peristiwa itu. Fiona masih terus menjalani perannya sebagai pesuruh dari Belinda dan kedua temannya, Eliza dan Alana. Setiap hari tanpa henti, dia akan disuruh membelikan mereka makanan, mencucikan piring bekas makanan mereka, dan lain sebagainya.

Sekolah Fiona adalah sekolah yang menerapkan prinsip zero waste, zero plastic, dan self-service. Di kantin sekolahnya, semua murid diwajibkan untuk membawa piring sendiri tiap akan membeli makanan. Piring bekas makanan pun juga harus dicuci sendiri oleh sang murid. Setiap Belinda dan gengnya selesai makan, mereka selalu menyuruh Fiona untuk mencucikan piring mereka.

Hari demi hari terasa seperti di neraka bagi Fiona. Bagaimana tidak? Apabila ada sedikit kesalahan, setiap Fiona hendak pulang, Belinda dan gengnya selalu siap menghadangnya. Fiona dibentak, dicubit, didorong, dijambak. Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, dia tak punya pilihan untuk melakukan perintah dari geng Belinda.

Hingga suatu hari ketika waktu istirahat berlangsung, Fiona kembali dari kelas Belinda dengan seragam yang kusut. Rambutnya acak-acakan. Satu sisi pipinya lebam. Lengan kanannya biru memar. Teman-teman sekelas Fiona memandang Fiona dengan pandangan kasihan.

“Astaga Fiona! Kenapa kamu jadi kayak gini?” Madeleine, teman sebangku Fiona datang menghampiri, “ulah kakak-kakak kelas itu?”

Fiona mengangguk lemah, ia berjalan melewati Madeleine menuju bangkunya. Dia menaruh kepala di atas meja dan berkata, “Aku belum makan sejak pagi tadi, karena itulah aku berniat menunda sebentar untuk membelikan makanan untuk Kak Eliza. Namun, aku malah mendapatkan semua hukuman ini.”

Madeleine mendengarkan sambil duduk di kursi depan bangku Fiona. Ia mengangguk-angguk mengerti. “Kejam sekali mereka, aku sampai tidak habis pikir.”

“Ya, begitulah,” Fiona menjawab dengan suara parau, lengan kanannya terasa ngilu, “semua ini salahku. Jika saja aku tak merusak gantungan kunci Kak Belinda, takkan ada kejadian seperti ini.”

“Tidak! Semua ini bukan salahmu!” sergah Madeleine menepis pernyataan Fiona, “kan kamu nggak sengaja. Mereka saja yang terlalu berlebihan.”

Fiona menunduk sedih. “Yah, mau bagaimanapun semua sudah terjadi. Aku tak ada pilihan lain.”

“Apa tidak sebaiknya kita laporkan mereka kepada guru?” Madeleine memberi saran.

“Jangan!” pekik Fiona kencang. Madeleine terperanjat, hampir terjatuh dari kursinya. “Guru-guru belum tentu akan percaya. Aku tidak punya bukti. Lagipula, keluarga Kak Belinda adalah keluarga yang terhormat di kota ini. Useless!”

“Fiona, dengar, jika kamu diam seperti ini, kamu akan menjadi bulan-bulanan mereka terus-menerus! Mereka akan semakin menjadi-jadi!” tegur Madeleine tegas, “Ayo bangkit Fiona! Lawan mereka!”

Fiona mengangkat kepalanya. Dia tak menyangka masalahnya bisa seserius ini. Namun, dia tak tahu harus berbuat apa.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, kata-kata Madeleine terus terngiang-ngiang di kepalanya.

Setelah berganti baju dan makan, Fiona menjatuhkan tubuhnya yang letih di atas ranjangnya. Dia menatap langit-langit kamarnya yang dipenuhi oleh sarang laba-laba. “Aku ingin sebebas kamu, laba-laba. Bebas berpindah ke sana-sini aman tanpa gangguan,” gumam Fiona. Dirinya sedang berusaha mengingat dan menginternalisasi kata-kata Madeleine di sekolah tadi.

Memar di tangan kanannya karena diinjak sepatu pantofel hitam milik Belinda, rasa perih di pipi kanan setelah ditampar, pedih di rambut akibat jambakan tangan Belinda, semua itu tergambar dengan jelas di langit-langit kamar Fiona, “Madeleine benar. Aku nggak boleh begini terus! Aku harus berani melawan mereka!” teriaknya, sambil mengepalkan kedua tangannya dengan penuh keyakinan. Semangatnya berkobar seperti api unggun yang menyala-nyala.  

Fiona bangkit dari ranjang dan meraih ponselnya di atas meja, “Halo Madeleine, ini Fiona. Setelah aku renungkan, kata-katamu siang tadi benar. Tapi, bagaimana caranya aku melawan mereka dan mengatasi semua ini?”

“Jangan khawatir, percayakan kepada Madeleine yang jenius tapi baik hati ini. Aku pasti akan membantumu!”

***

Rabu hari ini, matahari tidak terlihat sama sekali. Suasana saat itu gelap dan suram. Langit dikelilingi awan abu-abu, memberikan kesan kelam.

Saat itu sekolah Fiona memasuki jam istirahat kedua. Belinda dan kawan-kawan seperti biasa memanggil Fiona ke kelasnya untuk melakukan sesuatu yang akan mereka perintahkan.

“Heh! Belikan aku siomay di kantin sekarang!” perintah Belinda sambil melempar uang ke muka Fiona.

Fiona mengepalkan kedua tangannya erat. Dia sudah menguatkan tekadnya. Tanpa ragu-ragu, dia menjawab, “Nggak mau!”

Kedua kata itu membuat lidah Belinda seketika tercekat. Eliza dan Alana yang duduk di sebelah Belinda sembari memakan keripik kentang melongo. “Hah? Apa kamu bilang?” bentak Belinda.

“Sudah kubilang, aku nggak ingin melaksanakan perintahmu! Kalau mau, beli saja sendiri!” pekik Fiona, membuat teman-teman sekelas Belinda yang sedang sibuk sendiri menoleh ke arah mereka.

Plok! Plok! Plok!

“Wow hebat, dia mencoba menentangmu, Belinda!” celetuk Eliza sambil bertepuk tangan keras keras.

“Berikan dia hukuman yang seberat-beratnya, Bel!” timpal Alana geram.

Belinda beranjak dari kursinya. Dia berjalan mendekati Fiona yang menatap lurus Belinda.

Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Fiona, “Kamu, mau melawanku? Heh, kamu itu pelayanku, tahu! Berani-beraninya menentangku seperti ini!”

Belinda melayangkan tendangan ke perut Fiona hingga ia jatuh tersungkur. Fiona terbatuk-batuk sambil mencengkeram perutnya yang luar biasa nyeri. Tak cukup sampai di situ, Belinda memelintir dan mencubit lengan kiri Fiona dengan segenap tenaga. 

Teman-teman sekelas Belinda hanya mampu menyaksikan penyiksaan itu dengan perasaan ngeri. Beberapa di antara mereka menutup mata tak tega melihat pemandangan memilukan itu. Mereka ingin menghentikan kebrutalan Belinda. Namun apa daya, mereka merasa tidak mampu berbuat apa-apa. Selama ini, mereka tidak berani berhadapan dengan Belinda. Bahkan berusaha menghindar untuk berurusan dengan anak dari pejabat daerah di kota itu.

Bagi mereka, Belinda dan kedua temannya adalah orang terkejam di penjuru sekolah ini. Siapapun yang terlibat masalah dengan Belinda dan teman-temannya, tidak pernah selamat. Membantu Fiona sama saja mencari mati.

“Puas?” Belinda memandang Fiona jijik. “Itulah akibat membantah perintahku!”

Fiona perlahan berdiri sembari menahan sakit di sebagian tubuhnya. Ia mengusap kasar air mata yang entah sejak kapan berhamburan dari pelupuk matanya. “Sejak awal, kamu tak pantas terus-menerus memaksaku. Aku bukan babumu. Aku memang salah karena telah merusak gantungan kuncimu, tapi…”

Fiona menjeda kalimatnya sambil menatap tajam Belinda. “kamu sudah keterlaluan, Belinda! Kamu siksa aku. Kamu samakan aku dengan binatang!”

Fiona pun mulai berdiri. Ia berjalan pelan mendekati Belinda sambil memegang perutnya yang terasa perih. Ia melangkah dengan penuh keyakinan. Rasa takutnya terhadap Belinda selama ini seolah sirna.

“Dengar ya, aku nggak suka dengan kelakuanmu. Hidupku yang tenang dan damai jadi berantakan gara-gara kamu!” Fiona berjalan perlahan mendekati Belinda.

Semua orang yang menonton berdecak kagum. Mereka saling berbisik-bisik terpukau kepada Fiona, yang berani menentang Belinda. Sosok yang selama ini mereka kenal sebagai seseorang yang tak kenal ampun terhadap siapapun.

“Tolol. Siapa suruh kamu merusak gantungan kunci kesayanganku!” jawab Belinda tak kalah sengit, sambil menjentikkan kedua jari telunjuk dan jempolnya ke dahi Fiona.

 “BELINDA!”

Sekonyong-konyong, terdengar suara menggelegar dari luar kelas. Semua orang sontak menolehkan kepala ke arah suara berasal.

Muncul seorang perempuan paruh baya bertubuh tinggi, dari balik pintu kelas. Dia memakai setelan kemeja berwarna biru muda. Rambutnya hitam sebahu. Dia berjalan dengan tegap ke arah Belinda dan Fiona. Matanya tajam menatap Belinda. Raut wajahnya tegang. Tak sedikit pun menyisakan senyum di kedua sudut bibirnya.

Belinda sangat terkejut begitu menyadari siapa yang memanggil namanya. “Miss Lily…” Belinda merasa kikuk berhadapan dengan perempuan itu.

“Kamu benar-benar memalukan, Belinda. Ternyata rumor tentang kamu sebagai tukang bully di sekolah ini benar adanya,” kata sosok yang Belinda panggil Miss Lily itu.

“Nggak Miss. Ini hanya salah paham,” ujar Belinda mengelak, “bukankah begitu teman-teman?”

Tak satu pun orang di kelas itu menyahut pernyataan Belinda. Belinda semakin gugup. Bahkan Eliza dan Alana, sahabat yang biasanya selalu membelanya dan menuruti semua keinginannya kini justru terdiam, tak berani bersuara sedikit pun menghadapi Miss Lily.

“Belinda, ikut saya ke ruang kepala sekolah!” perintah Miss Lily.

“Miss! Saya tidak—”

“Kamu bisa jelaskan semuanya di hadapan kepala sekolah nanti, oke?” potong Miss Lily, “ikut saya atau saya panggil orangtuamu ke sini sekarang juga!”

Dengan lemas, Belinda mengikuti langkah Miss Lily, keluar dari ruang kelas.

Tak lama kemudian, Madeleine datang bersama dengan seorang murid laki-laki bertubuh jangkung, “Fiona!” seru Madeleine kepada Fiona yang masih syok. 

“Madeleine!”  seru Fiona kaget, “kamu kok di sini?”

“Oh ya, kamu ingat Kak Aaron kan? Mantan ketua OSIS kita yang dulu? Aku lupa cerita, Kak Aaron itu kakak sepupuku. Kebetulan dia satu kelas dengan Kak Belinda.”

Anak laki-laki yang bernama Aaron itu berkata, “Hai Fiona, aku sudah tahu tentangmu dan Belinda. Sebenarnya aku sudah lama nggak suka dengan tingkah laku Belinda di sekolah. Tapi baru kali ini, aku bisa membuktikan perbuatan Belinda kepada pihak sekolah.”

“Tetapi, bagaimana caranya—”

“Kak Aaron yang dari tadi merekam siaran langsung antara kamu dan Belinda!” jawab Madeleine.

“Huh? Terus, bagaimana caranya Miss Lily bisa tahu dan datang ke sini?” tanya Fiona lagi.

“Siaran ini disaksikan secara langsung oleh kepala sekolah dan Miss Lily, guru BK kita.” Kali ini, Aaron yang menjawab.

“Sekarang, kamu nggak usah khawatir lagi, Fiona. Kamu aman sekarang,” hibur Madeleine sembari menepuk lembut punggung Fiona.

“Yuk guys, kita ke ruang kepala sekolah. Kepsek dan Miss Lily pasti sedang menunggu kita di sana,” ajak Aaron.

“Tuhan, terimakasih,” gumam Fiona lirih.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Kim Yumna Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler