x

Sumber foto: pixabay.com, desain dengan PowerPoint.

Iklan

Sulistiyo Suparno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Juli 2023

Sabtu, 21 Oktober 2023 13:57 WIB

Menari Bersama Bidadari

Ketika Janu berkunjung ke rumah Paman Haris di kampung, dia melihat seorang lelaki sedang menari. Kata Paman Haris, lelaki itu menari bersama bidadari. Kemudian, Janu pun ikut menari bersama lelaki itu dan .... sang bidadari.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seorang lelaki muda tampak berada di sudut tanah lapang. Dia merentangkan kedua tangan. Kedua kakinya menjejak tanah bergantian, berirama dan terus-menerus. Kedua matanya memejam seakan meresapi sesuatu yang begitu mendalam. 

Lelaki muda itu berputar-putar membentuk lingkaran, sesekali meliukkan tubuh seakan menghindari sesuatu yang akan menghantamnya. Tetapi tak ada sesuatu yang melesat di sana. Hanya angin yang bertiup kencang yang menyibakkan rambut gondrong si lelaki.

“Siapa dia, Paman?” tanya Janu, duduk di kursi rotan di teras rumah Paman Haris. Kopi dan donat menemani mereka pagi itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Paman Haris menyeruput kopi, lalu menjawab. “Bayu. Istri dan anaknya mati tiga bulan yang lalu, mati di hari yang sama. Angin puting beliung melanda kampung ini. Sebuah pohon tumbang menimpa rumah Bayu. Istri dan anaknya mati karenanya.”

“Oh, tragis sekali. Tentu Bayu sangat kehilangan.”

Paman Haris mengangguk.

“Setelah peristiwa itu, seperti yang kamu lihat sekarang, Bayu menari di sudut tanah lapang itu,” kata Paman Haris.

“Menari?”

“Ya, setidaknya itulah yang dikatakan orang-orang. Menari.”

Paman Haris menyulut sebatang rokok filter, lalu bercerita tentang Bayu. Bayu bekerja serabutan; mencangkul, menebang pohon, memetik kelapa, membetulkan genting, membuat sumur, dan apa saja yang bisa dikerjakan dengan tangan dan kakinya.

Bayu punya istri yang setia dan seorang anak perempuan berusia tiga tahun. Bayu kerap mengajak istri dan anaknya bermain ke tanah lapang itu. Tanah lapang itu seukuran lapangan voli, milik orang dari kampung lain. 

Rerumput di tanah lapang itu tebal (rumput liar tentu saja), cocok untuk bermain anak-anak yang sedang belajar berjalan atau bersepeda, karena kalau jatuh tak akan sakit. Di sana, Bayu mengajari anaknya bersepeda atau bermain bola.

Pada orang-orang, Bayu mengungkapkan kelak anaknya akan menjadi pemain sepakbola wanita yang hebat. Tetapi impian Bayu sirna ketika puting beliung melanda. Istri dan anaknya tewas. Bayu histeris, menyalahkan dirinya.

Bayu mengutuk dirinya. Seharusnya dia tidak pergi ke sawah hari itu, seharusnya ia berada di rumah bersama istri dan anaknya. Seharusnya, seharusnya, seharusnya .....

“Lantas, mengapa Bayu menari di tanah lapang itu, Paman?” tanya Janu.

“Itulah yang kami belum tahu. Bayu selalu diam bila kami tanya tentang tariannya. Bagi kami perilakunya aneh, tetapi lama-lama kami terbiasa,” kata Paman Haris, tersenyum pada Janu. “Nah, setelah melihat dan mengetahui tentang Bayu, apakah kamu mendapatkan ide cerita?”

Janu seorang penulis. Beberapa kali dia berkunjung ke rumah Paman Haris di lereng sebuah bukit, terakhir kali berkunjung setahun silam. Sebuah kampung yang hijau, tenang dan damai, cocok untuk menulis novel. Di kota, Janu tidak nyaman; bising, pikuk, panas, membuat konsentrasinya menulis mudah buyar.

“Matahari mulai tinggi. Biasanya kamu sudah di depan laptop,” kata Paman Haris, lalu beranjak dari kursinya, masuk ke rumah.

Pagi ini Janu belum ingin membuka laptop. Dia masih duduk di teras, memandang Bayu yang masih menari di sudut tanah lapang. Rumah Paman Haris dan tanah lapang itu hanya terpisah jalan setapak.

Janu beranjak dari kursi rotannya, menyeberang jalan setapak, menuju sudut tanah lapang. Memperhatikan Bayu yang menari dari jarak yang begitu dekat. Bayu masih berputar-putar membentuk lingkaran sambil merentangkan kedua tangan dan matanya memejam, seakan menikmati tariannya.

Detik berikutnya Bayu membuka mata, menatap lekat pada Janu.

“Kamu, siapa kamu?” tanya Bayu, masih menari.

“Saya Janurianto, keponakan Paman Haris.”

“Rianto, kemarilah.”

“Panggil saya Janu.”

“Janu, kemarilah. Menarilah bersamaku.”

Janu ragu-ragu. Kalau ada yang melihat dirinya menari, ah, itu memalukan. 

“Kemarilah, menari bersamaku, Janu. Tuntaskan segala penasaranmu tentangku.”

Janu tertegun, mencoba menepis ragu dan malu di hatinya. Perlahan, dia mendekat. Merentangkan kedua tangan, mengatur jejak kaki, lalu berputar mengikuti gerakan Bayu.

“Pejamkan matamu,” perintah Bayu.

“Untuk apa?”

“Pejamkan saja.”

Janu menurut dan menemukan kegelapan.

“Kamu melihatnya?” terdengar suara Bayu bertanya.

“Melihat apa?” sahut Janu masih memejamkan mata.

“Anak dan istriku.”

Janu diam. Haruskah dia menjawab hanya melihat kegelapan?

“Ya, aku melihat mereka,” jawab Janu.

“Mereka cantik, bukan?”

“Ya, mereka cantik.”

“Mereka bidadari. Istri dan anakku menjadi bidadari,” suara Bayu terdengar menyimpan kebahagiaan.

Diam-diam Janu membuka mata.

“Pejamkan kembali matamu!” perintah Bayu, sepasang matanya masih terpejam.

Janu terhenyak dan sulit baginya untuk percaya, tetapi ini nyata. Apakah Bayu seorang cenayang yang mampu melihat dalam kegelapan?

“Pejamkan kembali matamu!”

Janu menurut.

“Kamu merasakannya, Janu?”

“Merasakan apa?”

“Tangan istri dan anakku.”

Janu ragu-ragu sejenak, sebelum menjawab, “Ya. Aku merasakan tangan mereka.”

“Menarilah bersama mereka. Angin akan berembus, mengibarkan rambut istri dan anakku. Menarilah yang indah, Janu, bersama istri dan anakku. Dan, teruslah pejamkan matamu. Angin akan berembus, berembus .....”

Janu merasakan angin menerpa wajahnya, hangat terasa. Dia terus menari, berputar, sampai suara Bayu tak terdengar lagi. Janu memutuskan untuk berhenti, lalu membuka mata. Sesosok lelaki dengan sepasang mata membelalak berdiri di hadapannya.

“Astaga, Janu! Apa yang kamu lakukan? Observasi untuk novel terbarumu?”

“Paman? Di mana Bayu, istri dan anaknya?”
***
Semalam Janu telah merenung lalu memutuskan untuk membuat novel dengan karakter tokoh utama seperti Bayu. Janu akan menjalin hubungan lebih dekat dengan Bayu, untuk mengorek berbagai informasi darinya.

Bergegas, pagi itu, Janu berjalan menuju rumah orangtua Bayu. Ketika Janu  melintas di dekat sudut tanah lapang, angin berembus menerpa wajahnya, hangat terasa. Dalam beberapa menit, dia sampai, tetapi rumah bercat hijau itu tampak sepi. Janu bertanya pada seorang wanita tua yang duduk di teras rumah lain.

“Bayu sudah berangkat, dibawa keluarganya, subuh tadi,” kata wanita tua itu.

“Berangkat? Ke mana?”

“Rumah Sakit Jiwa!”
***SELESAI***

Ikuti tulisan menarik Sulistiyo Suparno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler