x

Sumber foto: pixabay.com, desain dengan PowerPoint

Iklan

Sulistiyo Suparno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Juli 2023

Rabu, 13 September 2023 12:36 WIB

Bintang Sinetron

Di bawah cahaya purnama, di sebuah pantai, mereka bercumbu. Alunan ombak mengiringi irama napas mereka yang memburu, menikmati gelora muda yang menggelegak. Mayang mendesah, merintih dan memekik dalam dekapan Ryan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah seharian menjalani syuting episode terakhir sebuah sinetron, Mayang pulang ke rumah dalam keadaan letih. Wajahnya kuyu dan matanya terasa berat. Pukul sebelas malam dan purnama menggantung di langit Jakarta. Tetapi Mayang tak peduli dengan purnama yang selalu menyisakan kenangan romantis bagi banyak manusia. 

Mayang telah menutup masa lalunya. Ia ingin tidur dan bermimpi indah. Esok, ia akan bangun pagi dengan semangat menyala untuk menerima honornya sebagai bintang sinetron termahal.

Mayang melangkah sempoyongan, melemparkan sepatu berhak tinggi merah kesayangannya ke sembarang arah. Seperti biasa, ia lantas berteriak memanggil Hamidah agar membuatkan susu hangat untuknya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mayang menghempaskan tubuhnya ke sofa di ruang tengah. Memejamkan sepasang matanya yang lelah.

“Ada tamu, Nona,” lapor Hamidah sambil membungkukkan badan.

“Malam-malam begini?” sahut Mayang mengernyitkan dahi.

“Dia sudah menunggu sejak sore tadi, Nona.”

“Siapa? Produser, sutradara, atau....?”

“Saya kurang tahu, Nona. Dia hanya bilang datang dari Semarang.”

“Dia siapa? Laki-laki atau perempuan?”

“Laki-laki, Nona, dan seorang anak perempuan.”

Mayang tertegun, matanya bertanya-tanya. “Di mana dia?” tanya Mayang.

“Di kursi taman, Nona.”

Mayang berjalan menuju taman di samping rumah megahnya. Langkahnya tak lagi sempoyongan. Kali ini langkahnya terlihat gegas dan wajah kuyunya berganti agak tegang.

Mayang melihat seorang lelaki bersama seorang gadis kecil duduk di kursi taman. Mayang hendak berbalik arah meninggalkan taman itu, tetapi terlambat.

“Mayang?” seru lelaki di kursi taman.

Mayang menghentikan langkah, walau terpaksa.

“Ryan?” sahut Mayang dengan suara tercekat.

Lelaki itu tersenyum.

“Aku datang, May,” ucap Ryan, lelaki itu.

Canggung, Mayang membalas tersenyum. Ekor matanya melirik gadis kecil di samping Ryan.

“Siapa dia?” tanya Mayang.

“Ini Zelin,” jawab Ryan.

Ryan membungkukkan badan dan berbicara pada gadis kecil itu. “Nah, Zelin. Sekarang kamu sudah bertemu dengan Tante Mayang. Ayo, beri salam,” ujar Ryan pada gadis kecil itu.

Gadis kecil itu mengulurkan tangan. “Selamat malam, Tante,” ujarnya tampak malu-malu.

Tergeragap, Mayang menyambut tangan mungil itu. “Malam juga, Zelin,” sahutnya dengan senyum yang terlihat canggung.

Kegelisahan tertangkap jelas dalam mata Mayang. Ia membungkukkan badan dan berbicara pada gadis kecil itu. “Zelin nonton tivi dulu, ya? Tante mau bicara dengan papa kamu,” kata Mayang membujuk. Gadis kecil itu mengangguk.

Mayang memandang ke arah sebuah pintu rumahnya dan dengan suara agak ditekan, ia berseru, “Hamidaaaahhh!” 

Seorang perempuan muda berdaster batik coklat muncul dari pintu itu dengan berlari kecil. “Ya, Nona?” ujarnya dengan napas memburu.

“Antar anak ini ke ruang tengah. Biarkan dia menonton tivi,” kata Mayang.

“Baik, Nona,” sahut Hamidah meraih lembut tangan gadis kecil itu, lalu mengajaknya memasuki rumah.

Sekarang tak ada lagi penghalang bagi Mayang untuk berbicara dengan Ryan. Mayang menghela napas panjang sebelum memulai pembicaraan.

“Mengapa kau datang, Ryan? Untuk apa?”

“Aku datang untuk mengantar Zelin.”

“Untuk apa?”

“Zelin ingin bertemu denganmu. Zelin rindu sekali ingin bertemu ibunya.”

“Kau katakan padanya bahwa aku ibunya?”

“Aku katakan padanya bahwa, ibunya pergi ke suatu tempat.”

“Lalu mengapa kau bawa dia padaku?”

“Aku katakan padanya bahwa, ibunya sangat mirip dengan Mayang Savitri, bintang sinetron terkenal. Zelin sangat mengagumimu. Aku berjanji pada Zelin, suatu saat akan mengajaknya bertemu denganmu.”

“Dia sudah bertemu denganku. Dia tampak biasa saja. Dia tidak gembira bertemu dengan bintang pujaannya.”

“Karena Zelin pemalu. Tetapi aku yakin hatinya begitu gembira bertemu denganmu. Tidakkah kau lihat mata Zelin yang berbinar saat menatapmu?”

“Entahlah, aku tak memperhatikannya.”

Ryan menatap langit. 

“Purnama yang indah,” ucap Ryan bergumam. “Tidakkah kau ingat kenangan kita saat purnama? Saat kulamar dirimu, usai kau mengatakan bila kau hamil?”

“Cukup!” sergah Mayang. “Jangan kau ungkit lagi masa lalu kita.”

“Maaf,” sahut Ryan. “Tetapi, sungguh, aku tak bisa melupakannya.”
***
Sepuluh tahun yang lalu adalah masa-masa indah bagi Mayang dan Ryan. Cinta yang tumbuh di hati mereka, telah melenakan langkah mereka. Di bawah cahaya purnama, di sebuah pantai, mereka bercumbu. Alunan ombak mengiringi irama napas mereka yang memburu, menikmati gelora muda yang menggelegak. Mayang mendesah, merintih dan memekik dalam dekapan Ryan.

Pada akhirnya, Mayang hamil. Di bawah cahaya purnama, di pantai yang sama, Ryan melamar Mayang. Tetapi perempuan berkulit putih itu menolak dengan tegas.

“Kau gila? Aku ingin menjadi artis, bintang sinetron. Suami dan anak akan menghambat langkahku!” kata Mayang meradang. 

Ryan tiada lelah membujuk, hingga akhirnya Mayang bersedia menikah di bawah tangan. Mayang tak butuh surat nikah. Baginya, surat nikah akan menambah rintangan untuknya menjadi artis terkenal.

Setelah anaknya lahir, Mayang memutuskan untuk meninggalkan Semarang. Mayang tak peduli dengan kuliah, suami dan anaknya. Mayang merantau ke Jakarta untuk mengejar impiannya menjadi bintang sinetron.

“Ingat! Jangan pernah mencariku. Aku telah memberi apa yang kau inginkan. Sekarang, biarkan aku mengejar impianku!” kata Mayang. 

Kegigihan Mayang membuahkan hasil. Satu demi satu sinetronnya hadir menghiasi layar kaca. Di berbagai acara infotainment, Mayang mengaku masih lajang.

Di sisi lain, Ryan selalu terkenang pada Mayang. Ryan masih mengharapkan Mayang kembali padanya. Ryan selalu bercerita pada Zelin bahwa, ibunya cantik seperti Mayang Savitri, bintang sinetron terkenal. Berkali-kali Zelin meminta bertemu dengan bintang pujaannya itu. Lalu datanglah kesempatan itu. Zelin bertemu Mayang di bawah pendar cahaya purnama, di taman rumah Mayang.
***
“Cukup!” ucap Mayang membentak. “Bukankah sudah kukatakan, jangan kau ungkit lagi masa lalu kita. Jangan kau hancurkan masa depanku!”

“Baiklah, May,” sahut Ryan lirih. “Aku akan pergi dari kehidupanmu. Selamanya.....”

Ketika akan berpamitan, Ryan bertanya pada gadis kecil itu. “Zelin punya permintaan pada Tante Mayang?”

Gadis kecil itu mengangguk, lalu menatap Mayang.

“Bolehkah Zelin memeluk Tante?” ucap Zelin meminta.

Mayang mengangguk dan tersenyum sekadarnya, membungkukkan badan, lalu membiarkan gadis kecil itu memeluk tubuhnya. Seperti tersedot magnet, kedua tangan Mayang bergerak memeluk tubuh gadis kecil itu.

Dada Mayang bergemuruh. Ia memejamkan mata. Dalam hitungan detik, menyelinaplah titik-titik air dari sudut sepasang matanya. Titik-titik air itu bergulir dan menggelincir di pipinya yang tirus dan halus.

“Selamat tinggal, Tante,” ucap Zelin, lalu melepaskan pelukannya.

“Selamat jalan, sayang,” sahut Mayang dengan suara bergetar. Tetapi, Mayang segera memeluk lagi tubuh gadis itu dan mencium kedua pipi gadis itu berkali-kali. “Selamat jalan, sayang. Selamat jalan. Tante akan merindukanmu.”

Mayang berlari menuju kamarnya di lantai dua rumahnya. Dari jendela kamar, ia melihat lelaki dan gadis kecil itu melangkah bergandengan tangan di jalanan lengang. Cahaya purnama menerangi langkah mereka.

Air mata Mayang bercucuran. Hatinya berdesir-desir. Mayang teringat perkataan Bang Benson, manajernya. “Ingat! Jangan sampai penggemarmu mengetahui bila kau telah punya anak. Bila itu terjadi, kau akan kehilangan banyak kontrak dan kariermu akan hancur!”

Malam terus bergerak. 

“Oh, Zelin. Maafkan ibu, anakku,” desis Mayang.

Cahaya purnama menjadi saksi bila malam itu wajah Mayang telah basah oleh air mata. 
***SELESAI***
Sulistiyo Suparno, penulis cerpen kelahiran Batang, 9 Mei 1974. Cerpen-cerpennya tersiar di Jawa Pos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, dan media cetak lainnya. Sehari-hari membantu istri jualan soto ayam. Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Ikuti tulisan menarik Sulistiyo Suparno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB