Lentera Budaya

Sabtu, 22 Oktober 2022 10:37 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Budaya dunia berubah saat pandemi Covid-19 menyerbu umat manusia. Suatu virus yang tidak mengenal siapa orangnya, apakah beragama ini atau itu, tak mau tau dari mana asalnya, baik negara Utara pun Selatan. Semuanya diancam-terancam.

Setelah sekian lama dunia sepi interaksi langsung akibat Covid-19, akhirnya perlahan budaya interaksi dengan beragam coraknya kembali semarak. Festival sana sini gereget lagi.

Budaya dunia berubah saat pandemi Covid-19 menyerbu umat manusia. Suatu virus yang tidak mengenal siapa orangnya, apakah beragama ini atau itu, tak mau tau dari mana asalnya, baik negara Utara pun Selatan. Semuanya diancam-terancam.

Seluruh penjuru dunia dihajar musuh tak terlihat itu. Negara adidaya yang katanya punya segudang senjata berteknologi canggih pun jadi tak berdaya. Babak-belur. Dikeroyok musuh yang datang tiba-tiba dan mampu seketika berlipat ganda. Alhasil, tak sedikit manusia yang gugur. Berita kematian akibat Covid setiap hari ramai menghiasi media sosial dan media massa.

Sekira dua tahun lamanya masa-masa menakutkan itu berlangsung (medio 2020 hingga medio 2022). Dalam rentang waktu itu pula umat manusia mengalami penyesuaian budaya hidup. Terutama soal keramaian dan interaksi langsung. Konon musuh tak kelihatan itu bisa berlipat ganda dan menyerang manusia saat bersentuhan satu dengan lainnya; penyakit menular. Karena itu, interaksi dibatasi.

Dunia pun seakan sunyi nan gelap. Bagaimana tidak, hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya (interaksi) dalam hidupnya, mesti berlaku sebaliknya. Apa boleh dikata, mau tidak mau interaksi langsung harus dibatasi bahkan dihilangkan jika ingin lepas dari maut. Jadilah manusia mendekam di kediaman masing-masing atau istilah populernya #dirumahaja.

Namanya manusia punya akal, beragam alternatif bermunculan dan bisa jadi solusi. Aktivitas pekerjaan yang semula harus berinteraksi langsung di suatu tempat kemudian dialihkan bekerja dari rumah (work from home). Bahkan rumah ibadah pun dikosongkan, semua ritus dilaksanakan dari rumah Dengan begitu interaksi langsung jauh berkurang. Di samping itu, vaksinasi gencar dilakukan untuk menaikkan daya tahan tubuh manusia dari virus, kabarnya begitu. Percaya nggak percaya, kita saksikan bersama ke depan.

Berita baiknya, menjelang penghujung tahun 2022 rasa-rasanya berita ihwal Covid sudah jarang terdengar. Apakah keberhasilan ini karena vaksin? Ya kita bisa menilai sendiri-sendiri. Yang jelas manusia bisa beraktivitas di luar rumah lagi, memasuki kehidupan normal. Tak pelak beragam pekerjaan, ritus ibadah dan kegiatan kebudayaan semarak seperti sedia kala.

Lebih-lebih momen “kebebasan” manusia dari kungkungan pandemi membuat ekspresi perayaan sana-sini begitu meriah. Fenomena itu layaknya burung peliharaan yang hidup di sangkar sekian lama lalu dilepas ke habitatnya di alam liar. Merdeka!

Pula manusia balik menyelami hakikatnya sebagai makhluk sosial yang gandrung interaksi dengan sesama. Mode gereget aktif kala hati, pikiran, dan tindakan bisa berekspresi selaras-bebas. Apa yang terpancar dari hati, diuji oleh pikiran logis, juga dapat dikerjakan melalui tindakan-tindakan. Dengan begitu manusia bisa membentuk keadaan.

Ekspresi gereget itulah yang dipertunjukkan dalam gelaran Festival Budaya Kampung Cempluk. Sebuah kampung di Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur yang rutin mengadakan pesta budaya setiap tahunnya. Namun imbas pandemi, pada tahun 2020 dan 2021 terpaksa dilangsungkan secara virtual atau online.

Pada September 2022, pandemi sudah mereda, lantas Festival Budaya Kampung Cempluk digelar seperti cita semula. Rangkaian acara festival berlangsung selama tujuh hari pada 18‒24 September 2022.

“Urip Iku Urup” atau “Hidup Itu Nyala” adalah tema festival budaya tahun 2022. Pesan “Hidup itu Menyala” dengan kreativitas beragam pertunjukan budaya disampaikan kepada para pengunjung. Semacam menerangi hati yang diterpa gelap semasa pandemi, menghidupkan budaya yang lama diasingkan.

Selaras dengan tema itu, ternyata Kampung Cempluk disimbolkan sebagai lentera. Saya lantas berpikir, mengapa lentera dan bukan lilin yang dipilih? Toh keduanya berfungsi menerangi, menyala bagi sekitar.

Akhir-akhir ini saya mendapat jawaban rasional dari peristiwa dan refleksi. Lentera dan lilin memang sama-sama berfungsi menerangi ruangan gelap, tapi caranya berbeda, yang membuat nafas keduanya juga berbeda.

Lentera menghasilkan nyala menggunakan sumbu dengan bahan bakar minyak. Cara itu membuat lentera bisa menyala lama selagi minyaknya masih ada. Jika minyaknya habis tinggal diisi ulang minyak saja, lalu digunakan lagi. Sedang lilin juga menghasilkan cahaya, tetapi cara kerjanya membakar tubuhnya sendiri. Hal itu menjadikan lilin tidak bertahan lama dan hanya sekali pakai saja. Jadi perbedaan lentera dan lilin terletak pada caranya menyala yang mempengaruhi daya tahan dan konsistensinya.

Demikian gereget budaya Kampung Cempluk mampu menyala secara konsisten layaknya lentera. Masyarakat bergotong-royong merayakan festival budaya yang dilaksanakan beriringan dengan gerakan ekonomi melalui pendirian stand-stand penjualan produk warga. Tujuannya tak lain agar warga yang terlibat tetap mampu menghidupi diri sendiri dan sekitar (menyala).

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Janwan S R Tarigan (Penggembala Kerbau)

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler