x

Iklan

Lutte

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Rabu, 8 Desember 2021 23:58 WIB

Tanda (Kurang) Baca

Ada banyak tanda yang mengindiksasikan seseorang yang kurang membaca; hanya membaca deskripsi dari cerpen fiksi ini misalnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Suasana dapur itu sangat bising: wajan berisi minyak panas ribut keras dengan potongan kangkung segar yang baru keluar dari genangan air di dalam baskom. Menceburkan diri ke dalam tempat yang asing memang penuh pertentangan. Tapi siapa yang peduli dengan semua itu? Gumam seorang ibu yang sedang memasak. Tak ada petunjuk untuk berhati-hati saat memasak di dalam buku resep, apalagi di grup WhatsApp.

Seperti sebuah kalimat tanpa satupun tanda baca, gerombolan potongan kangkung segar itu terlihat kacau. Masing-masing dari mereka tak tahu cara untuk menjelaskan, bertanya, mengingatkan dan juga berhenti. Kumpulan kangkung itu hanya bisa berteriak. Teriakannya juga aneh dan penuh ketidakjelasan. Entah teriak ketakutan minta tolong, atau teriak menggertak menantang. Entahlah, maksud mereka memang tak pernah jelas. Yang jelas hanya satu: seluruh potongan kangkung segar pun beralih ke atas wajan.

Kebisingan kembali menguap, beriak mengisi seluruh dapur. Meski kacau, kangkung tidak mudah menyerah: mereka mencoba sebaik mungkin untuk melawan. Dikerahkannya seluruh kekuatan, hingga sang ibu harus turun tangan membantu wajan dan minyak panas. Dengan tangan kanannya, sang ibu meraih spatula lalu membalik dan mengobrak-abrik perlawanan kangkung. Pertempuran pun berjalan tak seimbang. Semakin lama, kebisingan semakin menciut. Potongan kangkung semakin tak berdaya: layu, terkapar lemas di tempat yang jauh dari kampung halamanya.

Di meja makan, anak dari sang ibu yang masih kelas satu SD, sedang kebingungan mengerjakan tugas sekolah. Keningnya mengerut hebat, dan tatapannya terlihat kosong. Padahal, gurunya dengan sangat ringan mengatakan bahwa tugasnya sangat mudah: hanya menulis sejarah tanda baca.  

Eih, yang benar saja?! Sang anak kaget, tanda—tak—seru. Mana bisa asal-usul tanda baca bisa dengan mudah kuterima? Baca kata bata saja masih terbata-bata, apalagi menulis tanda baca dan segala riwayatnya. Aku yang payah atau orang dewasa yang konyol? Dengan kekagetan yang belum sepenuhnya hilang, sang anak pun mengeluh:

"Bu! Ada tugas tentang sejarah tanda baca!”  

Kekagetan sang anak lebih mengagetkan sang Ibu:

“Hih, begitu pesatnya kemampuan yang harus diraih anak-anak sekarang ini” gumam sang ibu tersamarkan kebisingan dapur. “Segala ketertinggalan di masa lalu harus mereka kejar sejak dini. Sedikit saja tertinggal, anak-anak hanya akan terus dicap tertinggal—tak terkecuali anakku. Pendidikan di negara kita konon tertinggal 128 tahun, tapi apa benar separah itu dan harus seberat ini? Hih, andai saja aku mafhum soal kurikulum, tahu apa yang sedang dikejar oleh negara kita, dan tahu apa diperlombakan semua negara dalam pendidikan, mungkin aku tak perlu berpikir sedalam ini ketika memasak.

Memang benar, negara kita sangat memerlukan pemerataan. Ketersedian belajar untuk semua anak harus bisa diwujudkan, sepantas-pantasnya, juga sebebas-bebasnya. Tapi kukira, hanya itu yang perlu segera dituntaskan. Untuk hal-hal lain, masa ia harus mengikuti negara lain? Bukankah lebih baik berubah haluan lalu membalikan keadaan? Siapa yang bisa mengejar kita saat negara lain mengejar yang bukan kita kejar?

Ah, siapa juga yang akan peduli dengan semua itu? Tak ada yang pernah membahas itu dalam buku resep dan juga grup WhatsApp. Lagi pula, setiap orang hanya peduli pada anaknya: seperti aku pada anakku”

Atas nama kewajiban dan kehormatan, sang ibu akhirnya bereaksi sembari mencoba melupakan kekagetannya:

"Tentu saja, nak. Ada apa? jangan bertele-tele! tanyakan saja langsung apa yang ingin kau tanyakan!"

Mendengar perintah itu, dengan cepat, dan tanpa sedikitpun ancang-ancang, sang anak langsung menguji fokus sang ibu yang sedang memasak dengan sebuah pertanyaan:

"Bagaimana asal mula titik, bu?".

 Sang ibu makin kaget. Mana tahu dia asal-usul titik. Dia sangat asing dengan titik. Tak pernah ia memakainya untuk mengakhiri percakapan, atau memulai topik lain dalam percakapan. Alasannya simpel: yang penting penerima pesan mengerti, dan dia mengerti apa yang dimaksud pengirim pesan.  Apalah daya titik pada kehidupannya? Keberadaannya tak akan membuat masakannya enak dan membuat keluarga harmonis. Sang ibu hanya tahu bentuk titik, titik dua, dan tiga titik yang sejajar. Ya, hanya bentuk, dan baginya itu saja sudah cukup. Dia tak pernah menyelami fungsinya,  apalagi sejarahnya. Saat itu sang ibu benar-benar tidak tahu, tapi kehormatannya sebagai orang yang lebih dewasa selalu membuatnya ingin terlihat serba tahu. Dia pun mencari cara untuk terlihat tahu di tengah ketidaktahuannya. Dia tahu dia masih perlu waktu, dan dia akhirnya mengeluarkan alasan untuk menunda-nunda jawaban dari pertanyaan sang anak:

"Ceritanya panjang, nak".

"Bisakah ibu memendekannya untukku?" 

"Tentu saja bisa. Tapi tetap saja lebih baik cerita panjangnya" 

"Jadi bagaimana cerita panjangnya, bu?"

Hih, anak-anak, gumam sang ibu risih. Semakin banyak diberi alasan, kelakuannya malah semakin tak tertahankan. Tak ada yang bisa dilakukan: mau tak mau sang ibu harus segera memulai. Sembari terus memasak, samar-samar pikirannya terus meluas. Dia mencoba mengingat kembali segala pengetahuan yang pernah dipelajarinya di sekolah. Barangkali ada pengetahuan yang masih berguna, gumamnya datar.  Dengan mata setengah tertutup, dia pun berhasil menangkap satu pengetahuannya. Ia mengingat sebuah revolusi, tapi masih kurang ingat detailnya dengan pasti. Dia hanya ingat, dalam revolusi itu, ada semboyan yang sangat menarik perhatiannya. Kurang lebih semboyannya seperti ini: Bebas, Setara, dan Bersaudara.

Sang ibu senang, tidak kepalang bangganya. Semboyan itu membuatnya yakin pada ketidaktahuannya. Tak ada yang salah dan benar, meyakinkan dan samar, kuat dan lemah, semua informasi bebas, setara, dan bersaudara, apalagi saat berada grup WhatsApp. Setengah pengetahuannya dan imajinasinya pun berpadu. Ia memulai:

"Kau tahu tiga titik yang berbaris?" Sang ibu yang tidak tahu nama barisan titik itu mencoba bertanya sambil mempertahankan reputasinya.

"Elipsis kan, bu? Kenapa memang dengan tanda baca itu?"

" Ya, itu maksud Ibu, elipsis. Tidak ada apa-apa. Sekarang, dengar baik-baik dan catat!”

Sang anak tak menjawab. Dia hanya menyiapkan pensilnya, sembari berharap jari tangannya bisa mendengar apa yang ibunya katakan.

“Dulu, antara tahun 1789—1799, dunia titik mulai masuk dalam zaman kebaruan” 

Sang ibu mencoba mengutip sebuah ungkapan, tapi tak tahu kapan dan di mana dia menemukannya. Siapa yang menulisnya pun tidak tahu. Dalam ingatan terbatasnya, dia yakin pernah menemukan ungkapan itu di story WhatsApp. Dia lupa, tapi dengan sangat santai, dia masih tetap meneruskan ceritanya lewat ungkapan yang tidak dia ketahui asal-usulnya:

“Itulah zaman terbaik sekaligus zaman terburuk. Zaman kebijaksanaan, juga zaman kebodohan. Zaman iman, sekaligus zaman keraguan. Musim terang, sekaligus musim kegelapan. Musim pengharapan bersemi, tetapi juga musim keputusasaan yang dingin. Segala sesuatu terbentang, sekaligus terasa hampa membayang. Singkat kata, masa itu begitu mirip dengan keadaan sekarang”

Paragraf itu sebenarnya termuat dalam novel A Tale of Two Cities yang ditulis oleh Charles Dickens. Sang ibu tak menggubris novel itu ataupun penulisnya, karena dia merasa itu tidak penting. Lagi pula, yang menulis story WhatsApp saat itu juga tak menuliskan dari mana tulisan itu dan siapa yang menulisnya. Dia merasa tak patut untuk disalahkan karena keteledoran orang lain.

Dia meneruskan:

“Sebelum masa itu, dunia titik sangat kacau. Tapi sejak dulu dunia titik memang membingungkan: mereka tak pernah memahami satu sama lain, dan tak pernah tahu harus apa. Langsung saja ke inti cerita, nak:

Praktek feodal semakin menggila. Sebagian titik menyebutnya Monarki Absolut. Tradisi dan hirarki sangat ketat dan jomplang. Untuk itu, lahirlah titik dua yang tak lebih hanya sebuah simbol: ada titik yang ingin berada di atas titik; ada titik yang ingin dominan atas titik; dan ada titik yang berani hidup nyaman dengan menginjak titik yang lain.

Jelas, praktek semacam itu mendapat perlawanan dari titik lain. Semakin lama, para titik lainya sadar bahwa mereka hanya dimanfaatkan oleh beberapa golongan titik. Titik yang lain akhirnya menuntut kesetaraan tanpa ada sekat apa pun. Tragedi kelaparan, kemiskinan, dan ketidakadilan di dunia titik harus benar-benar dilenyapkan. Kalaupun tidak: kelaparan, kemiskinan, dan ketidakadilan harus dirasakan seluruh titik tanpa terkecuali. Semua titik harus bebas, setara, dan juga bersaudara tanpa sedikitpun perbedaan. Untuk mewujudkan gagasan itu, dipilihlah suatu tindakan khusus bernama revolusi. Dan akhirnya, terjadilah peristiwa yang disebut revolusi titik."

Sang anak makin larut dalam cerita sang ibu, sementara sang ibu makin asik menceritakan setengah pengetahuan yang berpadu dengan imajinasinya. 

Sang ibu pun melanjutkan:

"Peristiwa itu tentu tidak berjalan cepat dan mudah. Pertentangan di dunia titik pun tak bisa dihindarkan: sebagian titik mengatakan revolusi adalah awal yang baik, sedangkan sebagian lagi mengatakan revolusi adalah awal yang buruk. Untuk membuktikan mana yang baik dan mana yang buruk, para titik akhirnya sepakat mengadu gagasan dalam sidang parlemen.

Sidang dihadiri tiga fraksi. Fraksi pertama diisi oleh titik dari golongan bangsawan, fraksi yang kedua diisi oleh titik dari golongan pendeta, dan fraksi ketiga di isi oleh titik biasa. Ketiga Fraksi titik itu pun menyebut mereka elipsis: perkumpulan ketiga titik. 

Kedua fraksi titik dari golongan bangsawan dan pendetalah yang melawan revolusi. Sedangkan Fraksi ketiga menyerukan revolusi. Dari ketiga fraksi titik itu, yang paling bersemangat adalah fraksi titik ketiga. Sebuah titik dalam fraksi titik ketiga bahkan berorasi di dalam sidang parlemen. Titik berteriak hebat: 

'Apa itu fraksi Ketiga?'

Semua titik dalam fraksi titik ketiga pun menjawab:

'Segalanya!'

'Apa posisinya dalam tatanan politik?'

'Tidak ada!'

'Ia ingin menjadi apa?'

'Sesuatu.'

Sesuatu itulah yang mereka maksud bebas, setara, dan bersaudara, nak. Suatu kebaruan yang tak pernah dipikirkan oleh dua golongan lainnya yang hanya kalap pada kekuasaan dan kekayaan. Kau mungkin bertanya bagaimana bisa satu fraksi bisa menang melawan dua fraksi? Itulah hebatnya fraksi titik ketiga, nak. Mereka tak menyebut mereka golongan petani, pedagang, atau pekerjaan lain yang banyak mengurai keringat. Mereka mengatasnamakan rakyat yang tak dipisahkan oleh peran dan pekerjaan. Fraksi ketiga bisa leluasa memberontak karena menang jumlah dalam massa, bukan menang jumlah sebagai golongan. Kedua golongan yang ingin menghentikan revolusi pada akhirnya ta bisa apa-apa. Akan mengenaskan jika ibu rincikan nasib mereka setelah kalah. Ibu hanya bisa menjelaskan bahwa mereka kalah. Itu saja sudah cukup.

Dengan kemenangan itulah, atas nama kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan, para titik akhirnya bisa menjadi titik yang seperti sekarang kita lihat: bebas tanpa terkekang oleh titik yang lain. Titik."

Sang ibu berhenti bicara, namun sang anak masih menunggu. Sesekali sang anak melirik kearah buku tulisnya, membaca kembali keseluruhan ceritanya, lalu menyadari sebuah keanehan: catatannya masih terbilang pendek untuk siswa kelas satu SD. Dia pun kembali mengeluh:

"Ceritanya masih sangat pendek bu"

"Hih, kau ini, tak bisa apa ya membaca tanda? Tak lihat ibu sedang memasak? Nanti kalau takaran bumbunya tak presisi, ibu lagi yang akan disalahkan saat ayahmu pergi. Mau kau itu terjadi lagi? 

Sang anak tak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepalanya.

“Makannya, selain tanda baca, pelajari juga tanda-tanda. Buat apa ibu menyekolahkanmu jika kau malah semakin  jauh dari tanda hidup”

Sang anak diam, termenung. Dia merasa sangat dipermainkan. Bagaimana bisa semua tanggung jawab diserahkan pada anak-anak? Belum lagi keluar dari kesulitan saat diperintahkan menulis sejarah tanda baca, dia malah dituntut secara dini untuk mengerti tanda-tanda hidup. Orang dewasa hanya memperlakukan anak-anak sebagai mesin pemuas keinginan mereka. Tapi, sang anak tahu: tak ada aturan anak-anak bisa menyela orang dewasa. Dia pun akhirnya kembali meneruskan tugasnya.

Kebisingan di dalam meredup, digantikan oleh keributan kecil antara wajan dan spatula. Sang ibu memindahkan potongan kangkung yang sudah tak berdaya ke dalam mangkok, lalu meletakannya ke meja makan. 

Sebelum beranjak kembali ke depan kompor, pertanyaan sang anak membuat sang ibu tertahan di meja makan:

“Kalau ini tanda baca apa, bu?” ucap sang anak sembari menunjuk ke arah buku tulis

“Hih kau ini, itu emotikon peluk nak, bukan tanda baca. Makanya lihat WA, jangan main game terus. Sekali-kali baca pesan, agar tak melulu dipesankan”

Sang anak yang hendak menandakan diri bahwa dirinya tak memiliki kemampuan, pada akhirnya hanya bisa pasrah melihat ibunya yang tak bisa membaca tandanya sembari terus mengomel hebat tentang berbagai macam tanda.

Setelah memamerkan pengalaman dan pengetahuannya, sang ibu pun melupakan anaknya yang sedang kebingungan di meja makan. Langkahnya yang teratur, secara otomatis membawanya pada bahan masakan lainya. Setelah itu, dia pun  kembali ke depan kompor untuk memasak hidangan kedua: tumis tahu. 

Kebisingan kembali menguap memenuhi dapur—tapi tahu mana bisa melawan. Sebelum masuk, tahu sudah sangat lemah dan kelelahan. Teksturnya selalu membuatnya pesimis: tak pernah merasa cocok untuk bertarung di atas wajan yang dilengkapi minyak panas. Dia memang tahu—namun tak pernah memiliki keinginan untuk bertindak. Apalah daya—tahu saja tidak cukup. Tadi kangkung, sekarang tahu, besok bisa saja lupa. Begitulah kiranya, alasan orang yang tak ingin membaca dan kurang membaca. Katanya: banyak tahu banyak lupa. Capek. Tak ada istirahatnya. Tahu terus juga bosen. Buktinya, ayah sang anak selalu minggat dari rumah saat ibunya terus memasak tahu. 

Ikuti tulisan menarik Lutte lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu