x

ilustr: SlidePlayer

Iklan

ericawidiani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 Maret 2022

Selasa, 27 September 2022 13:22 WIB

Yang Kita Hidupi

Manusia tumbuh dengan apa yang ia hidupi dalam dirinya. Entah baik atau buruk, ia senantiasa ada, berbaur tanpa batasan. Alasan kenapa kita sering menemukan manusia yang menjengkelkan dan dilain waktu menemukan manusia yang baik dan tulus. Sebuah kenyataan yang aneh, tapi itulah hidup.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sore yang ramai. Berjalan di lapangan luas yang terasa sempit oleh ratusan orang yang saling berhimpit, menyaksikan konser musik yang berdentum memenuhi telinga. Angin datang sedikit kencang dari biasanya, membuat suasana menjadi ribut, bersahutan dengan lantunan nyanyian, teriakan penonton, dan bel terompet pedagang di luar lapangan. Semua bercampur menjadi satu.

Aku yang berdiri sedikit di pinggir lapangan, memandang semuanya dengan penuh perhatian. Mataku berlarian ke kanan kiri mengejar pemandangan yang bermacam-macam rupa: Cewek berambut merah yang menarik pacarnya untuk menepi karena si pacar ketahuan menggandeng perempuan lain untuk menonton konser ini, laki-laki yang bernyanyi sambil teriak-teriak seperti ingin mengeluarkan semua isi hatinya yang galau dan hancur, bocah laki-laki yang mengumpat kesakitan karena lengannya terkena rokok penonton lain dan masih banyak lagi. 

Untukku, menyaksikan manusia dengan hal-hal yang mereka lakukan adalah sesuatu yang entah mengapa menarik perhatian. Mengamati cara mereka berbicara, gerak gerik tubuhnya, atau bagaimana cara mereka mesrespon sesuatu adalah hal yang asik. Biasanya aku akan diam terpaku sambil mataku tak lepas dari satu atau bahkan lebih manusia. Tergantung ketertarikanku dengan apa yang sedang mereka lakukan. Tak jarang aku ditegur teman dekatku. Satu-satunya manusia yang bisa kusebut teman, karena hanya ia yang mengerti dan menganggapku tidak aneh. Selain itu, karena aku juga merasa dekat dengannya dengan cara yang tidak bisa dijelaskan (Seperti ada ikatan batin yang membuat kami bahkan mungkin bisa berkomunikasi tanpa harus bicara). Ia bilang bahwa aku harus lebih bisa mengendalikan diri, tidak semua orang atau bahkan semua orang tidak akan suka jika dipelototi seperti itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Lo creepy banget gila. Dikurang-kurangin kalo melototin orang."

Aku hanya nyengir kalau dia sudah bilang seperti itu. Tapi karena hari ini ia tidak bersamaku dan orang-orang fokus melihat konser di depan, aku bisa bebas untuk menatap kericuhan ini dengan senang hati.

Kembali pada pembahasan tentang pengamatan manusia. Dari banyak hal yang kudapatkan, kesimpulanku berakhir pada kenyataan bahwa manusia bertahan dengan apa yang mereka Hidupi. Aneh? Ya, mungkin terdengar aneh. Tapi biar kujelaskan.

Dalam dunia ini, manusia tumbuh dengan latar belakang hidup yang berbeda. Dari sana mereka akhirnya juga tumbuh dengan nilai-nilai yang mereka dapat dan lihat, yang menancap pada alam bawah sadar dan tanpa sadar juga mereka hidupkan hingga mekar dan beranak pinak dalam pikiran, bahkan juga perasaan. Nilai yang melahirkan karakter, sifat, cara pandang akan sesuatu, bagaimana mereka menilai apa yang mereka lihat dan dengar. 

Makanya ada manusia yang hidup dengan sifat arogan dan dia bangga akan hal itu. Manusia yang lempeng seperti tidak punya tujuan hidup. Manusia yang gampang terenyuh akan sesuatu hal, yang lemah lembut hatinya dan sangat mudah menangis. Manusia yang keras kepala. Manusia yang plin-plan, mudah goyah atas keputusannya sendiri. Manusia yang percaya diri dan tau tujuan hidupnya. Manusia yang minder dan merasa tidak mampu melakukan perubahan dan macam-macam model manusia lain. Sebagian beruntung dengan menemukan motivasi dan berhasil bangkit dari pikiran sempitnya, berkembang jadi seseorang yang tak pernah ia dan orang lain pikirkan sebelumnya. Tapi sebagian masih merasa takut-takut. 

Pernah aku berpikir tentang kenapa orang-orang semenyebalkan itu, ketika suatu waktu bertemu seorang bapak-bapak yang menyerobot antrian di kasir swalayan. Dengan kasarnya ia mendahului seorang pemuda yang antri lebih dulu dan yang lebih menjengkelkan, saat ditegur bapak itu malah marah-marah. Aku ngedumel sepanjang antri sampai perjalanan pulang. Di mobil ibuku bilang bahwa, "Manusia memang tidak selalu menyenangkan, Nak. Beberapa terlahir seperti bapak-bapak tadi."

"Menjengkelkan banget, Bu. Padahal kan bisa antri. Toh juga enggak panjang antriannya."

Ibu tersenyum.

"Kamu tidak bisa mengatur segala hal seperti yang kamu mau. Tapi kamu bisa memilih untuk jadi seseorang yang menimbulkan kondisi yang seperti apa di lingkunganmu."

Aku mendengus, sedikit sebal dengan bapak-bapak tadi, tapi cukup terbungkam dengan ucapan ibuku.

Benar saja, semakin dewasa dengan banyak kenyataan baru yang kutemui. Semakin aku menyadari bahwa apa yang dikatakan ibuku memang benar adanya. 

Beberapa kali juga aku dibuat terkesima dengan seseorang, ia berada satu komunitas denganku. Komunitas menulis. Ia cantik, pintar dan lebih dari itu, ia sangat baik. Aura positif seakan berpendar mengelilinginya. Melihatnya diam pun sudah sangat menyenangkan sekaligus menenangkan hati. Ia salah satu perempuan yang kukenal yang memiliki tekad kuat, tau jelas tujuan hidupnya, ambisius, tapi sama sekali tidak sombong. Sempat aku bertanya-tanya, bagaimana bisa ada orang yang terlihat begitu perfect, bagaimana aku bisa seperti itu ya?

Tapi lagi-lagi itulah manusia, satu sama lain tak akan sama. Seberusaha aku menduplikat kebaikan dan kemampuan seseorang, aku tak akan pernah bisa jadi orang tersebut. Aku hanya bisa jadi versi terbaik diriku sendiri.

Dari keberagaman ini, satu benang yang bisa kutarik, bahwa manusia hidup dengan apa yang mereka hidupi dalam diri mereka, dalam alam bawah sadar mereka. Jika itu baik, maka ia akan jadi baik. Jika itu buruk, maka ia akan jadi buruk. Kemungkinannya adalah hitam dan putih. 

Satu-satunya temanku, Esa. Ia hidup menjadi seorang gadis yang kaku dan terkesan dingin. Mandiri, tegas tapi juga peduli pada sekitar. Sejak kecil orang tuanya sudah berpisah dan itu penyebab ia menjadi manusia yang seperti sekarang. Hal yang ia ketahui dan tanamkan adalah; bahwa tak ada yang kekal, semua hal bisa pergi dalam hidup. Makanya ia akan bekerja keras agar tidak bergantung pada siapapun. Tapi bukan berarti ia harus jadi arogan, menyakiti orang lain adalah hal yang ia hindari. Di awal pertemuan, aku melihatnya sebagai warna hitam. Namun kini, ia sepenuhnya putih.

Sama seperti ibuku, Esa sering memberikan wejangan padaku. Ya, walaupun kita sekelas di bangku kuliah, tapi sejatinya dia tiga tahun lebih tua dariku. Saat aku jengkel akan sesuatu, atau terlalu senang berlebihan ia akan mengingatkan untuk, 'enggak usah lebay, biasa aja'

"Terlalu benci tu enggak baik. Begitu pun terlalu senang, enggak baik juga".

"Kalo terlalu benci enggak baik okelah, masih masuk logika. Tapi kenapa terlalu senang juga enggak boleh?"

"Hidup itu enggak bisa ketebak. Kadang Lo udah benci banget sama sesuatu, ternyata sesuatu itu enggak seburuk yang Lo pikir. Lo masih yakin kalo senang berlebihan, terus dapetin fakta buruk setelah itu sakitnya enggak parah?"

"Mmmm, ya juga sih".

"Lo enggak bisa berharap sama sesuatu di luar diri Lo. Kecuali kalo mau memelihara rasa sakit sih".

Pada akhirnya, kita hanya manusia yang hidup dalam jalur kita sendiri. Rasa tidak suka atas apa yang orang lain lakukan hanyalah sekedar perasaan, tidak dapat merubah apapun. Makanya, ada istilah dikotomi kendali: memfokuskan diri pada apa yang bisa kita kendalikan dan yang bisa kita kendalikan ya hanya hal-hal yang bisa kita usahakan saja. Makanya juga lahir istilah bodo amat: usaha untuk tidak membuat diri sendiri jadi gila karena terlalu mementingkan hal-hal di diri sendiri. Aku ya aku, orang lain terserah. Karena setiap orang hidup dengan apa yang dia hidupi dan kita juga melakukan hal yang sama. 

Dalam keasyikanku menatapi manusia-manusia di depanku, tiba-tiba sesuatu membutakan pandanganku. Membuatnya gelap, mendatangkan keterkejutan hingga dadaku berdetak keras. Kucoba melepaskan sesuatu yang menutup kedua mataku dan lebih terkejut bahwa Esa dengan tanpa pemberitahuan sudah berdiri di depanku.

"Berapa kali gue bilang, kurang-kurangin melototin orang. Belum aja dihajar massa Lo."

Sore itu, setelah hampir satu jam mengamati banyak kejadian, aku beristirahat dan menuruti ucapan Esa untuk menikmati konser dengan baik. Masih dengan manusia-manusia hitam putih yang ada, aku mencoba fokus menatap ke depan. Tak kemana-mana.

 

Ikuti tulisan menarik ericawidiani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu